Quiz Prompt #4: Aku Sayang Ibu!

sketsa oleh Betty Sanjaya


Ibu menyayangiku. Apa yang ku makan selalu makanan sisa. Ia akan memastikan perutnya kenyang terlebih dahulu. Coba bayangkan jika makanan itu beracun!

Ibu melindungiku. Aku tidur di ruang pengap di belakang rumah bersama barang-barang usang yang sudah tak terpakai. Bayangkan jika tiba-tiba rumah kemasukan maling bersenjata tajam! Ruang tidurku pastilah tidak termasuk untuk dijamah mereka.


Ibu menjagaku. Aku tidak diperbolehkannya keluar jika rumah sedang kedatangan tamu. Ibu tahu aku tidak suka keramaian. Keramaian membuat telingaku pekik hingga aku tidak dapat mendengar isi hati dan kepalaku. Dan karena itulah aku selalu berteriak ketika berada di keramaian, agar dapat mendengar suaraku sendiri.


"Ibumu membencimu! Tinggallah bersama kami!" Entah mengapa banyak tetangga mengatakan hal itu. Mereka bilang kasihan padaku. Aku tidak merasa perlu dikasihani. Hidupku sungguh bahagia bersama ibu.

Ayah sudah pergi, bergabung dengan bintang dan bulan di langit malam. Sesekali aku melihatnya melongok dari balik awan kala pagi, hanya tersenyum, tidak berusaha menyapaku.

Ayah mencintaiku. Ia menghadiahkan sebuah ayunan di depan rumah saat ulang tahunku yang keenam. Ayunan yang ia rangkai dari ban mobil bekasnya. Di bawah pohon, tempat ayunan itu menggantung, menjadi tempat favoritku. Tak jarang hari-hariku habis di sana. 

"Ibu? Ibu? Buka pintunya bu!" Suaraku hampir serak memanggil ibu. Tapi sampai tanganku pegal dan memerah karena mengetuk pintu kayu berulang-ulang, daun pintu itu tak juga membuka. 

Jangan-jangan karena aku main ayunan tidak tahu waktu, makanya ibu marah dan pergi tanpa mengajakku.

Aku menangis. Takut. Hari sudah gelap tapi ibu tak juga terlihat. Berkali-kali aku menguap, tapi bertahan agar tidak tertidur. Aku ingin menunggu ibu. 

"Dania, tidur di rumah nenek aja yuk," suara halus Nek Saodah, tetangga depan rumah membawaku kembali terjaga setelah kantuk berhasil menguasaiku.

Aku mendongak menatapnya. "Tapi kalau ibu pulang bagaimana?"

"Nanti nenek bangunkan. Di sini dingin." Dengan sarung yang dibawanya, Nek Saodah menyelimuti tubuhku yang masih duduk menunduk memeluk lutut.

Aku menggeleng keras. Berbagai upaya dilakukan Nek Saodah untuk membujukku. Tapi aku tetap ingin di sini menunggu ibu. Ia akhirnya menyerah, kemudian pulang. Tetapi ia memperhatikanku dari balik jendela semalaman.

Ibu pulang. Setelah beberapa hari berselang. Aku tidak menghitungnya. Nek Saodahlah yang membawakanku makanan dan minuman selama itu.

Ibu langsung masuk ke kamarnya tanpa menghiraukanku.

Aku berlari ke ruang tidurku. Membaringkan badan di kasur tipis berdebu. 

Rasanya tak tenang. Aku ingin bertemu ibu. Aku sangat merindukannya. Dengan mengendap, aku menuju kamar ibu. Tidak terkunci. Ibu pun sudah terlelap. Aku mendekatinya dan mencium punggung tangannya.

"Ibu, aku menyayangimu." Kukecup keningnya untuk pertama kali sepanjang hidupku.

***

"Kasihan anak itu. Masih kecil sudah ditinggal ibunya bunuh diri."

