Semangat Mereka

Source: here

"Bangun dek,"

"Jam berapa sekarang kak?"

"Jam 4."

"Masih pagi kak. Boleh tidur setengah jam lagi?"

"Nggak bisa dek. Kita harus bangun sekarang."

Yanto membantu adiknya bangun. Kemudian ia membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam karung. Tidak butuh waktu lama. Karena barangnya hanya beberapa helai baju lusuh, satu buku tulis yang tidak kalah lusuhnya dan sebatang pensil yang sudah pendek.

"Kita mau kemana kak?"

"Kemana saja. Yang penting pergi dari sini."

"Itu kardusnya nggak dibawa kak?"

"Nggak perlu. Nanti kita cari kardus lagi."

Yanto buru-buru pergi dari depan pertokoan, di mana ia dan adiknya menghamparkan kardus untuk tidur tadi malam. Ia harus buru-buru pergi agar tidak terpergok dan diusir. 

Di pinggir pasar, mereka berhenti berjalan. Duduk sejenak melihat pedagang yang mulai berdatangan. 

"Kak, aku kepengin truk mainan itu," adiknya menunjuk toko mainan yang baru buka.

"Nanti kita beli ya. Sekarang kita cari botol bekas dan kardus yang banyak biar uangnya cukup."

"Yuk!" Adiknya dengan semangat menarik tangan Yanto ke tempat sampah terdekat.

Rindu dalam Hati

Hari ini ia datang. Setelah sekian lama tak melihatnya, nanti kami akan kembali berjumpa. Semalam nada suaranya sangat gembira. Ia tak sabar ingin bertemu denganku. Aku pun begitu. Hanya saja aku tidak terlalu menunjukkannya.

Aku menunggunya di stasiun. Bahkan 2 jam sebelum jam kedatangannya, aku sudah duduk di sana. Sesekali berjalan mondar-mandir sambil membayangkan bagaimana rupanya setelah 2,5 tahun tidak bersua.

Apa yang harus aku lakukan ketika melihatnya nanti? Haruskah aku berlari memeluknya? Atau hanya berdiri dengan senyum lebar dan menunggunya menghampiriku?

Aku merasa jam lama sekali berdetak. Lalu lalang orang-orang di stasiun membuatku terus melongokkan kepala, mencari keberadaannya, walaupun aku tahu, keretanya belum datang.

Apa sih yang aku lakukan ini? Ia pasti datang. Aku hanya perlu bersabar.

Itu dia! Ya! Itu benar-benar dia. Aku melihat kepalanya tersembul di antara kerumunan orang. Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berjinjit agar ia melihatku.

Ketika ia semakin dekat dan keluar dari kerumunan orang yang menutupinya, aku bisa melihat dengan jelas ia tak datang sendirian.

"Hai Diana." Ia melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya.

"Aku rindu sekali padamu. Oh iya, kenalkan, ini kekasihku, Rossa. Rossa, ini sahabatku, Diana," ia mengenalkan kami. Inikah alasan ia tak sabar bertemu denganku?

Saat itulah rinduku runtuh. Lagu rindu hanya mengalun dalam hati. Semoga ia tidak menyadari perbedaan yang muncul dari raut wajahku.

Detektif dalam Buku

Source : here

Bukti-bukti yang dikumpulkan mengarah pada satu orang. Ya! Dia yang dengan cerobohnya meninggalkan rumah setelah menghidangkan teh untuk korban.

“Siapa lagi kalau bukan kau, istri dari korban. Nyonya Claudia.” Detektif menunjuk seseorang dengan mantap. Seseorang yang ia yakini sebagai pelaku pembunuhan.

