Review: Slammed



 
Judul : Slammed
Penulis : Colleen Hoover
Penerjemah : Shandy Tan
Editor :Ambhita Dhyaningrum
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : 336 halaman
ISBN : 978-979-22-9518-4

 


Blurb:
Layken harus kuat demi ibu dan adiknya. Kematian mendadak sang ayah, memaksa mereka untuk pindah lagi ke kota lain. Bayangan harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru sungguh menakutkan Layken. Namun semua berubah, begitu ia bertemu dengan Will Cooper, tetangga barunya.

Will memang menarik. Dengan ketampanan dan senyum memikat, pemuda itu menularkan kecintaannya pada slams-pertunjukan puisi. Perkenalan pertama menjadi serangkaian hubungan intens yang membuat mereka semakin dekat, hingga keduanya bertemu lagi di sekolah...

Sayangnya, hubungan mereka harus berakhir. Perasaan yang mulai tumbuh antara Will dan Layken harus dihentikan. Pertemuan rutin mereka di kelas tak membantu meniadakan perasaan itu. Dan puisi-puisi menjadi sarana untuk menyampaikan suara hati. Tentang sukacita, kecemasan, harapan, dan cinta terlarang mereka.
 
Review:
Mengaduk-aduk perasaan! Ada beberapa bagian yang bikin aku mewek, dan beberapa bagian yang bikin senyum-senyum sendiri sambil berkomentar, "uh, so sweet..."

Bercerita dengan sudut pandang pertama dari Layken/Lake, gadis 18 tahun mengenai kehidupannya  setelah ayahnya meninggal secara mendadak.

Menurut Elizabeth Kubler Ross, ada lima tahap yang dilewati orang yang berduka setelah ditinggal mati orang yang dikasihinya:  penyangkalan, amarah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. -- hal 40
Belum selesai kesedihannya karena meninggalnya sang ayah, ibunya memberitahu kabar buruk lagi. Mereka bangkrut, sehingga terpaksa harus pindah ke Ypsilanti, Michigan karena ibunya sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik daripada di Texas, kota asal mereka.

Tidak seperti adik laki-lakinya, Kel, 9 tahun, yang langsung mendapatkan teman yang asyik (Caulder - tetangga seberang rumah mereka), Lake justru ragu apakah ia akan menyukai kota kecil ini.

Aku mengerti mengapa kami harus menempuh jalan ini, sayangnya, memahami sebuah situasi tidak selalu membuat keadaan lebih mudah. -- hal 16

Keraguannya dipatahkan saat ia bertemu dengan kakak Caulder, Will, 21 tahun, di hari pertama kepindahan mereka di rumah baru. Tak seperti laki-laki seumurannya, Will terlihat sangat dewasa dari segi pemikiran maupun sikap. Ditambah ia sangat menyukai puisi. Semua hal di diri WIll membuat Lake jatuh cinta.

Konflik dimulai saat Lake dan WIll bertemu di sekolah. Kenyataan itu meruntuhkan benih-benih cinta di hati mereka. Will merasa perasaan mereka salah dan tidak boleh berkembang. Ia menyuruh Lake untuk menganggap bahwa di antara mereka tidak pernah ada apa-apa. Dan itu sulit untuk keduanya. Mereka sama-sama tersiksa. 

Beruntung, di sekolah barunya, Lake mendapatkan seorang sahabat, Eddie, yang menjadi tempat pelarian ketika masalah datang padanya dan membuat harinya lebih menyenangkan. Dan tak ia sangka, sahabatnya yang sangat periang itu ternyata memilki kisah hidup yang jauh lebih menyedihkan. 

Banyak konflik yang ada di novel ini. Selain menghadapi kenyataan bahwa Lake harus mengubur cintanya, ia juga dihadapkan dengan kenyataan lain bahwa ibunya menyembunyikan sebuah rahasia yang membuat hatinya hancur. 

***

Dari novel ini aku belajar untuk menertawakan hidup. Tidak sepenuhnya kesedihan harus menguras airmata kita. Dan dalam novel ini, justru Kel, seorang anak 9 tahun, dengan pemikiran polosnya, yang mengajarkan hal itu. 

Julia, ibu Lake dan Kel juga sangat bijak (bocoran: di ending banyak quote bagus dari dia). Ia sangat memikirkan masa depan kedua anaknya.
Lampauilah keterbatasanmu, Lake. Keterbatasan itu ada untuk dilampaui. -- hal 253
Kata-kata dari Julia yang ini nih yang juga menjadi renungan untukku:

Ada tiga pertanyaan yang mesti benar-benar bisa dijawab 'iya' oleh seorang perempuan sebelum dia mengikatkan dirinya pada seorang laki-laki. Kalau ada satu saja yang kau jawab 'tidak', maka larilah sekencang-kencangnya. Apa laki-laki itu selalu memperlakukanmu dengan hormat? Itu pertanyaan pertama. Pertanyaan kedua adalah, misalkan dua puluh tahun lagi dia masing orang yang persis sama dengan dia yang sekarang, apakah kau tetap mau menikah dengannya? Terakhir, apakah laki-laki itu menggugah keinginanmu menjadi orang yang lebih baik? Jika berhasil menemukan laki-laki yang bisa membuatmu menjawab iya untuk ketiga pertanyaan tadi, berarti kau sudah menemukan laki-laki yang baik. -- hal 45-46
Nah, untuk bagian yang agak kurang menurutku saat Kel dan Caulder membuat manusia salju yang berlumuran darah. Jika mereka memiliki ide seperti itu, otomatis karena mereka membayangkannya. Dan bagaimana mereka bisa membayangkannya, mungkin dari tontonan film. Dan itu menurutku mengerikan untuk anak seumuran mereka! 