"Mungkin ibunya sudah tidak tahan hidup dengan anaknya yang cacat."

"Hush! Nanti dia dengar. Kasihan!"

Kudengarkan percakapan dua polisi di dekat pintu rumahku itu sambil mengayunkan tubuh perlahan. Kuraba bibir atasku yang seolah menyatu dengan hidung hingga tak mampu menyembunyikan deretan gigiku yang menguning. Tapi kemudian aku tersenyum.


Aku beruntung. Terjebak dalam tubuh kanak-kanakku sampai kini usiaku 23, bahkan mungkin selamanya. Hingga polisi tidak menaruh curiga.

Dalam hati, aku menertawakan polisi yang mengira ibu mengiris nadinya sendiri. 

**********************************************************************************************************

*495 kata belum termasuk judul dan catatan kaki 



Dua Hari Bersamamu

Sebuah amplop putih tergeletak di meja kerjaku. Tanpa nama pengirim, apalagi alamat. Kubolak-balik amplop itu, menebak apa isinya. Uangkah? Sepertinya bukan. Siapa pula yang meletakkan amplop berisi uang dengan sembarangan seperti ini. 
Kusobek perlahan sisi ujung amplop. Berhati-hati agar isinya tidak ikut terkoyak. Kemudian kuraba isinya setelah ujung amplop benar-benar terbuka. Sebuah kertas. Kutarik perlahan untuk mengeluarkannya.
Sebuah tiket pesawat dengan daerah tujuan: Bali. Saat keningku masih berkerut memikirkan siapa pengirimnya dan apa maksudnya, nada dering handphone di dalam tas mengejutkanku. Sebuah panggilan masuk.
“Ha...” belum sempat kubentuk kata ‘Halo’ untuk menyapa orang yang menelponku, ia sudah memotongnya.
“Surprise! Happy fifth anniversary sayang...” Chandra, kekasihku, berhasil membuat pagi hariku dipenuhi senyuman.
***
Sampailah kami di Bali. Bulan sudah nampak. Tentu saja kami melewatkan sunset indah di pantai, juga jingga yang mewarnai langit Bali kala senja. Bagaimana tidak, jika ternyata tiket yang kutemukan tadi di meja adalah untuk sore ini juga. Mau tidak mau aku harus izin pulang cepat untuk packing. Begitu bertemu Chandra, langsung kucubit ia karena rencana dadakannya ini. Sekali-sekali menghabiskan weekend yang berbeda, begitu alasannya.
Suasana khas Bali sangat kentara begitu kami menginjakkan kaki di bandara Ngurah Rai, Bali. Pun di sepanjang perjalanan. Mataku dimanjakan oleh keunikan Bali dengan seluruh pohon besar serta patung-patung berlilitkan sarung kotak-kotak hitam putih di kiri kanan jalan.
Tak sabar rasanya menemukan kejutan apalagi yang sudah disiapkan Chandra untukku.
***
“Ayo cepat!” Chandra menarik tanganku masuk ke hotel, menuju resepsionis untuk mengambil kunci kamar yang sudah dipesannya via telepon, kemudian langsung berlari ke kamar untuk meletakkan koper. Semua kami lakukan dengan terburu-buru. Ia rupanya menyuruh sopir taksi menunggu kami. Entah kemana lagi ia akan membawaku. Padahal punggung ini sudah ingin menyentuh kasur di hotel tadi. 
“Kita mau ke mana?” tanyaku tak sabar. 
“Sudah, ikut saja!” 
Aku menurutinya. Kusamakan langkahku di sisinya begitu kami turun dari taksi. 
Pantai Nusa Dua. Mataku berbinar ketika di hadapanku menghampar pasir pantainya nan putih yang seolah mengatakan, “Ayo lepas alas kakimu dan berlarianlah di atas kami!”
 The Bay Bali. Nama itu tercetak di sekitar jalan setapak yang kami lalui. Mataku melirik deretan restoran di sepanjang kawasan The Bay Bali. Cacing-cacing di perutku spontan berdemo minta segera diberi makan. Tapi sayangnya, langkah Chandra tak mengarah pada satupun pintu masuk restoran.
Ia menggandengku ke pantai.  Sudah banyak orang di sana. Membentuk kerumunan yang masih belum kutahu apa yang menarik mereka. Semakin dekat, seruan-seruan mereka semakin keras terdengar. 
Yang membuatku curiga, kebanyakan dari mereka adalah lelaki. Hanya segelintir perempuan yang kulihat berada di antara kerumunan. 
Mataku sontak menyipit kemudian melotot dengan cepat saat akhirnya kutemukan sumber sorak sorai di tengah pantai ini. 
Sekelompok penari perempuan berbikini dengan bentuk bawahan rok yang super minim meliuk-liuk membentuk gerakan yang mampu membuat para lelaki yang mengerumuninya bersiul bahkan menganga ketika menonton tarian mereka. Termasuk Chandra.


