Mati? Bukan Kita yang Putuskan

(image source: here)


Rio datang pagi-pagi ke rumah Kinar. Sudah 3 hari ini Kinar mengurung diri di kamar. Hanya keluar untuk makan dan mandi, begitu laporan Mama Kinar pada Rio tadi malam. Rio bertanya-tanya, masalah apa yang sedang dihadapi sahabatnya itu, sehingga membuatnya bersikap aneh. Maka dari itulah Rio hendak memastikannya.

Rio memarkir mobilnya di depan rumah Kinar. Mama Kinar sudah menunggu di teras rumah.

"Ayo masuk nak Rio. Langsung ke kamar Kinar saja," ajak Mama Kinar panik.

Rio melangkah tergesa-gesa di belakang Mama Kinar. Benar saja, pintu kamar Kinar terkunci. "Kin, buka dong. Ini gue, Rio." Rio mencoba mengetuk pelan.

Tidak ada jawaban. Rio belum menyerah, "Lo kenapa sih? Nggak biasa-biasanya begini. Sini cerita sama gue. Mumpung gue hari ini nggak ada jadwal motret. Seharian lo boleh ambil waktu gue." Rio mencoba bernegosiasi.

Masih tidak ada jawaban dari dalam. 

"Didobrak aja nak Rio. Tante khawatir. Dari tadi nggak ada suara dari dalam." Mama Kinar semakin panik.

Rio mundur selangkah ke belakang dan mengambil ancang-ancang. Ia menabrakkan bahu sebelah kanan ke pintu. Tetapi pintu belum bisa terbuka. Ia mengulangi kembali usahanya. Pintu itu akhirnya terbuka. 

Mama Kinar menghambur masuk ke dalam. Sontak ia menjerit histeris ketika mendapati Kinar tergeletak di lantai dengan tangan kiri yang berlumuran darah. Sebuah pisau lipat masih berada dalam genggaman tangan kanannya.

Tanpa ba-bi-bu, Rio mengangkat tubuh lemah Kinar ke mobil. Mama Kinar mengunci pintu rumah dan segera menuju bangku belakang mobil Rio, menemani Kinar yang tidak sadarkan diri. 

Rio melesatkan mobilnya di jalanan. Beruntung perjalanan mereka tidak terhambat oleh kemacetan.

Kinar masuk UGD. Rio menenangkan Mama Kinar yang terus menangis di depan ruang itu. Sesaat kemudian dokter keluar, "anak ibu kehilangan banyak darah. Dia berusaha mengiris nadinya sendiri. Untung saja nyawanya masih bisa selamat. Ibu sudah boleh masuk. Saya permisi dulu."

"Terima kasih dok," ujar Rio.

Mama Kinar langsung bergegas masuk ke UGD untuk melihat anak semata wayangnya.

Kinar menginap beberapa hari di rumah sakit. Tetapi ia masih saja belum mau bercerita mengapa ia memiliki niat membunuh dirinya sendiri.  Ia lebih banyak diam. 

Mama Kinar yang single parent terpaksa menutup toko rotinya beberapa hari ini karena ingin menjaga Kinar yang masih lemah. Ia lega Kinar sudah pulih dan tinggal di rumah. 

Esok paginya ia kembali dibuat panik karena Kinar tidak juga keluar dari kamar mandi. Rio yang diminta oleh Mama Kinar menginap di sana langsung mendobrak pintu kamar mandi. Ketika pintu sepenuhnya terbuka, terlihatlah seluruh tubuh Kinar yang masih berpakaian lengkap berada di dalam bath up yang airnya terisi penuh. Ia berusaha menenggelamkan dirinya sendiri.

Rio mengangkat tubuh Kinar yang basah kuyub dan sudah tidak sadarkan diri. Ia meletakkannya di lantai depan kamar mandi, kemudian menekan dada Kinar. Kinar akhirnya sadar dan terbatuk-batuk. Air keluar dari mulutnya.

Mama Kinar menangis sambil memeluk putrinya yang hampir saja kembali meninggalkan dirinya.

"Kamu kenapa sih Kin?" Mamanya terus menanyakan hal yang sama, karena belum juga menemukan jawaban.

Kinar tetap diam. Ia bahkan tidak berani menatap mata mamanya.