“Kau tidak bisa menuduhku seperti itu! Bukankah aku tidak berada di tempat meninggalnya suamiku saat itu. Sungguh tega jika kau menuduhku. Aku mencintainya, ia suamiku. Bagaimana bisa aku tega membuatnya meninggal?” Claudia menyembunyikan tangisnya dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Justru alibimu, bahwa kau sedang pergi membeli gula di supermarket saat waktu perkiraan suamimu meninggal, justru semakin menyudutkanmu, nyonya. Untuk apa kau membeli gula saat teh manis sudah kau hidangkan? Bukankah jika gula memang habis setelah teh dihidangkan, kau bisa membelinya lain waktu? Karena sudah seharusnya seorang istri menemani suaminya yang lelah sepulang bekerja, seperti yang biasa kau lakukan setiap harinya. Bukan begitu?”

***

“Ah, membosankan! Selalu saja pelaku diketahui karena kecerobohannya.“ Dion menutup bukunya dengan kesal. Sudah tidak berminat membaca kisah di buku itu hingga habis.

Dion menggerutu lagi, “tak bisakah penulis membuat kasus yang lebih rumit dan susah dipecahkan? Aku bahkan sudah bisa menebak siapa pelakunya sejak awal.”

Hidup untuk Bermimpi

(source: here)

"Dita, kamu kepengin jadi apa?"

"Jadi dokter."

Itu jawaban setiap ada yang menanyakan apa mimpi saya. Tapi itu dulu. Ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar.

Kemudian mimpi itu berubah...

Ketika penghujung SMP, saya bermimpi menjadi seorang animator.

Ketika SMK, saya  bermimpi menjadi penulis skenario film.

Ketika masuk kuliah, saya bermimpi menjadi wartawan.

Sekarang, mimpi itu berubah lagi, yaitu menjadi seorang penulis buku fiksi. Mengapa fiksi?

Karena saya merasa nyaman menjalaninya. Tidak ada yang tidak mungkin dalam cerita fiksi. Hal-hal yang mustahil ada pun, menjadi sah-sah saja. Dan yang paling penting, saya dapat menyelipkan makna-makna kehidupan ataupun pesan-pesan tanpa terkesan menggurui. Semua tersaji dalam cerita-cerita yang saya buat. Pesan dan makna menjadi hak pembaca untuk menginterpretasikannya.

Siapa bilang dalam fiksi tidak ada fakta?

Justru menyampaikan fakta paling aman adalah melalui cerita fiksi. Pembaca dapat menyadari sendiri fakta yang terkandung dalam cerita tanpa penulis harus menjelaskannya secara gamblang. Berbeda dengan artikel berita yang harus benar-benar mengandung fakta akurat.

Saya rasa tidak ada yang salah dengan perubahan mimpi. Sesuai dengan judul yang saya ambil pada postingan kali ini, Hidup untuk Bermimpi. Ya! Sepanjang hidup ini saya terus bermimpi.

Karena mimpi itu gratis! Jalan menujunya yang tidak gratis. Dan asal tahu saja, harganya sangaaat mahal.

Ini bukan perkara uang saja, tetapi juga perkara tenaga, hati, waktu, dan kesempatan.

Seperti sebuah jalan, mimpi tidak selalu lurus. Mungkin nanti saya akan menemui jalan yang bercabang, polisi tidur, traffic light, tikungan, dan juga jalan bebas hambatan. Tapi juga bukan tidak mungkin ibarat saya mendapat pengawalan polisi, sehingga jalan saya akan lancar, bahkan orang lain akan memberi jalan.

Saya sangat suka menulis. Dan saya memiliki mimpi untuk menjadi penulis yang karyanya digemari banyak orang. Sehingga buku yang saya tulis hidup untuk waktu yang tidak terbatas.

(source: here)

Bukan berarti perjalanan menuju mimpi saya itu mudah. Justru keadaan paling sulit berada di dalam rumah, yaitu meyakinkan keluarga saya sendiri. 

"Memangnya penulis ada duitnya ya?"

"Cari kerja yang pasti-pasti aja sana!"

Komentar-komentar seperti itulah yang sering saya dengar dari anggota keluarga saya. Awalnya saya bisa menjelaskannya dengan tersenyum. Tetapi lama-kelamaan saya malas juga untuk menanggapi komentar seperti itu, sehingga saya memilih diam. Biarkan waktu yang memberitahu mereka.

