Hotel di Jalan Turunan

Belum bergelar mahasiswa sejati jika belum memegang teguh prinsip SKS – Sistem Kebut Semalam. Prinsip ini sekarang sedang aku praktekkan. Sepulang kuliah tadi sore, aku langsung meluncur ke kos Ardi yang letaknya dekat dengan kampus.

Aku mengambil jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota di salah satu universitas di Semarang. Tugas membuat perencanaan desain perumahan sederhana menjadi agendaku sepulang kuliah hari ini. Malam ini tugas itu harus selesai. Besok adalah deadline pengumpulannya.

Sketsa desain sudah kami kerjakan kemarin. Hari ini aku dan kelompokku – Ardi, Imam, dan Bram – bekerja sama mengeksekusi sketsa itu menjadi sebuah maket yang indah.

“Akhirnya selesai juga,” ujar Bram. Kami melemaskan jari-jari tangan.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 22.24 WIB.

Aku balik ya.” Pamitku pada teman-teman.

“Ton, ati-ati tuh lewat turunan sana,” seru Ardi tiba-tiba.

Yang dimaksud Ardi adalah sebuah daerah dengan jalan raya yang membentuk turunan meliuk-liuk. Daerah itu seram adalah masih banyak pohon-pohon di salah satu sisi jalan, sehingga membentuk seperti hutan. Keadaan yang gelap ketika malam menambah efek seram di sana. Dan aku harus melewatinya karena itu adalah jalan menuju rumahku.

“Halah. Kenapa?” tanyaku.

“Malem jumat ni. Hi...” jawab Imam mencoba menakutiku.

Aku tertawa. Aku bukan laki-laki penakut. Apalagi dengan hal-hal mistis berbau hantu-hantuan.

Lelah membuatku ingin cepat sampai di rumah. Kulajukan motorku di turunan. Jalanan sudah sangat sepi. Kondisi jalan yang licin setelah hujan tadi membuatku berkendara tidak terlalu kencang.

Eh.. eh... kenapa ini? Kenapa mesin motorku jadi tersendat-sendat begini?

Aku mengarahkan motorku ke tepi. Tetapi akhirnya mesin motorku justru mati. Aku mencoba menghidupkannya. Tetapi mesinnya tidak juga mau hidup.

Udara malam semakin menusuk tulang. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Aku berada sangat dekat dengan bekas hotel yang terkenal seram itu. Sudah banyak masyarakat yang membicarakannya. Bahkan di twitter, cerita-cerita seram tentang bekas hotel ini sering menjadi topik yang dibicarakan. Terlebih di malam Jumat seperti sekarang ini.

Mengapa jalanan sepi sekali ya? Bahkan aku sampai bisa menghitung kendaraan yang lewat dengan mudah.

Ponselku kenapa pake mati sih!

Sepertinya aku harus menuntun motorku ini ke bawah. Siapa tahu masih ada bengkel yang buka. Walaupun itu artinya aku harus berjuang menahan motor serta tubuhku sendiri agar tidak tergelincir di turunan yang licin ini.

Sebelum aku menuntun motor, kucoba menekan starter lagi. Siapa tahu aku sedang beruntung malam ini. Dan benar, mesin motorku langsung menyala begitu aku menekan starter dan menarik rem secara bersamaan.

Semudah inikah? Ah sudahlah. Tidak perlu berpikir macam-macam. Aku harus sampai di rumah secepat mungkin. Ibu pasti menungguku. Apalagi aku belum memberi kabar padanya bahwa aku akan pulang selarut ini. Aku pasti membuatnya sangat cemas.

Kulajukan motorku kembali. Melintasi turunan dengan sukses. Akhirnya aku terlepas dari hal-hal menakutkan yang sedari tadi berkeliaran di pikiranku. Benar-benar pengalaman tidak terlupakan. Aku tidak akan lagi pulang selarut ini.

Tiba-tiba motorku terasa berat. Rasanya seperti ketika aku membawa seseorang di belakangku. Tetapi sedari tadi aku sendirian. Sangat tidak mungkin aku tiba-tiba bersama seseorang sekarang.

Aku melihat ke arah spion sebelah kanan. Apa itu? Kain putih tampak berkibar-kibar terkena angin. Tepat di belakangku. Jika dilihat lebih seksama, sepertinya itu bagian dari baju perempuan. Seperti gaun. Karena ada renda-renda yang menghiasi kain itu.

Aku tidak dapat melihat dengan jelas bentuk tubuhnya. Apalagi wajahnya.

Aku bisa saja mengarahkan spion sedikit ke atas agar dapat melihat dengan jelas wajah siapa atau apa yang berada di belakangku saat ini. Atau aku juga bisa saja melihat spion sebelah kiri karena kemungkinannya besar untuk dapat melihat wajah siapa atau apa di belakangku.