Malam harinya Kinar mengendap-endap ke ruang belakang rumahnya, tempat mamanya menyimpan alat-alat kebersihan. Ia mencari botol obat nyamuk yang juga disimpan di sana. Setelah menemukannya, ia membungkusnya dengan pakaian dan membawanya ke kamar.

"Berapa kali lagi lo mau melakukan kebodohan yang sama?" Rio yang tiduran di sofa ruang tengah, menyadari langkah Kinar. Ia mengikutinya sampai ke kamar. Saat itu Kinar sedang membuka botol obat nyamuk yang hendak ditenggak isinya.

Kinar yang kaget dengan kedatangan Rio yang tiba-tiba di pintu kamarnya, menjatuhkan botol itu hingga isinya tumpah dan meresap di karpet.

"Sampai gue bener-bener mati!" jawab Kinar setelah memalingkan muka dari Rio.

"Terus kalo lo mati, lo puas?" Rio masih menyender santai di kusen pintu kamar Kinar.

"Setidaknya gue nggak perlu lagi memusingkan masalah-masalah gue."

"Seberat apa sih masalah lo? Sampai harus menghilangkan nyawa lo sendiri." Rio kini berjalan masuk ke kamar, duduk di kursi dekat tempat tidur Kinar.

"Lo nggak perlu tahu masalah gue!" bentak Kinar.

"Oke. Gue cuma pengen mastiin aja, apakah masalah lo lebih berat daripada kehilangan suami karena kecelakaan? Atau lebih berat dari kenyataan harus membesarkan anak seorang diri dengan membanting tulang mengurus dan mengembangkan toko roti? Atau lebih berat dari kenyataan bahwa anak yang sudah dibesarkan memutuskan akan bunuh diri? Coba jawab!"

Kinar menunduk. Ia mengerti siapa yang dimaksud Rio. Mamanya. Ya! Mama selalu terlihat kuat mendampingi dan membesarkannya di saat banyak masalah yang dihadapinya.

Kinar mulai menangis dengan kedua tangan yang ia tangkupkan menutupi wajahnya. "Gue hamil. Gue malu. Gue nggak mau mama ikut malu Ri," aku Kinar sambil terisak.

"Tora tahu?" Tora adalah pacar Kinar. Rio selalu merasakan sinyal ketidakberesan jika melihat Tora. Tetapi ia tidak mau mengusik kehidupan Kinar jika Kinar saja terlihat bahagia ketika bersama Tora.

Kinar mengangguk. "Justru Tora pergi tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi saat gue bilang kalo gue hamil."

Rio mendekati Kinar dan memeluknya. Ia menghembuskan nafas berat, "jadilah istri gue Kin. Biarkan ini menjadi anak kita."

Kinar shock dengan ucapan Rio. Ia menggeleng. Ia tidak mau merusak kehidupan Rio dengan menanggung hidupnya. "Tapi..." Belum sempat ia menyanggah, sebuah kecupan lembut didaratkan Rio di bibir Kinar.

Rio memegang wajah Kinar. "Lo pasti mau bilang kalo kita sahabatan dan gue nggak cinta sama lo, gitu kan? Lo salah. Kalo gue nggak cinta, gue bakal jadi ayah angkat dari anak ini aja. Ngapain nikah sama cewek sableng kayak lo." 

Kinar mencubit perut Rio dan tersenyum. Ia memeluk Rio lagi. Kali ini lebih erat karena ia menyadari kesalahannya karena mengabaikan cinta di depan matanya.

"Mama merestui kalian. Menikahlah!" Mama Kinar yang tadi hendak melihat putrinya di kamar, sengaja mengurungkan niat untuk masuk ketika mengetahui Rio ada di dalam. Ia memutuskan tetap berada di balik tembok sambil mendengarkan percakapan mereka.
Kinar melepaskan pelukan Rio saat menyadari kehadiran mamanya.

"Kira-kira cucu mama ini cewek atau cowok ya? Wah, mama harus nyiapin nama nih," ujar Mama Kinar bersemangat. Ia masuk ke dalam mendekati Kinar dan Rio.

"Mama." Mata Kinar berkaca-kaca, kemudian ia memeluk mamanya.

"Semua masalah ada solusinya Kin," ujar mamanya lembut.

"Tuh dengerin! Kalau lo beneran mati, sia-sia dong cinta gue?" celetuk Rio.

Mama dan Kinar tertawa.

