Prompt #67: Mengambang

(image source: here)

"Pak, kami butuh WC yang layak!"

"Iya pak, kotoran yang mengambang tidak enak dipandang."

Bertahun-tahun aku menjadi ketua RT di perkampungan pinggir sungai. Sudah tugasku untuk mencari solusi untuk setiap keluhan warga.

"Baiklah, saya janji, besok tidak ada kotoran yang mengambang!"

Esoknya, kubongkar tabunganku untuk belanja sayuran. Kukerahkan ibu-ibu untuk merebusnya dan mengulek sambal ekstra pedas. Membuat pecel. Seluruh warga makan bersama dengan riang setelahnya.

Esok paginya...

"Woi gantian!" teriak warga yang mengantre di depan jamban.

"Bentar! Diare nih!" timpal yang di dalam. 

Antrean semakin panjang saja.

Cairan akan lebih mudah larut dengan air sungai, bukan? Untuk sementara, tugasku selesai.

***

*100 kata, belum termasuk judul.

Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis

sumber: dokumentasi pribadi Rinrin Indrianie


Aku berjalan lunglai di bawah gerimis sore itu. Ingin mendramatisasi keadaan. Baru saja cintaku ditolak. Lagi. Entah sudah ke-berapa kali.

Kulewati seorang kakek yang menuntun sepedanya dengan setumpuk rumput memenuhi belakang sadelnya. Pakaiannya basah, kakinya yang beralas sandal jepit, kotor ternoda tanah, kepalanya terlindung caping yang entah berapa lama dapat menghalau air hujan. Apakah ia juga sedang mendramatisasi keadaan?

Aku mengabaikannya. Kuteruskan langkahku, menikmati tetes air hujan yang jatuh membasahi seragam putih abu-abuku. Berharap perasaan kecewaku luntur.

Kukurangi kecepatan saat di turunan. Sepatuku yang basah sampai ke dalam, semakin terasa licin ketika menggesek aspal. Aku berjongkok untuk melepasnya. Benda ini membuatku kesulitan menjaga keseimbangan.

Saat berjongkok itulah kulihat kakek tadi meluncur dari atas. Sepeda yang kini dinaikinya bergoyang-goyang tak seimbang. Ia berteriak menyuruhku minggir, tapi aku justru terpaku melihatnya serta sepedanya yang semakin dekat, sangat dekat, dan BRUK!

 Badan kakek beserta sepeda dan rumputnya itu menimpaku."Aduh Nak, maaf, Mbah ndak sengaja," ujarnya seraya membantuku berdiri.

"Nggak apa-apa, Mbah." Kusunggingkan senyum walau menahan perih dan ngilu. Kutepuk celana dan bajuku untuk membersihkan rumput dan tanah yang menempel.

Kakek itu menurunkan semua rumputnya dan menyuruhku naik ke boncengan. "Saya antar ke puskesmas, Nak." 

Ia memaksa. Dikayuhnya sepedanya meski tersendat-sendat. Tubuh rentanya sigap menuntunku masuk ke dalam begitu kami sampai.

Lecet dan memar kecil di sana sini. Itu saja. Dokter sudah membersihkannya, dan besok pasti sudah tak terasa lagi. Kakek itu kembali menuntunku saat ke luar puskesmas. “Mbah ndak bisa ganti biaya berobatnya. Jadi, bawa saja sepeda ini. Cuma ini harta mbah, nak."

"Eh, nggak usah, Mbah."

"Tolonglah, Mbah nggak suka berutang." Ia menepuk pundakku kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku terperangah menatapnya yang semakin jauh dan menghilang di ujung jalan.

Setelah tak ada sepeda, rupanya ia memanggul semua rumputnya di punggung. Membuat tubuh rentanya melengkung. Selama beberapa hari ini aku mengamatinya dan memperhitungkan sesuatu.

***

Hari inilah saatnya.

Ketika kakek itu menyusuri jalan turunan, kukayuh sepedaku. Begitu dekat dengannya, kusenggol tubuhnya hingga terjatuh. Aku pun berhenti dan membantunya berdiri. Tak ada luka. Perhitunganku tepat.

Kubantu ia naik di boncengan. Masih dengan rumput di punggung. Ia berpegangan kuat di pundakku. Kukayuh sepedaku cepat. Tapi bukan ke puskesmas, melainkan ke rumahnya. Aku tahu letaknya setelah beberapa hari yang lalu mengikutinya.

“Maaf ya, Mbah. Saya tadi sengaja. Ini sepeda buat Mbah, sebagai permintaan maaf saya. Cuma ini harta yang saya punya.” Maksudku, benda ini satu-satunya yang kubeli dari tabunganku. “Terima ya Mbah, biar saya tenang.”

Kakek itu tersenyum, “Kamu balas dendam, ya?”

Aku menggeleng kuat-kuat.

“Terima kasih, ya, Nak. Tapi sepeda ini terlalu bagus, boleh ditukar dengan sepeda mbah yang kemarin saja?”