“Seru ya,” ujar Chandra tanpa memalingkan wajahnya dari penari-penari itu.
“Hmm... iya seru. Seru banget! Berarti bisa dong nonton sendiri? Aku mau balik ke hotel aja!” Aku berbalik meninggalkannya tanpa menunggu persetujuan.
Langkah menderap terdengar di belakangku. Ia membuntutiku. Aku pura-pura tidak tahu dan terus melangkah menuju jalan besar, berniat mencari taksi untuk kembali ke hotel. 
“Maaf deh maaf, aku baca info dari internet kalau acara tadi itu bakal seru. Kirain kamu bakal suka,” ujarnya yang sudah berada persis di belakangku. 
Alasan aneh. Bagaimana bisa aku suka melihat kekasihku menikmati tontonan sexy dance di depan mataku sendiri. Biar saja aku bertahan dengan wajahku yang ditekuk sedemikian rupa. Biar ia tahu, bahwa malam yang seharusnya kami lalui dengan romantis ini benar-benar telah dirusaknya.
Chandra mengamit lenganku. Membuat langkahku terhenti. Kutatap  wajahnya. Tajam.
“Jangan cemberut gitu dong! Makan aja yuk!” Gigi putih Chandra yang berderet rapi terlihat saat bibirnya ia paksakan untuk tersenyum lebar. 
“Nggak ada sexy dance lagi kan?” Mendengar kata makan, perutku langsung bereaksi kembali. Tapi harus kupastikan bahwa tidak akan ada gangguan lagi nanti.
Chandra tertawa. Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah langsung menarik tanganku. Kami kembali berjalan di jalan setapak di kawasan The Bay Bali, di mana berderet beberapa restoran di salah satu sisinya.
Bebek bengil. Restoran itu yang dituju Chandra. Aku belum tahu bagaimana rupa dan rasanya, tapi dari aroma yang menyerbu hidung begitu kami melangkah memasuki restoran, membuatku tak sabar untuk mencicipinya.
Benar saja. Lidahku benar-benar dimanjakan. Mulutku tidak bisa berhenti mengunyah daging bebek yang digoreng krispi itu. bumbunya benar-benar merasuk sampai ke dalam-dalam. Apalagi dengan sayuran dan sambal matah yang pedasnya melelehkan keringat di kening. Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan satu bebek sendirian, hanya kusisakan tulang belulang di piring.


“Kayaknya tadi ada yang ngambek deh,” sindir Chandra.
Biar saja. Masakan bebek seenak ini tidak akan kulewatkan hanya karena ngambek oleh sexy dance yang bahkan sudah hampir kulupakan.
Tertatih aku kembali ke hotel. Perut yang penuh membuat jalanku agak membungkuk. Chandra juga sakit perut. Tapi bukan karena kebanyakan makan sepertiku, melainkan karena terpingkal-pingkal menertawakan kekonyolanku sepertinya.
Begitu sampai di kamar, aku langsung melemparkan diri ke kasur dan terlelap setelahnya. 