Satu lagi, tulisan 'Cinta Terlarang' di cover sepertinya kurang pas. Cinta Lake dan Will bukan cinta antara saudara sedarah atau cinta yang terlalu gimana-gimana. Jadi 'terlarang' bukan kata yang tepat deh.

Adanya puisi-puisi menambah nilai lebih novel ini. Walaupun terkesan agak kaku karena diterjemahkan, tapi tetap saja menyentuh dan indah. Oh iya, ngomong-ngomong soal terjemahan, novel ini termasuk rapi dan enak banget dibaca. Top! 

Menurutku plot novel ini rapi. Penulis juga cerdas dalam menyusun dialog. Endingnya pun memuaskan. Aku beri 5 bintang dari 5 bintang yang aku punya. Nggak sabar baca buku keduanya: Point of Retreat :)

Prompt #63: Musim Kawin

(image source: here)

"Maoong! Maoong! Maoong!"

Itu pasti suara Piyo, kucing dari Fabian, tetangga depan rumahku. Ini sudah tengah malam dan besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali ke kantor untuk menyiapkan presentasi dengan klien. Proyek besar. Tapi suara kucing kampung sialan itu sungguh mengganggu tidurku.
"Berisik!" Aku beranjak dari tempat tidur dan tergesa menuju kamar mandi, mengambil segayung air, dan langsung menuju pintu depan. 

Celingukan ku cari si Piyo. 

"Tengah malam begini mau nyiram tanaman, mbak?" Ini dia pemilik si Piyo. Fabian rupanya sedang duduk-duduk di teras rumah sambil merokok. 

"Mau nyiram Piyo! Berisik tahu! Besok aku harus ke kantor pagi-pagi!" ujarku kesal. "Suruh diem tuh kucingmu!"

"Maklumin saja lah, mbak. Namanya juga musim kawin. Teriak-teriak begitu memang caranya untuk cari perhatian kucing betina, mbak."

Aku tidak peduli! 

Itu dia Piyo! Tumbuh gembulnya muncul dari semak-semak tak jauh dari rumahku. Buru-buru aku menghampirinya. Sepertinya akan puas jika sudah menyiramnya hingga basah kuyub. Mungkin dengan begitu ia akan kedinginan dan pulang ke rumah Fabian.

Rupanya Piyo menyadari kehadiranku. Ia menatapku lurus dengan mata hijaunya. Oh, tidak! Apa yang sudah kulakukan? Tatapan Piyo mengunci mata dan seluruh tubuhku.

Tiba-tiba kurasakan sekujur tubuhku memanas. Tanganku lemas. Gayung yang ku bawa terjatuh. Airnya terciprat mengenai kakiku. Refleks aku menjilati kakiku yang basah. Saat itulah aku baru menyadari tubuhku sudah penuh bulu.



Apa yang terjadi padaku?
 
Tanpa kusadari Piyo sudah berada sangat dekat denganku. Tiba-tiba ia menindihku dan menggigit tengkukku. 

Fabiaaaaaaaaan! Tolong akuuuu! Singkirkan kucingmu! 

Fabian acuh. Ia tetap saja mengisap rokoknya. Apakah ia tidak mendengar teriakanku?

"Akhirnya kamu dapetin betinamu. Have fun ya, Yo!" ujarnya kemudian.

Sialan!

***

*260 kata, belum termasuk judul.

Prompt #62: Merayakan Masa Lajang

(image source: here)
 
"Sebaiknya kita kembali ke kamar." Ariana mulai gelisah saat menatap langit gelap.

"Kamu lupa kalau saat ini kita sedang merayakan masa lajang? Sudahlah, duduk dulu!" Delta menimpali. 

Mereka berdua sahabatku. Ariana akan menikah bulan depan, kemudian Delta, seminggu setelahnya. Maka dari itu kami bertiga pergi ke luar kota untuk menghabiskan waktu bersama.

Dan baru saja, kami berdansa di ballroom hotel, dengan lelaki-lelaki tampan yang entah siapa.

Setelahnya, kami berjalan menuju jembatan indah di atas sungai di belakang hotel, dan duduk di pinggirnya sambil sesekali mengayun-ayunkan kaki. Mengabaikan dingin angin malam yang mulai menusuk.

"Lalu, kapan kamu akan menyusul?" Ariana tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang menohokku.

Delta mencubit paha Ariana yang duduk di sebelahnya.

Ku ambil ponsel di dalam tas tangan di pangkuanku. Kuhubungi seseorang.

"Ayah, aku setuju dengan perjodohan yang direncanakan ayah." Ku tutup telpon dan tersenyum seraya melempar pandangan jauh ke depan.

"Secepatnya," ujarku sambil memandangi wajah bengong mereka bergantian.

***

* 150 kata, belum termasuk judul.