“Aduh, kalau itu sudah diminta papa, Mbah. Beliau kolektor barang antik.”

Kujelaskan kelebihan sepedaku untuk menghapus raut kecewa di wajahnya.

“Ngomong-ngomong, ternak Mbah di mana? Saya nggak lihat kandang.”

Ia tertawa. “Ya ndak ada kandang, wong saya ndak punya ternak.”

“Lho? Lalu rumput-rumput itu buat apa?”

“Buat angon ternak punya orang.”

“Oh... Nggak pengin punya ternak sendiri, Mbah?”

“Ya pengin.”

“Ng... saya harus nabrak model gimana supaya Mbah nggak bisa nolak kalau saya kasih ternak?”

***

*499 kata, belum termasuk judul.

Review: Katarsis




Judul : Katarsis
Genre : Psychology Thriller
Penulis :Anastasia Aemilia
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : 264 halaman
ISBN : 978-979-22-9466-8



Blurb:
Tara Johandi, gadis berusia delapan belas tahun, menjadi satu-satunya saksi dalam perampokan tragis di rumah pamannya di Bandung. Ketika ditemukan dia disekap di dalam kotak perkakas kayu dalam kondisi syok berat. Polisi menduga pelakunya sepasang perampok yang sudah lama menjadi buronan. Tapi selama penyelidikan, satu demi satu petunjuk mulai menunjukkan keganjilan.

Sebagai psikiater, Alfons berusaha membantu Tara lepas dari traumanya. Meski dia tahu itu tidak mudah. Ada sesuatu dalam masa lalu Tara yang disembunyikan gadis itu dengan sangat rapat. Namun, sebelum hal itu terpecahkan, muncul Ello, pria teman masa kecil Tara yang mengusik usaha Alfons.

Dan bersamaan dengan kemunculan Ello, polisi dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang melibatkan kotak perkakas kayu seperti yang dipakai untuk menyekap Tara. Apakah Tara sesungguhnya hanya korban atau dia menyembunyikan jejak masa lalu yang kelam?

Review:

Katarsis -- Upaya "pembersihan" atau "penyucian" diri, pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan. (Wikipedia)

Mencekam! Untuk pembaca yang tidak terbiasa membaca kisah-kisah thriller, mungkin akan mengernyitkan kening berkali-kali, nggak nafsu minum, atau malah menutup buku sebelum menyelesaikannya. Karena kisah di dalam novel ini bukan sekadar pembunuhan. Lebih dari itu. Bahkan tokohnya merasakan kepuasan saat melakukannya. Sakit!

Bisa dibilang aku sudah terbiasa membaca kisah-kisah thriller (membaca ya, bukan pelakunya, hehe). Aku tergabung dengan komunitas MFF (Monday Flash Fiction), sebuah komunitas menulis FF, di mana terkadang prompt mingguannya, menantang member untuk menuliskan sebuah FF bergenre thriller. Bahkan ketika tantangan prompt membebaskan member untuk menulis genre apapun, beberapa member tetap menulis FF bergenre thriller. Jadi aku sudah cukup familier dengan kisah-kisah sadis semacam ini. Dan novel ini memuaskanku sebagai pembaca.

Aku suka covernya. Cukup menggambarkan bagaimana 'sakit'-nya Tara. Ia adalah seorang anak yang membenci namanya sendiri, keluarganya sendiri, dan perlakuan-perlakuan untuknya. 

Aku bukan Tara. Itu yang selalu kukatakan pada mereka sejak aku belajar bicara. Bahkan sejak keluar dari rahim Tari pun aku selalu ingin meneriakkan kalimat itu pada mereka. -- hal. 29 

Tak dijelaskan mengapa Tara begitu membenci semua di sekitarnya, bahkan semenjak ia masih sangat kecil. Jadi aku sempat mengira bahwa ada semacam setan yang merasuki jiwa Tara, menggunakan raganya, dan bersemayam di sana selamanya, hehe. Atau mungkin memang ada jenis penyakit jiwa yang terbawa semenjak lahir?

Ketika bertamasya di taman, Tara terjatuh dari sepeda. Seorang anak laki-laki bernama Ello menolongnya dan memberikan koin lima rupiah. Tara menganggapnya konyol, namun mempercayainya, bahkan sampai mengalami ketergantungan terhadap koin tersebut. Ia percaya, rasa sakit dalam bentuk apapun yang dirasakannya akan surut jika ia menggenggamnya.

"Ini, pegang. Mamaku bilang, kalau lagi sakit, kita harus pegang koin biar sakitnya berkurang." -- hal. 39

(Mereka ini baru sekali bertemu, jadi aku kurang setuju kalau di dalam blurb, Ello disebut sebagai teman masa kecil Tarra. Karena setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Baru bertemu saat mereka dewasa.)

Suatu hari, kejadian buruk menimpa Tara. Seseorang memperkosanya, dan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu di luar batas. Ia membunuh dan memutilasi pelakunya. Apa yang ia lakukan, menjadi penyebab kekacauan di keluarganya, dan membuatnya terkurung di kotak perkakas kayu hingga hampir mati. Aroma mint yang tercium ketika ia terkurung menjadikan trauma untuknya.