"Lagian, sempit banget sih pikirannya. Kalau mati beneran, cuma jadi mati konyol tuh. Lo jadi nggak tahu kan kalau mama sama gue bisa nerima keadaan lo. Jadi apa yang bikin lo pengen mati itu nggak kebukti. Nggak perlu repot matiin diri lo sendiri sekarang. Nanti kalau uda saatnya, kematian itu akan datang sendiri. Udah ada yang atur. Lo percaya Tuhan kan?"

Kinar menunduk malu. "Iya, maaf."

"Tante, saya udah boleh tidur di sini?" Rio tiba-tiba tiduran di tempat tidur Kinar.

"Enak aja! Belum!" Kinar menarik Rio dari tempat tidurnya.
Mama Kinar tertawa melihat tingkah mereka.

"Kok bau obat nyamuk ya?" Bau obat nyamuk yang tajam tercium oleh Mama Kinar.

Kinar dan Rio saling pandang. Botol obat nyamuk ditendangnya ke bawah ranjang.

25 Januari

(image source: here)

Aku bangun kesiangan. Alarm yang seharusnya membangunkanku jam 4 subuh, entah mengapa tidak berbunyi. Tanpa mandi, aku berlari menuju lantai dasar gedung tempat tinggalku. Semoga masih ada waktu.

Dugaanku meleset. Antrian yang mengular di depan loket membuatku cemas. Semoga masih ada tiket untukku.

“Maaf, tiket untuk tanggal 25 Januari 2212 sudah habis.”

“Ayolah bu, tidak adakah sisa satu saja untukku? Aku butuh tiket itu.”

“Semuanya mengatakan hal yang sama. Rengekan seperti itu tidak mempan untuk saya.”

“Tapi aku ada janji dengan seseorang pada tanggal itu bu. Tolong bantu aku.”

“Kan sudah saya bilang, tiketnya habis. Seharusnya kalau kamu tahu sudah ada janji, ambil tiketnya satu bulan sebelumnya.” 

Masalahnya dia baru memberitahu tanggal ulangtahunnya kemarin. Ah sudahlah... 

Memang percuma berdebat dengan ibu penjaga loket itu.  Tidak ada yang pernah menang mendebatnya. Apalagi aku.

Kupandangi langit lewat jendela kamarku. Awan yang berkumpul tampak tidak mampu menutupi matahari yang sedang bersinar siang ini. Cuaca cerah seperti ini seharusnya aku ada di luar dan menikmati hari. Toh aku punya tiket untuk keluar hari ini. Biarlah tiket itu hangus, aku sudah tidak berselera pergi ke luar.

Mengapa sulit sekali keluar dari gedung ini? Mengantri tiket setiap pagi untuk ditukar dengan kesempatan keluar gedung sehari penuh. Agar dunia luar tidak penuh oleh manusia, begitu yang kutahu tentang kebijakan pemerintah. Berandai-andai tinggal satu gedung dengan perempuan yang kucintai juga tidak mungkin, kecuali aku berganti jenis kelamin.

***

“Hai, selamat ulang tahun sayang. Cantik sekali kamu,” kusapa perempuan yang duduk sendirian di bangku taman.

Ia menoleh dan hendak memelukku. Tetapi kemudian wajahnya menyiratkan kekecewaan.

“Maaf sayang, aku kehabisan tiket untuk hari ini. Yang penting kita bisa tetap berkomunikasi kan?”

“Tetap saja berbeda. Kamu nggak di sini.”

Aku ingin sekali memeluknya. Tetapi apa daya, aku tak bisa. Yang bisa kulakukan hari ini hanyalah mengirimkan hologramku untuk menemaninya seharian.


*Ditulis dalam rangka ulang tahun Monday FlashFiction yang pertama

Remake: Debur Ombak Selatan by ManDewi

Namanya Debur Ombak Selatan.

Oke, apa yang ada di pikiran orangtuanya saat menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Mengapa bukan Segara Alam seperti salah satu tokoh dalam novel yang pernah kubaca –  Pulang karya Leila S. Chudori. Sama-sama bernapaskan semesta tetapi terasa lebih familiar di telinga.

Mungkin itu akan terjawab nanti.

Ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Semoga benar dia yang datang, karena aku sudah tidak sabar.

Hei.” Ternyata benar dia. Senyum tipisnya menyambutku saat pintu sudah kubuka sepenuhnya.

Kubalas senyum itu dan memberinya isyarat untuk masuk.

