sketsa oleh Betty Sanjaya |
Ibu menyayangiku. Apa yang ku makan selalu makanan sisa. Ia akan memastikan perutnya kenyang terlebih dahulu. Coba bayangkan jika makanan itu beracun!
Ibu melindungiku. Aku tidur di ruang pengap di belakang rumah bersama barang-barang usang yang sudah tak terpakai. Bayangkan jika tiba-tiba rumah kemasukan maling bersenjata tajam! Ruang tidurku pastilah tidak termasuk untuk dijamah mereka.
Ibu menjagaku. Aku tidak diperbolehkannya keluar jika rumah sedang kedatangan tamu. Ibu tahu aku tidak suka keramaian. Keramaian membuat telingaku pekik hingga aku tidak dapat mendengar isi hati dan kepalaku. Dan karena itulah aku selalu berteriak ketika berada di keramaian, agar dapat mendengar suaraku sendiri.
"Ibumu membencimu! Tinggallah bersama kami!" Entah mengapa banyak tetangga mengatakan hal itu. Mereka bilang kasihan padaku. Aku tidak merasa perlu dikasihani. Hidupku sungguh bahagia bersama ibu.
Ayah sudah pergi, bergabung dengan bintang dan bulan di langit malam. Sesekali aku melihatnya melongok dari balik awan kala pagi, hanya tersenyum, tidak berusaha menyapaku.
Ayah mencintaiku. Ia menghadiahkan sebuah ayunan di depan rumah saat ulang tahunku yang keenam. Ayunan yang ia rangkai dari ban mobil bekasnya. Di bawah pohon, tempat ayunan itu menggantung, menjadi tempat favoritku. Tak jarang hari-hariku habis di sana.
"Ibu? Ibu? Buka pintunya bu!" Suaraku hampir serak memanggil ibu. Tapi sampai tanganku pegal dan memerah karena mengetuk pintu kayu berulang-ulang, daun pintu itu tak juga membuka.
Jangan-jangan karena aku main ayunan tidak tahu waktu, makanya ibu marah dan pergi tanpa mengajakku.
Aku menangis. Takut. Hari sudah gelap tapi ibu tak juga terlihat. Berkali-kali aku menguap, tapi bertahan agar tidak tertidur. Aku ingin menunggu ibu.
"Dania, tidur di rumah nenek aja yuk," suara halus Nek Saodah, tetangga depan rumah membawaku kembali terjaga setelah kantuk berhasil menguasaiku.
Aku mendongak menatapnya. "Tapi kalau ibu pulang bagaimana?"
"Nanti nenek bangunkan. Di sini dingin." Dengan sarung yang dibawanya, Nek Saodah menyelimuti tubuhku yang masih duduk menunduk memeluk lutut.
Aku menggeleng keras. Berbagai upaya dilakukan Nek Saodah untuk membujukku. Tapi aku tetap ingin di sini menunggu ibu. Ia akhirnya menyerah, kemudian pulang. Tetapi ia memperhatikanku dari balik jendela semalaman.
Ibu pulang. Setelah beberapa hari berselang. Aku tidak menghitungnya. Nek Saodahlah yang membawakanku makanan dan minuman selama itu.
Ibu langsung masuk ke kamarnya tanpa menghiraukanku.
Aku berlari ke ruang tidurku. Membaringkan badan di kasur tipis berdebu.
Rasanya tak tenang. Aku ingin bertemu ibu. Aku sangat merindukannya. Dengan mengendap, aku menuju kamar ibu. Tidak terkunci. Ibu pun sudah terlelap. Aku mendekatinya dan mencium punggung tangannya.
"Ibu, aku menyayangimu." Kukecup keningnya untuk pertama kali sepanjang hidupku.
***
"Kasihan anak itu. Masih kecil sudah ditinggal ibunya bunuh diri."
"Mungkin ibunya sudah tidak tahan hidup dengan anaknya yang cacat."
"Hush! Nanti dia dengar. Kasihan!"
Kudengarkan percakapan dua polisi di dekat pintu rumahku itu sambil mengayunkan tubuh perlahan. Kuraba bibir atasku yang seolah menyatu dengan hidung hingga tak mampu menyembunyikan deretan gigiku yang menguning. Tapi kemudian aku tersenyum.
Aku beruntung. Terjebak dalam tubuh kanak-kanakku sampai kini usiaku 23, bahkan mungkin selamanya. Hingga polisi tidak menaruh curiga.
Dalam hati, aku menertawakan polisi yang mengira ibu mengiris nadinya sendiri.