Tetapi aku memutuskan untuk tidak melakukan kedua pilihan tersebut. Aku lebih memilih untuk menghilangkan pikiran buruk tentang keberadaan siapa atau apa dia.

Meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanya halusinasi menjadi sangat sulit ketika berat di belakang motorku tidak juga hilang sampai aku berada di depan rumah.

Kuhentikan motorku di teras rumah. Berat itu tiba-tiba hilang. Kuhembuskan napas panjang-panjang setelahnya. Lega. Ternyata ini memang hanya halusinasiku saja. Mungkin aku hanya terbawa suasana sehingga membayangkan macam-macam. Aku hanya mengingat beberapa cerita tentang seramnya kawasan itu, sehingga cerita itu terbawa dalam alam pikiranku dan bergerak seperti nyata.

“Ini rumahmu?”

Aku terbelalak. Suara perempuan. Apakah itu suara seseorang yang berada di motorku sedari tadi? Atau siapa? Tidak mungkin ada salah satu temanku berkunjung ke rumah selarut ini. Ini sudah tengah malam. Apalagi perempuan?

Aku tidak berani menoleh. Kupejamkan mataku. Lalu kugeleng-gelengkan kepalaku. Berharap halusinasi itu segera menghilang. Setelah menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya, aku membuka mata dan berjalan ke arah pintu.

“Tunggu! Kamu belum jawab pertanyaanku. Ini rumahmu?”

Suara itu lagi. Aku semakin tidak berani menoleh. Tetapi aku tidak bisa melangkah. Aku masih saja berdiri di tempatku, kakiku seolah terkunci dengan tanah.

Ia semakin mendekat. Aku bisa mendengar langkahnya. Tunggu! Aku bisa mendengar langkahnya? Itu berarti...

Aku merasakan tanganku disentuhnya. Dingin. Lalu ia menarikku sehingga kini kami berhadapan.

Ia mengenakan gaun putih selutut dengan renda di beberapa bagian. Rambutnya lurus sebahu dengan bando hitam tersemat rapi menghias kepalanya. Cantik. Tidak ada sisi menyeramkan dalam postur tubuh mungil di hadapanku ini.

Jika dilihat-lihat dengan seksama, mungkin ia seumuran denganku. Atau bahkan lebih muda sedikit dariku. Soal umur, bukan menjadi masalah saat ini.

Aku justru terpesona dengan senyuman manisnya. Siapa dia?

“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?” tanyanya lagi. Lembut.

“A-Aku... tidak mengenalmu,” jawabku terbata-bata. Aku tidak ingin membuatnya marah atau tersinggung. Bisa saja ia berubah menjadi makhluk menyeramkan jika marah. Lagi-lagi aku membayangkan hal yang macam-macam.

Ia tersenyum lagi. Mengapa ia selalu menampakkan senyuman manisnya. Dan mengapa aku mulai menyukai senyuman itu. Seperti menghipnotisku.

“Kalau begitu, kenalkan. Aku Laras.” Gadis itu mengulurkan tangan ke arahku.

Aku pun meraih tangan mungil itu.

“Anton.”

Tangannya halus. Aku bisa menyentuhnya? Kini aku bisa memastikan ia bukan... Bukan seperti yang aku bayangkan.

Ku ajak ia duduk di bangku depan rumahku. Ia bercerita bahwa tadi kami bertemu di turunan ketika mesin motorku tiba-tiba tidak bisa menyala dan ia menemaniku. Lalu ia meminta ijin untuk ikut denganku.

Ia juga bercerita bahwa aku memperbolehkannya ikut. Dan ketika ia bertanya kita akan kemana, aku menjawab kita akan pulang ke rumahku. Tetapi aku tidak mengingatnya. Dan siapa dia? Bagaimana bisa aku mengijinkannya ikut pulang denganku jika aku bahkan tidak mengenalnya. Banyak pertanyaan yang melintas di kepalaku dan membuatku semakin pening.

Aku bukan tipe orang yang mudah lupa. Jadi bagaimana mungkin aku tidak mengingat suatu hal yang baru saja terjadi padaku.

Ia tersenyum padaku di saat aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dengan kami tadi. Senyum itu. Lagi-lagi aku terbuai dengan lengkung sempurna yang dibentuk oleh bibirnya. Aku pun mempercayai begitu saja ceritanya. Tanpa mempertanyakannya lebih jauh.

“Tolong anterin aku lagi,” pintanya.

Aku terbengong-bengong.

“Anterin? Kemana?” tanyaku.

“Ke tempat tadi. Kamu tahu hotel di turunan itu kan? Aku menginap di sana.”

Mataku terbelalak.