Pertemuan pertama dengan mata biru gelap bak permukaan samudera miliknya berhasil melenakanku. Dan serupa debur ombak, matanya menghempaskanku pada kekaguman nyata. Sepertinya aku mulai paham mengenai arti namanya.

Aku memperhatikan benar-benar lelaki yang sedang berjalan menuju tempat tidur ini. Lelaki awal tiga puluhan yang mapan dan tampan, sungguh sempurna.

“Sein,” Aku mengulurkan tangan padanya yang sudah duduk di sisi tempat tidur.

“Aku tahu. Aku Aksel,” jawabnya ketika menyambut uluran tanganku.

“Ibumu,” celetuknya saat menyadari kerutan di dahiku. Aku tertawa dalam hati. Ia yang menelpon ibuku karena menginginkan jasaku. Jadi sudah pasti ia mengetahui namaku. Bagaimana aku bisa melupakan itu.

“Aku juga sudah tahu tentangmu.”

“Pasti. Ibumu juga yang memberitahumu?”

“Maksudku bukan hanya nama. Tetapi segala informasi yang berkaitan denganmu. Pekerjaan, tempat tinggal, hobi, teman-temanmu...” Sepertinya aku sudah berbicara terlalu banyak. Wajahnya yang menegang mengisyaratkan ketidaksukaannya karena aku terlalu mendominasi. Baiklah, aku tidak akan melanjutkan pembicaraan ini.

“Langsung saja?” Aku menawarkan diri.

Kulepas sepatu dan bajuku satu persatu, membiarkan semuanya tergeletak di lantai.

Kurasakan pelukan Aksel ketika aku sedang berdiri di depan meja di samping tempat tidur untuk mengambil sebungkus rokok dan pemantik bergambar siluet perempuan di permukaannya.

“Kau perokok?” Suaranya lebih menyerupai bisikan, oh tidak, lebih seperti hembusan di telingaku. Aku bergidik geli.

“Tidak, aku menyiapkannya untukmu. Kau ingin merokok?” Rupanya ia menggeleng saat kuangsurkan sebungkus rokok padanya. Akhirnya kuletakkan kembali rokok beserta pemantik itu di atas meja.

Aku melepaskan pelukannya dan meraih tangannya. Kemudian kusingkap selimut di tempat tidur. Hamparan mawar putih dengan bau harum yang menguar memancing senyumnya terkembang. Bagus, petugas hotel melakukannya dengan baik. Aku puas.

“Apa kau melakukan ini pada semua pelangganmu?” tanyanya penasaran.

Kujawab pertanyaannya dengan sebuah gelengan kepala yang dibalasnya dengan ciuman lembut di pucuk bibirku.

“Tahukah kau bahwa aku adalah seorang pemilih? Ibu sudah seperti managerku, memberi nama-nama orang yang menginginkan jasaku, tetapi tetap akulah yang menentukan dengan siapa aku ingin bertemu, tentu saja setelah mencari tahu tentang mereka sebelumnya.”

“Mencari tahu?”

Aku mengangguk, “seperti yang kulakukan padamu. Yah kau tahu lah, media sosial dan semacamnya. Kau tidak bisa bersembunyi dari dunia ketika semua informasi tentangmu mudah ditemukan.”

Aku berdiri di hadapannya. Melingkarkan tangan kiriku di lehernya lalu memainkan jari tangan kananku menelusuri wajahnya, “itu sebabnya kau harus menunggu. Apa kau ingat berapa lama sejak kau menelepon ibuku sampai ia memberi tanggal hari ini?”

“Dua minggu. Kurang lebih.”

“Dengan cara itu aku membatasi pekerjaanku. Tidak semua orang bisa memakai jasaku.”

Aksel tersenyum. “Itu tidak akan membuatmu setingkat lebih suci daripada yang lain.”

“Aku tidak sedang menciptakan tingkatan dengan orang lain. Aku hanya ingin menghargai tubuhku sendiri.”

“Dengan menjualnya?”

“Hahaha... Apa kau tahu bahwa kau terdengar menggelikan?”

Aksel melepaskanku dan duduk di sisi tempat tidur. Ia membuka bajunya dan menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik selimut. Tanpa perlu berpikir panjang, aku menyusul dan bergelung di pelukannya. Gesekan antara kulit kami dengan kelopak-kelopak mawar menguarkan bau segar. Aku memejamkan mata dan menghirup udara sedalam-dalamnya.