Saya berikan contoh seperti ini: 

Jika semua orang berbondong-bondong menjadi pegawai perusahaan ataupun PNS, persaingan akan semakin membabi buta. Ingat tentang ribuan orang yang mengikuti tes CPNS? Nah! Menurut saya itu mengerikan. Biarlah saya menjadi satu dari sedikit orang yang mengabadikan perjuangan mereka-mereka yang ingin menjadi PNS dengan tulisan.

Biarlah saya menghidupkan terus kreativitas dan jari-jari saya untuk menuliskan kisah-kisah yang menginspirasi dan menghibur. Tanpa seragam atau pakaian resmi perusahaan. 

Seperti itulah sedikit gambaran saya tentang mimpi menjadi penulis fiksi. Walaupun saat ini belum ada satu pun buku yang memuat nama saya sebagai pengarangnya, tapi suatu saat nanti saya percaya akan ada. 

Satu kunci saya, yang mungkin dapat diikuti teman-teman sekalian untuk mewujudkan mimpi yaitu: TEKUN dan PERCAYA !


Diikutsertakan dalam Lomba Artikel #BeraniBermimpi
infonya : di sini

Aksi Seorang Pencuri

Source : here

Seorang pencuri berhasil masuk ke dalam rumah seorang kaya melalui pintu belakang yang ia congkel setelah sebelumnya membaca mantra agar orang di dalam rumah tertidur lelap. Kini ia leluasa menjelajah seisi rumah .

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada perhiasan-perhiasan itu?” Seekor kucing memergokinya.

“Lho, kau bisa bicara?”

“Ya, aku unik. Jadi bawa serta aku, karena aku sudah bosan diperlakukan seperti kucing bodoh di sini. Atau kau mau kuadukan?”

“Untuk apa aku membawamu? Aku juga punya burung yang bisa bicara.” Pencuri itu langsung saja membuka resleting celananya.

Si kucing lari terbirit-birit.

“Ah, pasti ia kucing betina,” gumam si pencuri.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Pembantaian Suku Gemar Membaca

(source: here)

Suku Gemar Membaca menghabiskan 75% hari mereka untuk membaca buku. Tidak heran jika setiap rumah memiliki perpustakaan pribadi.

“Tarik mereka semua keluar!!” Sebuah teriakan menggemparkan suku itu.

Suku Penulis menyeret keluar semua warga suku, mencambuk dan memenggal kepala mereka. Kepala-kepala itu mereka tancapkan pada bambu yang dipasang mengelilingi wilayah itu.

Suku Gemar Membaca habis tak bersisa. Suku Penulis senang bukan kepalang. Tak akan ada lagi kritik pedas untuk buku-buku yang mereka tulis.

***

“Pak, gudang buku kita sudah sangat penuh,” lapor seorang pejabat Suku Penulis pada kepala suku.

“Bagaimana tidak penuh jika semua orang menulis. Siapa yang mau baca?”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Kejutan Mahal

Lingerie merah yang harganya nyaris menghabiskan gajiku sebulan sudah melekat pada tubuhku.

Aku tiba di kos mewah kekasihku saat malam tiba. Ini pertama kalinya. Aku sangat gugup, tapi juga tidak sabar.

Aku mengetuk pintu. Tidak terkunci. Ah kejutan apa yang kau siapkan untukku?

Gelap.

Kutanggalkan pakaianku hingga lingerie merah memperindah lekuk tubuhku. Aku pun naik ke atas tempat tidur tempat ia menungguku. Ia pasti pura-pura tidur. Kulucuti pakaiannya dengan cepat dan meraih miliknya yang mengeras.  Ia menghujaniku dengan ciuman, dengan cepat kami bermain hingga napas memburu.

Tiba-tiba pintu terbuka dan lampu menyala.

“Sayang, apa yang kamu lakukan? Kamarku di sebelah!”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Menuju Tempat yang (Tidak) Lebih Baik

(source: here)

“Mengapa kau terus murung selama perjalanan?” Ku rasa aku baru saja mendengar pertanyaan bodoh.