“Kenapa?” tanyanya lagi ketika melihat ekspresiku.

“T-tapi... bukannya hotel itu...” ujarku hati-hati. Seingatku, hotel itu sudah tidak berfungsi sebagai hotel lagi. Bahkan sudah menjadi cerita umum sebagai tempat yang menyeramkan di kalangan masyarakat. Apakah Laras tidak mengetahuinya? Tetapi tentu saja aku tidak mengatakannya pada Laras.

Laras tersenyum. Ah senyum itu lagi. Aku mengangguk. Lagi-lagi pikiran dan gerakan tubuhku tidak sejalan karena senyuman itu. Ada apa dengan senyumannya?

“Aku masuk dulu ke dalam. Ibuku sudah menunggu sangat lama. Aku belum memberinya kabar akan pulang selarut ini. Bahkan aku akan pergi lagi setelah ini. Aku harus menemuinya,” ujarku.

Laras mengangguk. Ia menunggu di luar ketika aku masuk ke dalam rumah.

Lho? Kenapa pintu tidak dikunci? Oh mungkin ibu sengaja agar aku bisa dengan mudah masuk ke rumah. Tetapi bukankah ini berbahaya? Bagaimana jika ternyata aku tidak pulang dan ibu ketiduran? Ah sudahlah. Yang penting sekarang aku sudah pulang.

Aku melihat ibu tertidur di kursi ruang tamu. Beliau sudah jelas menungguku. Terlihat raut kelelahan di wajah beliau. Sampai-sampai tidak mendengarku masuk ke dalam rumah. Aku tidak ingin membangunkannya. Maka kuputuskan untuk menuliskan pesan di secarik kertas.

“Ibu, aku pulang. Tetapi ibu sepertinya lelah sekali. Aku tidak ingin membangunkan ibu. Aku pergi lagi sebentar. Mungkin subuh nanti aku sudah pulang lagi. Ibu tidur saja, jangan menungguku.”

Kuletakkan kertas itu di meja ruang tamu. Agar ibu dapat membacanya begitu matanya terjaga. Kucium kening ibuku. Aku tidak tahu mengapa aku ingin melakukannya. Lalu aku keluar rumah, meninggalkan perempuan yang sangat kucintai itu.

“Yuk!” ajakku pada Laras.

Aku naik ke motorku lagi dan menyalakan mesinnya. Laras naik di belakangku. Segera kulajukan motorku menuju tempat tadi aku bertemu dengan Laras sesuai dengan ceritanya.

Jalan masuk menuju hotel di turunan itu sudah di depan mata. Ada pos penjagaan di sana. Aku membiarkan Laras turun ketika ia memintanya. Kulihat ia berbicara dengan penjaga, yang kemudian membuka portal untuk kami.

Aku hampir setiap hari melewati tempat ini. Tetapi aku tidak pernah melihat ada pos penjagaan di sini. Keheranan tadi belum sempat terjawab, aku sudah dibuat terbelalak oleh pemandangan di hadapanku saat ini. Bangunan gedung bertingkat yang berdiri kokoh di hadapanku. Jika melihat dari arsitektur bangunan, aku bisa menebak ini adalah hotel bintang 5. Atau minimal bintang 4.

Belum lagi tamannya. Sangat indah. Aku belum pernah melihat taman seindah itu. Laras menyuruhku berhenti di dekat taman. Aku menurut.

“Tempat apa ini?” tanyaku.

Aku hanya ingin mendapat banyak penjelasan darinya. Rasa penasaran sudah menyerangku sedari tadi. Yang kubutuhkan hanya jawaban yang masuk akal.

Laras menunjuk pada plang di dekat taman yang menjorok ke jalan. Plang nama hotel dengan lampu-lampu yang mengitari tulisan itu. Benarkah ini hotel angker itu? Mungkin orang-orang yang salah menilainya. Mereka tidak benar-benar masuk ke dalamnya. Mereka pasti hanya membuat isu-isu palsu.

Laras mengajakku duduk di bangku taman.

“Indah ya,” ujarnya.

Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku. Laras mengajakku ke tepi taman yang menjorok ke jalan. Ia menunjuk pada hamparan pemandangan jauh di depan kami. Kota Semarang terlihat dari sini. Lampu-lampu berkilauan seperti bintang. Aku bisa melihat Masjid Agung dengan kubahnya yang megah, rumah-rumah yang mungkin jumlahnya ratusan, dan aku juga dapat melihat laut yang berwarna gelap. Indah sekali.

Laras mengatakan ia senang bertemu denganku. Ia menganggapku teman barunya.

“Kamu harus berjanji akan sering menemuiku di sini,” pintanya.

“Aku tidak bisa berjanji. Tetapi aku akan berusaha.” Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku dapat mengatakan hal ini. Tetapi tidak apa-apa. Laras orang yang baik.