***
“Bangun sayang, ayo kita lihat sunrise!” Setelah menggosok gigiku dan berganti pakaian, kugoyang-goyangkan badan Chandra. 
Chandra terbangun. Dengan mata masih menyipit dan rambut acak-acakan, serta kaos dan celana jeans semalam yang masih menempel di tubuhnya, langsung kutarik tangannya keluar dari kamar. Di luar, langit masih gelap. Chandra sepertinya sudah pasrah. Tanpa penolakan, ia mengikutiku masuk ke taksi. Walaupun sesekali menguap dan menggaruk belakang kepalanya.
Aku memilih Pantai Nusa Dua karena semalam aku belum jadi menikmati keindahan pantainya. Kami duduk di atas pasir pantai. Menyaksikan matahari yang perlahan seolah muncul dari permukaan air di ujung laut sana. Semburat kuning semakin naik dan menghapus gelap langit sedikit demi sedikit. Indah.
Aku menoleh. Bibir Chandra yang membentuk lengkung senyum menyadarkanku bahwa keindahan yang nyata adalah kehadirannya di sisiku. Kucium pipinya sekilas dan kembali menatap matahari yang masih perlahan naik ke langit. Membiarkan Chandra balik menatapku karena ciuman spontan yang kuberikan. Kemudian kurasakan tangannya merangkul bahuku. 
Lama kami saling terdiam. Kunikmati suasana sunyi yang tak akan bisa kudapatkan di tengah hiruk pikuk kotaku.
Sebentar kemudian tangan kanan Chandra merogoh kantongnya, mengambil sesuatu dan meletakkannya di pangkuanku.
“Apa ini?” Aku mengangkat benda itu sejajar dengan mata untuk menelitinya. Sebuah kotak kecil berlapis kain beludru merah. Saat membukanya, sebuah cincin emas tampak berkilap di mataku.
“Aku nggak pandai basa-basi, sayang. Jadilah milikku seutuhnya dan selamanya. Kamu mau kan menikah denganku?” 
Chandra mengatakannya dengan santai seolah tak pernah terjadi pergolakan batin saat memikirkan kata-katanya barusan. Tahukah ia bahwa jantungku serasa berhenti berdetak saat mendengarnya?
Kami kembali saling diam. 
“Kenapa diem? Kamu nggak pengen tahu jawabanku?” Aku mulai kesal. Ada sedikit keraguan apakah benar ia menginginkanku.
“Aku sudah tahu jawabannya. Iya, kan? Kamu diem lama begitu, artinya pasti iya. Aku sudah hapal kebiasaanmu.”
Kucubit pipinya sampai merah. Gemas. Ia tidak berubah. Tidak pernah kutahu pasti isi otaknya, tapi yang kutahu pasti, ia mencintaiku dengan caranya. Sehingga yang lain-lain, tak penting lagi. 
“Ngomong-ngomong, kapan kamu bawanya? Kan tadi aku langsung narik kamu keluar kamar,” tanyaku penasaran.
“Aku kantongin sejak kita berangkat ke Bali.”
Ternyata dia sudah memikirkannya lama, hatiku tertawa.
***
Di atas pasir Pantai Nusa Dua, aku duduk bersila. Melihat-lihat kembali lembaran-lembaran fotoku dan Chandra. 
“Mama, kok duluan sih ke pantai? Tadi padahal seru lho. Aku main-main sama bajak laut di kapal-kapal sana,” ujar gadis kecil yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku sambil menunjuk suatu tempat. 
“Pirates Bay?” 
“Iya itu ma! Ah namanya susah banget sih dihapal,” sungutnya sambil memanyunkan bibir kecilnya. 
Aku tersenyum melihat tingkah gadis kecil ini. Gadis kecil yang selalu meramaikan hari-hariku. Aku memanggilnya Rara, malaikat kecilku.
“Mama, ini siapa?” Rara menunjuk foto-foto yang kuletakkan di pasir pantai.
“Raraaaaa, kamu ini larinya cepet banget sih! Tadi katanya minta es krim. Giliran lagi dibeliin, papa ditinggalin.” Seorang lelaki berkacamata berlari-lari menyusul Rara, kemudian menyerbu Rara dengan gelitikan di perut yang membuat gadis kecil itu tertawa kegelian.
Chandra, ingatkah kamu akan hari-hari yang kita lalui di sini? Aku tak mungkin bisa melupakannya. Dua hari yang sangat mengesankan. Dua hari yang menyita seluruh memori otakku untuk menyimpan kenangannya. Dua hari yang membuatku selalu tersenyum membayangkan kekonyolan kita. 
Dua hari yang kita penuhi dengan rencana masa depan. Dua hari yang akhirnya menghadirkan Rara dalam hidupku. Sekaligus dua hari terakhirku bersamamu. 
Sebuah kecelakaan menimpa taksi yang kami tumpangi sekembalinya kami di Jakarta. Chandra terluka parah. Sedangkan aku hanya mengalami luka lecet dan memar di lengan. 
Chandra koma hampir satu bulan. Aku terus mendampinginya di rumah sakit. Berharap ia membuka mata, tertawa, dan mengatakan ini semua hanya bercanda. Tapi aku sadar ini semua nyata ketika kemudian detak jantungnya berhenti. Ia meninggalkanku selamanya. 
Selamat tinggal Chandra. Berbahagialah di sana, untukku dan Rara.
“Terima kasih Ardian,” bisikku di telinga lelaki di sampingku, sahabat Chandra yang kini menjadi suamiku.
Aku bangkit berdiri. Ardian dan Rara mengikuti. Kami bergandengan tangan meninggalkan pantai.
“Tunggu ma.” Rara tiba-tiba melepaskan tanganku dan Ardian, kemudian berlari kembali ke pantai. Setelah memungut sesuatu, ia kembali menghampiri kami.
“Ini ketinggalan ma.” Diangkatnya fotoku dan Chandra. Foto yang tadinya memang sengaja kutinggalkan. Tetapi malaikat kecilku ini mengambilnya kembali.
             Chandra, lihatlah, bahkan Rara tak ingin kehilanganmu...