“Lagipula mengapa kau terus tersenyum riang selama perjalanan?”

“Karena aku menikmatinya.”

“Apa yang kau nikmati dari keadaan berdesak-desakan dalam tempat ini? Hanya gelap dan sesak. Bahkan kita tidak bisa melihat pemandangan di luar.”

“Entahlah. Aku merasa sepertinya nanti kita akan hidup dalam keadaan yang lebih baik.”

“Jangan bodoh! Tak ada yang lebih baik daripada tempat tinggal kita sebelumnya.”

“Ah sudahlah aku tak mau bertengkar denganmu. Nikmati saja perjalanan ini dan lihat saja nanti.”

Tetap saja aku tidak percaya pada kehidupan yang lebih baik nanti. Baru perjalanan saja aku sudah tidak nyaman, bagaimana aku harus tinggal di tempat baru nanti.

Biar kujelaskan bagaimana ketidaknyamanan ini. Aku duduk berdesak-desakan dengan yang lain, di dalam tempat yang sempit dan gelap. Belum lagi selama perjalanan ini aku tak mendapatkan makan alih-alih minum, juga harus terguncang-guncang hingga mual. Jadi, bagaimana bisa aku menikmati perjalanan bahkan membayangkan sesuatu yang menyenangkan begitu sampai di tempat tujuan.

Tiba-tiba kendaraan berhenti seketika. Aku mendengar seseorang membuka pintu baja di bagian belakang kendaraan – tempatku dan teman-temanku yang lain berada.

Pria berseragam. Ah aku tak peduli itu. Hembusan angin di luar dan hangatnya matahari yang menerpa kulitku lebih menyita perhatianku. Entah berapa jam aku terkungkung dalam hawa pengap yang menyesakkan. Hingga bertemu udara bebas menjadi sangat membahagiakan.

“Kalian ditangkap karena menyelundupkan hewan yang dilindungi. Apakah kalian tahu itu? lagipula akan kalian bawa kemana hewan-hewan ini?”

“Jangan masukkan kami ke penjara pak. Kami tidak tahu jika itu adalah hewan yang dilindungi.”

“Jawab pertanyaan saya! Akan kalian bawa kemana mereka?” Pria berseragam mulai membentak.

Orang-orang yang memperlakukan kami dengan seenaknya dan memasukkan kami beramai-ramai dalam kotak sempit terlihat tidak berdaya dan mengkerut di hadapan pria berseragam yang kutahu mereka memiliki panggilan ‘pak polisi’.

Aku sengaja mendengarkan dengan seksama percakapan antara mereka. Oh Tuhan, ternyata orang-orang tidak tahu diri itu akan menjualku dan teman-temanku dengan harga yang sangat murah. Mengapa manusia hanya memikirkan kantong mereka?

Sekarang polisi mendekati kotak tempatku berada dan membukanya, kemudian mengangkat salah satu temanku dan menunjukkannya kepada segerombolan orang yang membawa benda yang dapat mengeluarkan cahaya putih menyilaukan ketika mereka menekan sebuah tombol. Seperti kilat kala hujan.

“Kami akan menyita seluruh hewan ini,” ujar polisi yang mengangkat temanku.

Bagus! Kita akan kembali ke tempat asal. Aku sudah sangat merindukan rumah.

“Kami akan memasukkan mereka ke kebun binatang. Sehingga mereka akan mendapatkan perawatan dan perlindungan,” polisi itu menambahkan.

“Kau dengar, kehidupan di kebun binatang pasti lebih baik dari kehidupan kita di rumah,” celetuk temanku tiba-tiba.

“Kau benar-benar bodoh atau apa? Apa bagusnya sebuah tempat dengan alam yang palsu. Kita tidak akan hidup lebih baik dengan pagar dan makanan yang hanya mereka pilihkan. Tidak ada bedanya dengan kotak ini. Hanya saja nanti lebih besar. Dan kau tahu, kakek buyut kita mati di kebun binatang.”