“Lihat! Matahari hampir muncul,” serunya menunjuk pada ujung laut yang jauh di hadapan kami.

Memang matahari sudah terlihat menyembul di permukaan laut yang gelap.

“Jam berapa ini?” tanyaku.

Ternyata aku sudah terlalu lama di sini. Aku ingat pada ibu di rumah.

Tiba-tiba Laras memelukku. Aku baru mengenalnya tetapi aku merasa nyaman dengan pelukannya. Aku pun membalas pelukan itu. Mendekapnya dengan erat. Tetapi aku merasakan sesuatu yang aneh. Tapi apa itu? Aku masih berusaha berpikir.

Detak jantungnya! Ya, aku tidak merasakan detak jantungnya. Dengan berpelukan seperti ini, dengan tubuh sedekat ini, seharusnya aku bisa merasakan detak jantungnya.

Segera kulepaskan pelukannya. Secepat mungkin aku berlari menuju pintu masuk yang tadi aku lewati. Aku meninggalkan motorku. Aku sudah tidak mempedulikannya.

Lho? Mengapa tidak ada pos penjagaan? Aku mengacuhkannya dan terus berlari. Kini aku sudah berada di pinggir jalan raya.

Aku celingukan. Tidak ada kendaraan yang berhenti karena lambaian tanganku. Aku hanya ingin menumpang sampai ke bawah. Ke tempat ramai. Segera meninggalkan tempat menakutkan di belakangku tadi. Dan meninggalkan Laras.

Sesaat kemudian aku melihat beberapa kendaraan berhenti di pinggir jalan. Membentuk kerumunan. Ada apa ya? Ah apapun. Yang penting tempat itu ramai. Aku pun berlari menuju kerumunan itu.

“Kasian sekali dia. Di sini memang rawan perampokan. Dia pasti pulang sendirian semalam,” ujar seseorang di antara kerumunan itu.

Dia? Dia siapa?

Semakin banyak orang yang penasaran ingin melihat. Kemudian aku mendengar sirine mobil polisi semakin mendekat.

Aku mendengarkan dengan seksama percakapan mereka. Aku masih belum ingin masuk ke dalam kerumunan. Aku hanya ingin pulang. Aku bahkan tidak peduli lagi jika itu ternyata Laras. Sebenarnya bukan tidak peduli. Aku takut mendapati seseorang yang menjadi korban pembunuhan adalah benar-benar Laras.

“Di sini kalau malam memang gelap sekali. Saya saja takut lewat malam-malam,” kudengar samar-samar seseorang mengatakannya.

Semakin banyak yang kudengar, rasa penasaranku semakin menjadi. Kuputuskan dengan sengaja mendengarkan seluruh percakapan yang ada.

“Saya juga sering mendengar ada yang dibacok terus dirampok di sini,” ujar seseorang.

“Barangkali dia juga mengalami hal yang sama. Kasian sekali. Dia masih sangat muda,” timpal yang lain.

Muda? Aku mengingat Laras. Manusia macam apa yang tega menyakiti perempuan semanis Laras. Bahkan membunuh dan membuangnya seperti itu. Benar-benar biadab!

Aku mendengar suara sirine lagi. Kali ini mobil ambulans. Mobil itu melintas di depanku.

Aku berusaha lebih dekat ke kerumunan. Tidak mencoba menerobos masuk. Hanya memperhatikan di pinggiran. Kulihat petugas medis menurunkan tandu.

Polisi menyuruh orang-orang menyingkir. Mereka akan mengamankan TKP. Seseorang diangkat dari selokan. Aku masih belum dapat melihat dengan jelas.

Petugas medis mengangkatnya ke tandu. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Seseorang yang tewas itu tidak menggunakan rok seperti yang Laras kenakan. Ia tidak berambut panjang seperti rambut Laras. Dan ia bukan perempuan.

Aku mengenalinya. Pakaian itu, tas itu, sepatu itu. Mengapa ia menggunakan semua milikku? Mengapa ia mirip denganku?

Aku masih mematung di tempatku. Seketika aku tidak dapat bergerak. Aku tak dapat merasakan tubuhku sendiri. Seseorang berdiri tepat di sampingku, menggenggam tanganku. Aku menoleh. Laras?

“Kamu dirampok semalam. Perampok itu menikammu. Mereka melemparkanmu di selokan. Motor dan benda-benda berhargamu dibawa pergi,” ujar Laras lirih.

Aku mengikuti Laras. Kami melangkah masuk lagi ke dalam kawasan hotel. Sudah tak kupedulikan lagi siapa Laras. Yang pasti, saat ini kita adalah teman.

Ibu, maafkan aku. Selamat tinggal.

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D