Aku melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti dengan kepala yang kubenamkan pada dada bidangnya. “Di dunia ini, siapa yang tidak menjual dirinya sendiri? Kau bekerja untuk orang lain, melakukan apa yang mereka minta. Apa kau pikir itu bukan menjual diri?”

Aksel tampak berpikir, mungkin ia menyadari kebenaran kata-kataku.

“Lalu, apa yang membuatmu menerimaku?” Ia mulai mengusap kepalaku dan memainkan rambut panjangku.

Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Apa aku harus menceritakan semuanya? Kalau iya, mungkin Aksel akan merasa aku terlalu berlebihan. Ah, tak apa.

“Tak perlu khawatir. Aku mencari tahu tentang kalian hanya karena penasaran, orang-orang macam apa yang menghubungi ibuku, menghambur-hamburkan uang demi kenikmatan yang hanya semenit dua menit. Setelahnya mereka lupa. Lalu mulai lagi, bayar lagi, lupa lagi. Begitu seterusnya.”

“Kau pikir aku begitu?”

“Awalnya, iya.”

“Sekarang?”

“Tidak lagi.”

“Mengapa?”

Kujauhkan kepalaku agar bisa menatap wajahnya.

“Aksel, kau terlalu cemas. Tidak ada hal yang membuatku merasa harus…menolakmu.”

Senyumnya mengembang.

“Oh ya, beberapa hari yang lalu aku melihatmu di sebuah kafe. Kau sedang duduk sendirian menghadap laptop. Aku tidak tahu kau sedang bekerja atau apa. Aku sudah hendak mendekatimu ketika seorang perempuan tua berjalan ke arahmu lebih dulu.”

“Itu ibuku.” Tiba-tiba senyumnya hilang, ekspresi wajahnya berubah datar. Sentuhan lembut di kepalaku terhenti.

“Aku tidak tahu siapa dia, tetapi aku bisa menangkap perasaan bersalah dari sikapnya. Ia tidak berani memandangmu, kedua tangannya gemetar, gerak tubuhnya pun gelisah. Kalian sempat berdiam diri cukup lama.”

“Sebenarnya aku ingin memeluknya begitu kulihat ia memasuki pintu kaca.”

“Dan akhirnya kau memang memeluknya. Airmatanya jatuh hingga membasahi bagian bahu kemeja yang kaupakai. Air mataku ikut jatuh seketika itu.”

Aksel diam. Matanya menerawang jauh.

“Apa yang aku lihat ketika itu, sama seperti ketika ayah memeluk ibu untuk terakhir kalinya. Lalu ia pergi dan tak kembali.” Aku merapatkan tubuhku dan memeluknya erat. “Mendadak, aku menginginkanmu untuk menjadi lelaki yang dapat melindungiku. Selamanya.”

Aku memejamkan mata menikmati ketenangan yang serta merta aku rasakan. Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu aman.

“A-aku…”Ia terbata dan tak tahu harus menjawab apa.

Lagi-lagi aku tertawa. “Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja aku terlalu terbawa perasaan. Biasalah, perempuan. Ngomong-ngomong, apa benar namamu Debur Ombak Selatan? Lalu dari mana panggilan ‘Aksel’ itu?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Gabungkan akhir dari ‘ombak’ dan awal dari ‘Selatan’, maka...”

“Jadilah Aksel.” Aku melanjutkan kata-katanya.

Aksel tertawa, kemudian mengangguk membenarkan. “Dan namamu?”

“Sein.”

“Aku tahu. Lengkapnya?”

“Seindah Cahaya Purnama.”

Aksel tertawa semakin lepas menyadari kemiripan nama kami. 

Aku harap kita berjodoh, lanjutku dalam hati. Lalu, sembari mengesampingkan bayangan Aksel memakai pakaian pengantin dan berdiri di sampingku, akupun mulai bekerja.



NB: Pertama kalinya membuat remake cerita. Maaf kalo ada salah-salah kata :)
Cerita asli dari penulisnya bisa dibaca di sini

Gadis Peniup Awan

(image source: here)

Ia sangat membenci hujan. Bahkan ketika awan berubah perlahan menjadi gelap dan semakin menyembunyikan matahari, ia sudah sedemikian paniknya. Ia tidak suka ketika aktivitasnya terganggu, karena air yang memercik di setiap langkahnya. Jas hujan dan payung adalah benda-benda menyebalkan yang tetap tidak bisa menolong pada kebenciannya akan hujan.