“Sok tahu!”

“Aku banyak mendengar. Jika kau tidak percaya, tunggu saja saat itu tiba.”

Perkenalkan, aku adalah kukang. Dan tidak ada yang lebih aku inginkan selain pulang.

Pertemuan Tak Terlupakan

“Boleh duduk di sini?”

Aku mengangguk dengan enggan. Jujur aku lebih senang duduk sendiri dalam bus seperti ini.

“Mau kemana mbak?”

Mau tak mau aku menoleh. Siapa dia yang berani mengganggu ketenanganku. 

Oh Tuhan, matanya... 

Pada detik pertama melihat lelaki ini, aku jatuh cinta.

“K-ke kampus.” Aku terbata.

Setelah itu kami terlibat obrolan panjang. Aku bercerita tentang keseharianku, ia pun begitu. Yang pasti mataku tak mau lepas mengikat matanya. Bahkan tak akan rela ia berkedip.

“Maaf, aku turun di depan. Semoga kita bisa bertemu lagi.”

Aku mengangguk. Andai saja pertemuan ini lebih lama.

“Sial! Dompetku!” Sepeninggalnya aku sadar, dompetku raib.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata 

Roxy Milik Michael

Source: here

Michael menggendong Roxy dengan mesra menuju kamar tidur di apartemen miliknya. Kemudian diturunkannya pelan-pelan di tempat tidur dan ia pun pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. 

Ah, sebaiknya Roxy ikut mandi bersamaku, begitu pikir Michael.

Ia membuka pintu kamar mandi tanpa menutup dahulu tubuhnya dengan sesuatu. Dipanggilnya Roxy untuk ikut mandi bersamanya. Roxy menurut. Ia menghampiri Michael dan menggelayut manja.

Setelah keduanya selesai membersihkan diri, Michael kembali menggendong Roxy ke tempat tidur. Ia mencumbunya sampai puas. Roxy diam saja, sepertinya menikmati. Michael terus melancarkan aksinya sampai akhirnya ia berguling ke samping karena kelelahan.

“Terima kasih Roxy, kamu hebat!”

“Guk!”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Hadiah Ulang Tahun

“Kamu lagi ngapain?”

“Baca tips menulis novel.”

Aku mengangguk saja kemudian berlalu.

Esoknya...

“Kamu lagi ngapain?”

“Stalking akun twitter penulis.”

“Kemarin baca tips nulis, hari ini stalking akun penulis, besok apalagi?”

“Latihan tanda tangan untuk pembaca bukuku nanti.”

Aku menggelengkan kepala melihat  kelakuan sahabatku yang sepertinya sangat terobsesi menjadi penulis.

***

Pesta ulang tahun di rumahnya telah usai. Aku masih di sana untuk membantu membereskan ruangan ketika tiba-tiba sahabatku itu berlari ke arahku.

“Tadinya aku penasaran sama kado dari kamu, makanya buru-buru aku buka. Eh, taunya cuma buku tulis.”

“Lho? Bukannya kamu terobsesi jadi penulis?”

“Penulis buku!”

“Itu apa?”

“Buku.”

“Nah!”

“...”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Cari Uang Itu (Tak) Mudah

"Pe... Tape!"

Seorang kakek melangkahkan kakinya yang tanpa dilengkapi alas kaki berkeliling di komplek perumahan. Ia menjajakan tape jualannya saat matahari sudah mulai bergerak ke arah barat dan langit tak lagi menyilaukan. Badannya yang renta tampak kepayahan memikul bambu panjang dengan dua keranjang yang terbuat dari anyaman bambu di kedua sisinya.

"Mbah, sini! Beli tapenya." Seorang pria paruh baya yang sedang duduk di tepi lapangan memanggil kakek penjual tape itu.

"O, nggih."

Kakek itu mendatanginya kemudian menurunkan bambu penyangga dua buah keranjang berisi tape dari bahunya. "Pinten mas?"

"Setunggal mawon. Makan di sini kok mbah."