-end-
 
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

http://nulisbuku.com/blog/2014/03/mari-bersenang-senang-dalam-kata-ikut-proyekmenulis-letters-of-happiness-berhadiah-jutaan/

Prompt #45: Mengapa Mereka Sebut Aku Gila?


(image source: here)

Kalian tahu mana batasan gila dan waras? Aku tidak.

Lalu bagaimana kalian tahu kalau seseorang itu gila atau seseorang itu waras? Apakah jika ia melakukan hal-hal di luar kebiasaan orang normal, seperti tertawa/menangis tanpa sebab, berbicara berputar-putar dan tidak masuk akal, atau menari tanpa henti seolah tak ada orang yang mengamati, maka kalian akan menyebutnya gila? Lalu yang bagaimana yang bisa disebut waras?

Aku yakin tidak ada yang mau disebut gila. Semua orang menganggap dirinya sendiri waras. Lalu mengapa menuding orang lain itu gila hanya karena ia berkelakuan yang menurut kalian aneh?

Aku adalah orang gila. Kata mereka.

Dan aku bosan.

Aku ingin berlari bebas di halaman, tapi tak bisa.

Aku ingin pergi ke pantai dan bermain air di sana, tapi itu juga tak bisa.

Karena rumahku dan hidupku ada di kamar ini. Sendiri.

Tapi aku tidak terlalu kesepian. Di sini ramai. Aku masih bisa mendengar teriakan papa dengan sangat jelas. Aku masih bisa mendengar tangisan mama yang meraung-raung. Aku masih bisa mendengar benda-benda yang terbanting dan pecah. Aku bisa mendengar semuanya.

