Sudah Waktunya

"Sudahlah, kita sudah tidak ada kecocokan lagi." Randi membelah kesunyian setelah sekian lama tidak ada yang mau membuka pembicaraan dalam pertemuan ini.

"Apa kamu bilang? Maksud kamu apa ngomong gitu?" Nia terkejut mendapati kekasihnya mengatakan hal itu padanya.

"Kamu tahu apa maksudku, Nia."

"Kamu mau kita putus?"

"Iya. Sudah sebaiknya begitu. Kita sudah terlalu sering bertengkar."

"Kamu jahat! Kalau begitu, aku bunuh diri saja." Nia berlari menjauh dari Randi. Tak mempedulikan deras air hujan menerpa tubuhnya. 

Randi tak berusaha mengejarnya. Ia sudah bosan dengan kata-kata serupa. Kekasihnya itu sudah terlalu sering memberikan ancaman yang sama - bunuh diri - setiap kali ia meminta berpisah. Sekarang ia sudah menyadari bahwa itu hanyalah sekedar ancaman kosong. Nia tidak akan pernah berani melakukannya.

"CUT! Yak... Bungkus!"

Kejutan!


Ku tiup satu persatu balon. Puluhan balon akan memenuhi ruangan, begitu rencanaku.

Nanti selepas tengah malam, sepulangnya dari siaran radio, pastilah ia akan senang bukan main mendapati kejutan ulang tahun yang kupersiapkan. Tidak sabar rasanya menunggu hingga malam tiba.

Pukul 00.15. Belum juga ada tanda-tanda mobilnya merapat di depan bangunan kostnya. Padahal jadwal siarannya sudah selesai sejak pukul 23.30. Baiklah, aku masih kuat menunggu.

15 menit kemudian ia datang. Begitu kudengar kunci diputar di handle pintu, jarum yang sudah kupegang siap untuk membuat salah satu balon meletus. Dan begitu langkah kaki terdengar, jarum itu akan benar-benar kutusukkan pada balon, beberapa balon rencananya.

Lampu menyala. Senyumku mengembang ketika balon demi balon keletuskan dengan jarum. Tetapi tak kutemui sorak riang si empunya kamar yang sedang berulang tahun ini. Sekilas justru ku dapati matanya terbelalak kaget melihat kamarnya yang penuh balon. Ku pikir ia terpesona akan kejutanku. Tetapi sesaat kemudian ia ambruk. Aku mendekatinya dan memeluknya. Tapi tak lagi kurasakan detak jantungnya. 

Maafkan aku, aku tak tahu kau phobia terhadap balon...

Hati yang Bicara

Bisakah kau tidak tersenyum semanis itu? Aku tak bisa mengartikannya. Aku selalu tertipu pada senyum lelaki yang semanis itu, dan begitu aku tak bisa membalas pujian-pujiannya, bahkan tak bisa menyebutkan namaku, lelaki-lelaki itu pasti menyurutkan senyumnya dan pergi tanpa sepatah katapun. Akan begitukah kau?

Atau harus kupasang wajah semengerikan mungkin, agar kalian para lelaki tidak mendekati hanya karena tampilan luarku?

Tapi bagaimana bisa? Bahkan aku menyayangi wajah dan tubuhku yang cantik. Cermin adalah sahabatku. Di saat benda-benda bersuara tak bisa memberikan ketenangan. 

Tapi kau... Roni, tetanggaku, telah memberitahumu bahwa aku berbeda. Ia berkata aku tak bisa mendengarmu, bahkan berbicara padamu. Ya! Aku tak benar-benar bisa mendengar ia memberitahumu. Tapi aku bisa membaca gerak bibirnya dengan sangat tepat. Aku terlatih untuk itu. 

Bisakah kau surutkan senyum itu?

Jika tak kau surutkan, aku takut kau adalah jawaban atas penantian panjangku. Aku takut berharap.

Perempuan di Seberang

“Coba lihat perempuan di seberang sana.” Roni yang baru saja datang tak kupersilakan duduk terlebih dahulu. Aku masih sibuk memperhatikan seseorang yang berhasil mencuri seluruh pandanganku. Seorang perempuan dengan mata yang fokus pada buku di tangannya.

“Siapa sih?” Roni tampaknya penasaran. Ia mencari arah mataku.

Tapi mataku bahkan tidak kuasa berpindah menghadapnya. Masih saja menatap lekat perempuan di seberang sana.

“Kenal?” tanyanya.

Aku menggeleng. Bagaimana bisa mengenalnya. Melihatnya pun baru hari ini, saat ini. 

“Tapi....” nada suara Roni meledekku.

“Tapi... entah mengapa, begitu melihatnya...” belum sempat kuteruskan kata-kataku.

“Begitu melihatnya, kamu merasa jatuh cinta. Itu kan yang bakal kamu bilang?” 

Aku tertawa. Roni benar-benar sahabatku. Ia tahu kebiasaanku. Mudah jatuh cinta. 

“Yauda, jadi nggak nih mau ke tempat futsal?” Roni tidak sabaran. Kami memang memiliki janji, sore ini bertemu di taman ini untuk berangkat bersama ke tempat futsal.

“Tunggu sebentar lah...” Tak kubiarkan Roni merusak pemandangan indahku .

Tak kusangka, Roni bergerak dengan cepat dan bangkit dari duduknya. Ia menarikku mendekati perempuan manis yang sejak tadi kuperhatikan. Perempuan itu tidak menyadari kedatangan kami. Bukunya benar-benar telah menyita seluruh perhatiannya.

Matanya terlihat lebih indah jika dilihat sedekat ini. 

Roni tanpa basa-basi menepuk bahu perempuan itu dari samping. “Sahabatku mau kenalan sama kamu.” 

Senyumnya oh senyumnya. Aku hampir  tak bisa merasakan kakiku karena terlalu terpesona. Aku tak mau membuang waktu lagi. “Aku Andra.” 

Ia membalas jabatan tanganku. Tangannya lembut sekali. Sungguh.

“Namanya Viona. Ia tak bisa mendengar suaramu. Ia juga tak bisa bicara padamu.”

Aku tersentak, “Jadi....”

“Ya! Baru saja kau tahu itu.”

“Dan kau?”

“Ia adalah tetanggaku. Jarang sekali keluar rumah. Kali ini, sepertinya bukan kebetulan kau bertemu dengannya. Karena aku tidak percaya pada kebetulan kan?”

Aku mengangguk. Senyum yang tadi kuberikan tak lantas kujatuhkan begitu saja. Senyum yang sama masih kusinggungkan untuk Viona.
 
Tak apa. Aku mencintainya secara tiba-tiba. Jika aku tak bisa menikmati suara merdunya, tatapan matanya dan senyum manisnya kurasa cukup.