Dikeluarkanlah satu bungkus tape dari dalam keranjang dan diberikan pada pria tersebut.

"Enak mbah. Setunggal malih nggih." Rupanya pembeli itu ketagihan dengan tape buatan si kakek. Belum juga selesai dengan satu bungkus tape di tangannya, ia sudah meminta satu bungkus lagi.

Dengan senang hati si kakek mengeluarkan sebungkus tape lagi. Kemudian ia duduk-duduk melepas lelah sambil menunggu pria itu menghabiskan tapenya dan membayarnya.

"Sampun mbah. Pinten?"

"Kalih ewu."

Pria itu menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah.

"Waduh, besar sekali uangnya. Nggak ada uang kecil aja mas? Saya nggak punya kembaliannya."

"Nggak ada mbah. Yasudah kalau pakai uang lima puluh ribu ada kembaliannya?"

Kakek itu langsung merogoh kantong celana dan mengeluarkan seluruh uang di sana. Kemudian ia menghitungnya. Ada lebih dari Rp 50.000 yang terdiri dari pecahan Rp 20.000, Rp 10.000, dan Rp 1.000. Kemudian sejumlah Rp 48.000 ia berikan pada pria tadi.

"Bentar yo pak, aku ambil uang dulu di rumah. Dekat kok. Tuh di ujung gang situ." Pria itu menunjuk sebuah rumah yang berada di ujung gang. Memang tidak begitu jelas terlihat dari lapangan tempat mereka duduk saat ini. Tetapi kakek penjual tape itu hanya mengangguk, mengiyakan.

Beberapa saat ditunggu, pria itu tak muncul juga. Kakek penjual tape memutuskan untuk datang saja ke rumahnya. Mungkin saja pria itu lupa membayar setelah sampai di rumah, begitu pikir kakek. Ia masih saja berpikiran positif.

Begitu sampai di depan rumah yang ditunjukkan pria tadi, si kakek mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Tapi tak ada jawaban dari dalam rumah. Sampai berkali-kali si kakek mengetuk, tak juga ada tanda-tanda langkah kaki mendekati pintu. 

"Mau apa mbah?" Seorang tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah itu keluar dan mendekati kakek penjual tape. 

"Aku mau ambil uangku. Tadi ada bapak-bapak beli tape dan belum bayar. Padahal aku sudah kasih kembalian. Katanya rumahnya di sini," jelas kakek.

"Oalah. Mbah kena tipu. Rumah itu kosong mbah."

Kakek penjual tape hanya bisa melongo mendengar jawaban seperti itu. Hasil menjajakan tape keliling kompleks hilang begitu saja. Alih-alih mendapatkan uang Rp 50.000, ia justru kehilangan Rp 48.000 dan dua bungkus tapenya.


NB: based on true story dari kakek penjual tape yang setiap hari keliling komplek perumahanku

Bagi kakek penjual tape yang merasakan cari uang tidak mudah, eh malah ditipu oleh pria tidak bertanggung jawab yang dengan mudahnya mengantongi uang Rp 48.000 dan makan 2 bungkus tape tanpa dosa. Kok ada ya orang yang tega begitu?

Catatan:
nggih = iya
pinten = berapa
setunggal mawon = satu saja
setunggal malih nggih = satu lagi ya
sampun mbah, pinten? = sudah mbah, berapa?
kalih ewu = dua ribu

Teledor!

Hendi menggandeng mesra tangan kekasihnya masuk ke kamar hotel. Dibiarkannya kekasihnya itu menggunakan kamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan ia melepas sepatu dan duduk menonton televisi.

Tak lama, kekasihnya keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk hotel. Mata Hendi berubah nakal. Ditepuknya kasur dengan maksud agar kekasihnya segera menyusul di sebelahnya.

Hendi membuka kaos dan mencium leher kekasihnya yang sudah berbaring.

“Tunggu! Apa kamu benar-benar mencintaiku?

“Tentu saja sayang!”

“Apakah benar aku yang pertama untukmu?”

