"Pe... Tape!"
Seorang kakek melangkahkan kakinya yang tanpa dilengkapi alas kaki berkeliling di komplek perumahan. Ia menjajakan tape jualannya saat matahari sudah mulai bergerak ke arah barat dan langit tak lagi menyilaukan. Badannya yang renta tampak kepayahan memikul bambu panjang dengan dua keranjang yang terbuat dari anyaman bambu di kedua sisinya.
"Mbah, sini! Beli tapenya." Seorang pria paruh baya yang sedang duduk di tepi lapangan memanggil kakek penjual tape itu.
"O, nggih."
Kakek itu mendatanginya kemudian menurunkan bambu penyangga dua buah keranjang berisi tape dari bahunya. "Pinten mas?"
"Setunggal mawon. Makan di sini kok mbah."
Dikeluarkanlah satu bungkus tape dari dalam keranjang dan diberikan pada pria tersebut.
"Enak mbah. Setunggal malih nggih." Rupanya pembeli itu ketagihan dengan tape buatan si kakek. Belum juga selesai dengan satu bungkus tape di tangannya, ia sudah meminta satu bungkus lagi.
Dengan senang hati si kakek mengeluarkan sebungkus tape lagi. Kemudian ia duduk-duduk melepas lelah sambil menunggu pria itu menghabiskan tapenya dan membayarnya.
"Sampun mbah. Pinten?"
"Kalih ewu."
Pria itu menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah.
"Waduh, besar sekali uangnya. Nggak ada uang kecil aja mas? Saya nggak punya kembaliannya."
"Nggak ada mbah. Yasudah kalau pakai uang lima puluh ribu ada kembaliannya?"
Kakek itu langsung merogoh kantong celana dan mengeluarkan seluruh uang di sana. Kemudian ia menghitungnya. Ada lebih dari Rp 50.000 yang terdiri dari pecahan Rp 20.000, Rp 10.000, dan Rp 1.000. Kemudian sejumlah Rp 48.000 ia berikan pada pria tadi.
"Bentar yo pak, aku ambil uang dulu di rumah. Dekat kok. Tuh di ujung gang situ." Pria itu menunjuk sebuah rumah yang berada di ujung gang. Memang tidak begitu jelas terlihat dari lapangan tempat mereka duduk saat ini. Tetapi kakek penjual tape itu hanya mengangguk, mengiyakan.
Beberapa saat ditunggu, pria itu tak muncul juga. Kakek penjual tape memutuskan untuk datang saja ke rumahnya. Mungkin saja pria itu lupa membayar setelah sampai di rumah, begitu pikir kakek. Ia masih saja berpikiran positif.
Begitu sampai di depan rumah yang ditunjukkan pria tadi, si kakek mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Tapi tak ada jawaban dari dalam rumah. Sampai berkali-kali si kakek mengetuk, tak juga ada tanda-tanda langkah kaki mendekati pintu.
"Mau apa mbah?" Seorang tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah itu keluar dan mendekati kakek penjual tape.
"Aku mau ambil uangku. Tadi ada bapak-bapak beli tape dan belum bayar. Padahal aku sudah kasih kembalian. Katanya rumahnya di sini," jelas kakek.
"Oalah. Mbah kena tipu. Rumah itu kosong mbah."
Kakek penjual tape hanya bisa melongo mendengar jawaban seperti itu. Hasil menjajakan tape keliling kompleks hilang begitu saja. Alih-alih mendapatkan uang Rp 50.000, ia justru kehilangan Rp 48.000 dan dua bungkus tapenya.
NB: based on true story dari kakek penjual tape yang setiap hari keliling komplek perumahanku
Bagi kakek penjual tape yang merasakan cari uang tidak mudah, eh malah ditipu oleh pria tidak bertanggung jawab yang dengan mudahnya mengantongi uang Rp 48.000 dan makan 2 bungkus tape tanpa dosa. Kok ada ya orang yang tega begitu?
Catatan:
nggih = iya
pinten = berapa
setunggal mawon = satu saja
setunggal malih nggih = satu lagi ya
sampun mbah, pinten? = sudah mbah, berapa?
kalih ewu = dua ribu
Post a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D