Itulah mengapa ia sangat bersikeras mempelajari bagaimana cara mencegah hujan turun ke bumi. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Bumi bukanlah globe atau atlas yang permukaannya dapat tersentuh semua dengan merentangkan satu telapak tangan. 

Kemudian muncullah ide untuk memindahkan hujan ke kota seberang. Beragam cara ia gunakan. Bahkan ia sempat berguru pada pawang hujan. Tetapi cara itu justru berujung kesal. Derasnya undangan pernikahan membuat gurunya, si pawang hujan menjadi sibuk, sehingga menelantarkannya sebagai anak didik.

Ia pun mencari cara lain. Dan terbersitlah sebuah cara, yaitu meniup awan gelap agar berpindah ke kota seberang. 

Hari-hari ia habiskan untuk melatih kemampuannya dalam meniup dengan kencang dan kuat. Setelah berminggu-minggu berlalu, ia merasa sudah sangat siap untuk mempraktekkannya. 

Seperti sebuah ajang balas dendam, ketika awan sudah mulai gelap, tetapi hujan belum juga datang, ia memanjat sebuah menara. Ia sengaja mencari tempat tertinggi. Tujuannya adalah agar semakin dekat dengan langit, tempat bernaungnya awan-awan gelap penampung hujan itu.

Sampai di puncak menara, ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Begitu terus hingga merasa cukup sebagai pemanasan. 

Gerimis mulai turun. Ia kesal. Belum juga melancarkan usahanya, titik-titik air hujan sudah mulai membasahi dirinya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia mengambil napas sangat dalam, kemudian dengan penuh keyakinan, ia meniupkan angin dari dalam mulutnya kuat-kuat ke arah awan hitam. 

JDER!

Sebuah petir menyambar menara. Tubuh gadis itu terpelanting karenanya. Selama ini ia hanya mempelajari bagaimana cara meniup awan hitam tetapi lupa bahwa petir menjadi satu paket dengan hujan dan ia belum mempelajari cara untuk menangkalnya.

Review : Best Of Monday FlashFiction - Padat Ide-Ide Ajaib




Berawal dari Writing Project #FF100Kata (gagasan @sinshaen) yang membawa saya pada akun twitter @RedCarra (sesama peserta), yang kemudian saya tahu bahwa ibu satu ini adalah founder grup Monday FlashFiction (MFF).

Tweetnya tentang Prompt membuat saya penasaran. Akhirnya saya ubek-ubeklah itu blog Monday FlashFiction untuk tahu syarat-syarat dan bagaimana cara masuk menjadi anggota dalam grup kece ini.

Gayung bersambut. Sebuah message masuk ke inbox FB saya yang isinya meminta saya menjawab pertanyaan yang merupakan syarat untuk menjadi anggota MMF. Daaaan setelah selesai, message balasan pun datang. Saya DITERIMA! Yeah!

Grup MMF ternyata sudah memiliki karya yaitu sebuah buku berjudul "Best Of Monday FlashFiction" yang diterbitkan melalui self publishing NulisBuku. Tapi bokek menjadi musuh saat itu, di saat saya benar-benar ingin membeli buku ini. Tapi bukan Anindita namanya jika menyerah begitu saja (hahaha ngakak dulu).

Sebuah lomba menulis kilat yang rutin diadakan oleh NulisBuku, yaitu #FF2in1 menjadi cara saya untuk mendapatkan buku ini (PD banget bakal menang). Tapi kayaknya keberuntungan memang sedang berpihak pada saya saat itu. Ya! Saya menang (padahal sebelumnya belum pernah menang). Dan saat diminta memilih salah satu buku terbitan NulisBuku sebagai hadiahnya, tanpa pikir panjang, saya langsung memilih "Best Of Monday FlashFiction".

Hahaha cerita pengantarnya udah panjang banget gini ternyata. Yaudah deh, langsung ke review aja. Cekidot!

Kenapa saya menyebut buku ini padat ide-ide ajaib? Karena setiap membaca satu FF ke FF yang lain, saya harus berhenti sejenak, mencerna cerita yang disajikan. Bukan karena ceritanya susah dipahami, melainkan ceritanya membuat saya menganga. "Kok bisa ya punya ide kayak begini?" atau "Gilak! Idenya kece banget!" atau "Wuih, endingnya nggak pernah kepikir nih" adalah komentar saya yang sering mencelos setiap kali menyelesaikan membaca satu FF.