Tara berhasil ditemukan, tapi kisah tidak lantas selesai begitu saja. Terjadi pembunuhan berantai dengan kotak perkakas kayu sebagai tempat mayat diletakkan dan koin 5 rupiah di dalam kotak tersebut. Tidak ada motif jelas yang menghubungkan korban satu dan lainnya, sehingga ini menyulitkan polisi. 

Jadi, ada tiga hal yang menjadi keyword dalam kisah ini, yaitu: kotak perkakas kayu, aroma mint, dan koin 5 rupiah. 

***
Ditulis dengan POV pertama, bergantian antara Tara dan Ello, membuatku harus berpikir sedikit lebih keras untuk menebak, ini bagian siapa, ya. Tapi itu bukan masalah besar, karena penulis menebusnya dengan diksi yang sangat apik. Ia canggih dalam memilih kata. Tulisannya padat. Caranya membagi novel ini menjadi 66 bab + prolog dan epilog, juga patut diacungi jempol. Tulisan di tiap babnya singkat, tetapi tetap mengena dan membuat penasaran. Sehingga sebagai pembaca, aku tidak merasakan kejenuhan sedikit pun. Bahkan tidak ingin melepaskan novel ini sampai selesai.

Quote favorit:
- Kewarasan divonis tanpa menggunakan stetoskop, termometer, atau rontgen. Buatku itu sama sekali tidak masuk akal. -- hal. 51
- Kurasa benar kata orang, berhati-hatilah dengan apa yang kau harapkan, kau takkan tahu bagaimana permohonanmu akan dikabulkan. -- hal 108
- Rasa sakit itu ada untuk melindungi dan mengajarimu banyak hal. -- hal. 183

Aku berikan 4 bintang dari 5 bintang yang aku punya

Ayo Kak Anastasia, tulis lagi dong buku bergenre serupa dan yang lebih seru dari ini. Atau kisah lanjutan dari kehidupan Tara juga boleh :D

Prompt #64: Jalan-Jalan Tengah Malam

(image source: here)


Aku tak bisa tidur. Angga pun.  

"Jalan-jalan saja, yuk!" ajakku.

Kami menyusuri jalan setapak hutan. Mengobrol sambil tertawa-tawa. Tanpa disadari, perkemahan sudah jauh di belakang. Angga mengajakku kembali saat kulihat dahan-dahan pohon teronggok di depanku. Beberapa tercecer di depannya lagi.

Mata kami menangkap seorang nenek memanggul sekarung penuh dahan pohon di depan sana. Badannya membungkuk, mungkin karena beratnya beban di punggung. 

"Pasti terjatuh dari karungnya." Aku mencoba menyimpulkan. "Pasti berat, bagaimana kalau kita bantu?"

"Jangan bercanda! Bagaimana jika ia bukan manusia?"

Aku menertawakan kecemasannya. Sementara nenek itu semakin jauh.

"Bagaimana jika kita pastikan? Jika kakinya tidak menapak, kita lari, kembali ke tenda. Masa pecinta alam takut sama hantu," cibirku. Aku pun berjalan mendahuluinya, menyusul nenek itu. Kukulum senyum saat mendengar langkah Angga menyusulku.

Kakinya menapak tanah. Nenek itu manusia. Ia kaget ketika kami mendekatinya. Kujelaskan bahwa kami hanya ingin membantu. Akhirnya ia mau menyerahkan karungnya pada Angga dan menunjukkan jalan ke rumahnya.

Jauh. Aku iba melihat Angga yang kepayahan mengangkat karung itu.

Lega ketika nenek itu menunjuk sebuah gubuk. Kami sudah sampai. Mungkin ia akan memperbolehkan kami menginap sampai pagi. Aku sudah sangat lelah. Kurasa Angga pun.

Saat hendak menyampaikan niatku, sebuah batang kayu kecil dan runcing melesat, menimbulkan bunyi SLEP! ketika menembus leher Angga. Darah mengalir. Ia limbung, kemudian terjatuh.

"Anggaaaa!" Aku mengguncang tubuhnya.

"Lari!" ujarnya lirih.  Sebentar kemudian darah yang mengalir keluar berubah kehitaman. Jangan-jangan batang kayu ini sudah dilumuri racun.

Tiba-tiba kurasakan sesuatu menusuk lenganku. Kemudian leherku. Batang kayu yang mirip. Aku terjatuh. 

Dua orang anak - entah berapa usianya - keluar dari balik semak-semak. Masing-masing membawa sebuah bambu. Itukah alat untuk meniupkan batang kayu beracun?

Pandanganku mulai kabur.

"Cepat potong-potong, kemudian nyalakan api! Nenek akan membuat bumbu. Kita makan besar malam ini." Kata-kata nenek itu sempat kudengar sebelum mataku menutup dan aku tak lagi merasakan apa-apa.

***

*300 kata, belum termasuk judul.