Hendi mengangguk.

Kekasihnya bergegas memakai baju dan meninggalkan Hendi begitu saja.

“Rani, tunggu!”

Ketika bercermin barulah ia sadar, tato bertuliskan LARASATI di dadanya belum ia hapus.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Demonstrasi

Source: here

“Jangan menekan rakyat terus!”

“Kami menolak kenaikan BBM!”

Teriakan itu datang dari rombongan mahasiswa di depan gedung DPR yang berdemo menuntut rencana kenaikan BBM.

Ketika wakil rakyat tak juga keluar untuk menemui mereka, suasana menjadi semakin panas. Demonstran yang tidak sabar akhirnya merangsek barisan polisi yang berjajar di pagar.

Polisi yang diterjunkan semakin banyak. Di antaranya menyemprot gas air mata ke arah demonstran. Kontan saja mereka panik dan menutup mata mereka yang pedas dan terus mengeluarkan air mata.

Kemudian hening. Demonstran bubar dengan rapi.

“Lapor pak, campuran gas air mata dan virus LUPA sudah disemprotkan,” lapor seorang polisi pada atasannya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Pulang Malam

Aku bertemu ayah di depan gang. Ia mengambil alih motorku dan jadilah aku diboncengnya sampai ke rumah.

“Dari mana saja kamu? Jam 12 baru pulang.” Ayah membentakku.

“Besok deadline tugas yah. Jadi tadi aku kerja kelompok. Lagipula aku sudah kasih kabar ke ibu.”

“Lain kali nggak usah pulang sekalian! Kamu itu perempuan. Bawa motor sendiri pula.” Ayah berlalu setelah puas memarahiku.

Ibu mendekatiku, “Sabar ya. Kedengarannya memang kasar, tapi begitulah ayahmu. Ia hanya khawatir. Sudah sejak 3 jam lalu ayah menunggu kamu di depan gang. Padahal ibu sudah bilang kamu sudah besar.”

Segera aku berlari ke kamar ayah dan memeluknya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Tempat Tinggalku Sekarang

“Hei, kenalkan. Namaku Angga. Kamu siapa? Kenapa kamu di sini?”

“Aku Tian. Kami nggak punya pembantu. Jadi di sinilah aku setiap hari selama mamaku bekerja. Kamu sendiri? Kenapa dititipkan?”

“Siapa bilang aku dititipkan?”

“Kita tidur siang ya sayang.” Percakapan mereka terhenti karena seorang pengasuh menggendong mereka bergantian ke tempat tidur. Lagu yang disenandungkan oleh pengasuh itu serta hangatnya selimut membuat mereka segera terlelap.

Di luar, seorang ibu mengambil tas besar yang sebelumnya ia sembunyikan di belakang rumput tinggi di depan bangunan bertuliskan TEMPAT PENITIPAN ANAK, melambaikan tangan pada angkutan yang lewat, naik, dan menyebutkan tujuannya tanpa tahu kapan akan kembali.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Petualangan Deka

source: di sini

“Om, mengapa batu-batu itu kau angkat sendiri? Kata kakakku kau punya kekuatan ajaib. Mengapa tak kau gunakan saja kekuatanmu agar candi menjadi genap seribu dengan cepat.”

Salah satu jin menghentikan pekerjaannya dan memandang Deka dengan penuh rasa heran. “Siapa kau? Tahu darimana kita sedang membuat seribu candi?”

“DEKAAAAAAAAA! KELUAR DARI BUKUKU! KEBIASAAN SEKALI KAMU! KELUAAAAR!” 

“Yah ketahuan. Om jin, aku pamit ya. Pakailah jam tangan! Agar tidak tertipu suara penumbuk padi ketika hari belum pagi!”

Di kamarnya, kakak Deka sudah berkacak pinggang. Siap memarahi Deka karena untuk kesekian kalinya, adiknya itu menggunakan sihirnya dan mengacaukan cerita dalam buku dongengnya. 


Diikutsertakan dalam #FF100Kata