Dan yang bikin saya lebih terkejut-kejut lagi adalah penulis ide-ide gila ini kebanyakan ibu-ibu ternyata. Salut!

Setiap karya pasti ada cela, setinggi apapun karya tersebut. Ya kan? Ya dong?
Nah, secara teknis ada beberapa hal yang sedikit mengganggu dalam membaca buku ini, di antaranya adalah:

- Jarak dari judul ke baris tulisan di paragraf pertama panjang banget. Jadi agak gimana gitu waktu liat ruang kosong lumayan besar antara judul dan tulisan di bawahnya.

- Pergantian font yang membuat bingung (hal. 91)
Awalnya saya pikir itu mengandung makna tersendiri, seperti yang biasanya dilakukan ketika menuliskan pikiran tokoh yang disuarakan dalam hati atau kalimat-kalimat yang mengandung arti berbeda. Tetapi setelah membaca paragraf berikutnya, paragraf dengan font berbeda tersebut ternyata paragraf biasa.

MMF mengenal yang namanya PROMPT, yaitu sebuah pancingan ide yang dilempar untuk dikembangkan menjadi cerita oleh anggotanya (maaf kalau definisinya salah sedikit hehe).
Maka dari itulah jangan heran jika beberapa FF dalam buku ini mengangkat tema yang sama. Misalnya boneka, kendi, stasiun gambir, tiga puluh enam ribu, salju, dll. Tentu saja dengan kemasan cerita yang berbeda sesuai dengan gaya penulisan masing-masing penulisnya.

Nah, untuk 2 FF yang bercerita tentang boneka, yang diletakkan berurutan, menurut saya  sedikit membingungkan awalnya. Selain nama tokoh yang sama (Bayu dan Risa), juga kalimat awal yang sama. Awalnya saya pikir terjadi salah cetak ketika saya membaca FF Mama tidak Gila, karena saya membaca kalimat-kalimat awal yang sama persis dengan FF sebelumnya, yaitu Boneka untuk Risa. Tetapi begitu membaca paragraf selanjutnya, barulah saya tahu bahwa ternyata ceritanya berbeda. Jadi menurut saya, ada baiknya jika kedua FF tersebut tidak diletakkan berurutan.

Membaca biodata penulis setelah menyelesaikan satu FF memang dapat langsung membuat saya berkomentar "Oh ini toh yang punya ide ajaib begini." Tetapi jika penulis yang sama membuat lebih dari satu FF dan biodata dengan narasi yang sama persis diletakkan di tiap akhir FF, kok menurut saya semacam menghabiskan tempat ya? Saya masih nyaman dengan peletakkan biodata penulis yang dikumpulkan di bagian akhir buku sebagai penutup. Walaupun kesannya mainstream atau sudah biasa ditemui di banyak buku antologi yang lain. Mungkin ini hanya masalah selera.

FlashFiction (FF) berarti cerita yang dikemas sangat pendek, bahkan lebih pendek dari cerpen. Normalnya, FF ini tidak lebih dari 500 kata. Keterbatasan jumlah kata inilah justru yang memancing penulisnya menciptakan twist yang tidak biasa agar dapat menarik pembaca untuk terkejut akan endingnya. Bukan berarti karena keterbatasan kata, membuatnya pun mudah. Saya sudah merasakannya sendiri. Membuat FF butuh kejelian untuk mempermainkan keterbatasan kata menjadi cerita yang luar biasa. Dan dalam  buku ini, kalian akan dibuat menganga pada setiap cerita yang disajikan. 

Saya menyukai semua FF dalam buku ini, tetapi ada beberapa yang menjadi favorit saya, di antaranya adalah:
1. Menjemput Impian - Rini Bee
2. Akhir Penantian - Amma O'Chem
3. Rim - Rinrin Indrianie
4. Lorong Waktu - Nathalia Diana Pitaloka
5. Pandiman - Rini Uze

Kalo untuk fiksimininya, saya suka SEMUAAAA! 4 jempol deh!

Saya beri 4 bintang dari 5 bintang yang saya punya untuk keseluruhan isi buku ini. Yeah!

Balik lagi soal selera, review ini saya buat berdasarkan pengamatan saya sebagai pembaca. Murni subjektif jadinya. Dan karena postingan ini sepertinya sudah terlalu panjang, jadi saya sudahi saja.

Saya tunggu karya MFF berikutnya ~~