Review : Laki-Laki Pemanggul Goni, Sarat Kritik Sosial-Budaya Indonesia



Laki-Laki Pemanggul Goni
Cerpen Pilihan Kompas 2012

Penerbit Buku Kompas, Juni 2013 
 Perancang ilustrasi : Amrizal Salayan
 Perancang sampul : Wiko Haripahargio
 Jumlah halaman : xvi + 268 halaman
 ISBN : 978-979-709-724-0







Berawal dari tweet Bernard Batubara yang menunjukkan bahwa ia sedang membaca antologi cerpen "Laki-Laki Pemanggul Goni", dan mengatakan bahwa buku ini bagus. Maka tergodalah saya untuk memilikinya.

Gayung bersambut. Ketika mengunjungi Pesta Buku yang diadakan di Gedung Wanita Semarang, bulan November lalu, mata saya langsung tertuju pada penampakan buku ini di stand Kompas. Karena masuk dalam pesta buku, harganya pun jadi miring (yeah!). Saya mendapatkan diskon 20% + 20% karena menggunakan KTM (padahal saat itu posisi saya sudah lulus kuliah). Demi diskon buku, maapkan saya...

Buku itu belum juga saya baca, karena saya menghabiskan buku-buku yang lain dulu. Tetapi tak lama setelah itu, muncullah daftar buku bagus yang dibuat oleh Bernard Batubara dalam postingan di blognya yang berjudul Mencari Buku untuk Dibaca? yang membuat saya makin tidak sabar untuk membacanya.

Karena buku ini adalah antologi cerpen, saya jadi bisa membacanya sedikit demi sedikit. Paling tidak satu-dua cerpen satu harinya (lamban ya?). Dan barulah kemarin buku ini selesai saya baca seluruhnya.

20 cerpen yang ada dalam buku sukses membuat saya berdecak kagum saat membacanya. Tulisannya begitu rapi dan mengalir, dengan ide cerita yang sangat bagus. Pada intinya, sebagian besar cerpen di sini merepresentasikan potret sosial-budaya Indonesia yang dikemas apik dan penuh kritik oleh penulisnya:

Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Mashdar Zainal, Agus Noor, Martin Aleida, Noviana Kusumawardhani, Emil Amir, Dwicipta, Triyanto Triwikromo, Indra Tranggono, A Mustofa Bisri, Arswendo Atmowiloto, Linda Christanty, Sandy Firly, Guntur Alam, Norman Erikson Pasaribu, Komang Adnyana, GM Sudarta, dan Dewi Ria Utari. 

Bagaimana?
Ada nama yang kalian kenal?

Pasti dong?! Karena sebagian dari mereka adalah senior dalam bidang sastra yang sudah tidak bisa diragukan lagi kemampuannya dalam menulis.

Laki-Laki Pemanggul Goni yang menjadi judul buku ini sendiri adalah cerpen dari Budi Darma. Mengapa cerpen ini yang menjadi judul? Karena setelah tahap seleksi yang panjang, juri memutuskan cerpen ini menjadi karya utama karena memenuhi sejumlah syarat pokok sebagai cerita pendek yang sangat baik.

Yang paling menarik adalah kritik yang diberikan oleh Maman S Mahayana di bagian epilog. Jumlahnya kira-kira 65 halaman penuh berisi kritik dan penjelasan untuk cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini. Maman S Mahayana sangat kritis dalam memberikan kritik. Pedas memang, mungkin akan membuat panas untuk penulisnya. Tetapi semua kritik yang diberikan ada dasarnya. Sehingga pastilah dapat dijadikan pembelajaran untuk penulisnya dan juga untuk pembaca seperti saya. 65 halaman tidak terasa membosankan. Karena saya justru merasa bagian inilah yang paling seru.

Tanpa bagian epilog ini, mungkin saya hanya terkagum-kagum pada cerpen-cerpen yang ditulis dengan mengambil makna menurut saya sendiri. Bagian ini benar-benar memberikan saya pemahaman lebih dan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan penulisnya. Intinya, saya belajar banyak!

4 bintang dari 5 bintang untuk buku ini. Cocok untuk kalian yang sedang menggeluti penulisan cerpen atau senang menuliskan review. Dan untuk pembaca umum, sangat banyak problem sosial-budaya Indonesia yang dapat memberikan kita pelajaran dan pengetahuan.

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D