Sayangnya, tak ada yang mau mendengarku. Karena aku gila, menurut mereka.

Aku tidak gila! 

Saat itu aku hanya meneriakkan apa yang ada di kepalaku, seperti papa. Aku hanya menangis meraung-raung seperti mama. Dan aku hanya meraih benda-benda keramik di rumah lalu membantingnya agar bunyi gaduh memenuhi ruangan. 

Bukankah itu wajar? Lalu mengapa mereka mengikatku dalam kamar?

Apakah kalian tahu?

**********************************************************************************************************************

* 231 kata
* terinspirasi dari puisi:
Tentang Seseorang

Aku lari ke hutan, kemudian menyanyiku
Aku lari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi-sepi dan sendiri
Aku benci
Aku ingin bingar,
Aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat,
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh,
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai?
enyah saja kau pekat
seperti berjelaga jika kusendiri
bosan aku dengan penat

Tentang Ulang Tahun Hari Ini

Heiho! 
Tanggal berapa sekarang? 
Ya ya ya bener. 2 April. 
Hari ini aku menginjak usia 20 sekian dan merasa masih sangat buanyaaaak yang belum aku raih.
Tapi bukan berarti aku kehilangan rasa syukur. 
Karena bagaimanapun juga, tetap ada banyak hal yang sudah aku raih. Salah satunya, lulus kuliah.
Dan untuk pencapaianku dalam menulis, bisa dibilang ada sedikit peningkatan hehe.
Alhamdulillah...

Jarang-jarang kan aku posting tulisan curhat. 
Nah, jadi kali ini biarlah aku sedikit pamer foto-foto seputar kejutan tengah malam tadi dari kesayanganku dan sahabat tersayangku.

my birthday cakes yang dibawain sama mereka
ini baru bangun banget setelah bikin capek yg bangunin hahaha
mau tiup lilin dulu ya...
Berhubung kabel dataku rusak dan kabel data adek yang biasanya aku pinjem dibawa ke kampus sama dia, jadi segitu aja dulu deh foto-fotonya... *entah apa hubungannya*
Lagian siapa yang mau liat dit? *digetok*

Makasih buat kesayanganku, Fendi dan sahabat tersayangku, Gandys buat surprise-nya. Benar-benar mengejutkan.
Jangan kapok ya bangunin aku tengah malem.
Tahun depan ditunggu lagi. *ngarep*

Untuk mama, papa, dan adekku, dea, makasih juga buat kehadiran kalian di setiap hariku...

Untuk temen-temen yang udah ngucapin di SMS, BBM, dan twitter, makasih buanyaaak. Doa-doa kalian aku aminin satu-satu :*

Oiya, sebagai hadiah untuk diriku sendiri, mulai tanggal 1 April kemarin aku memulai usahaku. 
Usaha yang berkaitan dengan hobiku, yaitu baca buku. 
Namanya GDbooks. Sebuah onlineshop buku yang bisa dikunjungi di akun twitter @GDbooks_
ava twitter
Rencananya, aku bakal jual buku baru maupun second. Tapi untuk awalan sekarang ini, koleksi bukunya baru semua...
Dijamin asli, bukan bajakan, daaaaan lumayan murah. Jadi jangan khawatir.

penampakan beberapa buku yang dijual GDbooks

Begitulah cerita singkat tentang hari ulang tahunku dan bisnis bukuku. Yaaa sambil menyelam minum es kelapa muda lah ya...
Setelah cerita timbullah promosi sedikit.
Ditunggu kunjungannya di akun twitter @GDbooks_ ya, dan kalau minat sama bukunya, langsung mention aja buat ordernya. Rata-rata stocknya cuma 1, jadi siapa cepat dia dapat ya.

Sekian dan terima nasi padang :*