**********************************************************************************************************
*495 kata belum termasuk judul dan catatan kaki
Ibu melindungiku. Aku tidur di ruang pengap di belakang rumah bersama barang-barang usang yang sudah tak terpakai. Bayangkan jika tiba-tiba rumah kemasukan maling bersenjata tajam! Ruang tidurku pastilah tidak termasuk untuk dijamah mereka.
Ibu menjagaku. Aku tidak diperbolehkannya keluar jika rumah sedang kedatangan tamu. Ibu tahu aku tidak suka keramaian. Keramaian membuat telingaku pekik hingga aku tidak dapat mendengar isi hati dan kepalaku. Dan karena itulah aku selalu berteriak ketika berada di keramaian, agar dapat mendengar suaraku sendiri.
"Ibumu membencimu! Tinggallah bersama kami!" Entah mengapa banyak tetangga mengatakan hal itu. Mereka bilang kasihan padaku. Aku tidak merasa perlu dikasihani. Hidupku sungguh bahagia bersama ibu.
Ayah sudah pergi, bergabung dengan bintang dan bulan di langit malam. Sesekali aku melihatnya melongok dari balik awan kala pagi, hanya tersenyum, tidak berusaha menyapaku.
Ayah mencintaiku. Ia menghadiahkan sebuah ayunan di depan rumah saat ulang tahunku yang keenam. Ayunan yang ia rangkai dari ban mobil bekasnya. Di bawah pohon, tempat ayunan itu menggantung, menjadi tempat favoritku. Tak jarang hari-hariku habis di sana.
"Ibu? Ibu? Buka pintunya bu!" Suaraku hampir serak memanggil ibu. Tapi sampai tanganku pegal dan memerah karena mengetuk pintu kayu berulang-ulang, daun pintu itu tak juga membuka.
Jangan-jangan karena aku main ayunan tidak tahu waktu, makanya ibu marah dan pergi tanpa mengajakku.
Aku menangis. Takut. Hari sudah gelap tapi ibu tak juga terlihat. Berkali-kali aku menguap, tapi bertahan agar tidak tertidur. Aku ingin menunggu ibu.
"Dania, tidur di rumah nenek aja yuk," suara halus Nek Saodah, tetangga depan rumah membawaku kembali terjaga setelah kantuk berhasil menguasaiku.
Aku mendongak menatapnya. "Tapi kalau ibu pulang bagaimana?"
"Nanti nenek bangunkan. Di sini dingin." Dengan sarung yang dibawanya, Nek Saodah menyelimuti tubuhku yang masih duduk menunduk memeluk lutut.
Aku menggeleng keras. Berbagai upaya dilakukan Nek Saodah untuk membujukku. Tapi aku tetap ingin di sini menunggu ibu. Ia akhirnya menyerah, kemudian pulang. Tetapi ia memperhatikanku dari balik jendela semalaman.
Ibu pulang. Setelah beberapa hari berselang. Aku tidak menghitungnya. Nek Saodahlah yang membawakanku makanan dan minuman selama itu.
Ibu langsung masuk ke kamarnya tanpa menghiraukanku.
Aku berlari ke ruang tidurku. Membaringkan badan di kasur tipis berdebu.
Rasanya tak tenang. Aku ingin bertemu ibu. Aku sangat merindukannya. Dengan mengendap, aku menuju kamar ibu. Tidak terkunci. Ibu pun sudah terlelap. Aku mendekatinya dan mencium punggung tangannya.
"Ibu, aku menyayangimu." Kukecup keningnya untuk pertama kali sepanjang hidupku.
***
"Kasihan anak itu. Masih kecil sudah ditinggal ibunya bunuh diri."
"Mungkin ibunya sudah tidak tahan hidup dengan anaknya yang cacat."
"Hush! Nanti dia dengar. Kasihan!"
Kudengarkan percakapan dua polisi di dekat pintu rumahku itu sambil mengayunkan tubuh perlahan. Kuraba bibir atasku yang seolah menyatu dengan hidung hingga tak mampu menyembunyikan deretan gigiku yang menguning. Tapi kemudian aku tersenyum.
Aku beruntung. Terjebak dalam tubuh kanak-kanakku sampai kini usiaku 23, bahkan mungkin selamanya. Hingga polisi tidak menaruh curiga.
Dalam hati, aku menertawakan polisi yang mengira ibu mengiris nadinya sendiri.
**********************************************************************************************************
*495 kata belum termasuk judul dan catatan kaki
Ditulis untuk QUIZ MONDAY FLASHFICTION #4 - Sketch Prompt