Rutinitasku setiap hari adalah mengecek surel (surat elektronik) yang masuk. Begitu pula yang kulakukan siang itu. Mengetikkan alamat email beserta passwordku di dua kolom di antara tulisan Yahoo! dan sign in. Hanya ada 3 inbox, di antaranya adalah notification dari Goodreads yang memberitahukan buku-buku yang keluar pada bulan ini, notification dari website pencari kerja yang menyuruhku untuk melengkapi resume, serta sebuah surel dari teman yang meminta bantuan membuat desain t-shirt sederhana untuk komunitas reptil miliknya. Setelah menghapus dua surel pertama (karena aku sedang tidak ingin sakit mata dan sakit hati melihat buku-buku itu tanpa bisa membelinya alias tidak ada budget, serta tidak tertarik lagi memasukkan resume di website pencari kerja itu karena tidak kunjung mendapatkan panggilan dari sana tapi selalu lupa menonaktifkan akun), aku pun membalas surel dari teman (mengatakan akan mengirim desainnya besok pagi).
Ada satu surel yang masuk ke spam. Surel berbahasa inggris dengan subjek "Invitation from England". Aku mengernyitkan dahi hanya dengan membaca subjeknya. Tidak ada niat untuk membukanya karena seperti yang sudah-sudah, surel seperti itu pasti tidak ada bedanya dengan surel-surel sebelumnya yang pernah kudapat, dengan subjek "Urgent!", "Need help", atau "Congratulation! You Win a Lottery". Maaf ya, aku tidak mudah ditipu. Aku hendak mengarahkan kursor mouse pada pilihan delete, ketika Piyo, kucingku, tiba-tiba melompat ke atas meja dan menyenggol tanganku yang sedang memegang mouse. Alih-alih terhapus, surel itu justru terbuka hingga memaksa mataku untuk menatapnya dan membaca isinya. Isinya kira-kira begini (tentunya sudah ditranslate ke Bahasa Indonesia):
Kau tidak tahu siapa aku. Tapi aku tahu siapa kau. Kau tidak populer di negaramu. Kau suka menulis, tapi tak juga menghasilkan satu buku pun. Kau adalah mahasiswa pintar, tetapi pendiam seolah sibuk dengan duniamu sendiri, tidak cakap berbicara dengan orang lain, apalagi di depan forum, sehingga ketika lulus dari kuliah, kau harus menguatkan hati karena desakan orangtua yang menyuruhmu segera bekerja di sebuah perusahaan, padahal kau lebih ingin berbisnis sendiri, menulis buku, atau paling tidak bekerja di penerbitan. Maka dari itulah aku memilihmu. Kau tidak terlalu spesial, itulah alasanku memilihmu. Tidak perlu bertanya lebih lanjut karena aku tidak suka dengan pertanyaan. Kau hanya perlu tahu, bahwa aku mengundangmu untuk pergi ke Inggris dalam satu malam. Aku akan mengajakmu berkeliling menikmati keindahan Inggris dan segala macam yang ada di dalamnya. Tanpa biaya. Bahkan kau hanya perlu membawa dirimu sendiri. Tak lebih. Jika kau setuju, kau hanya perlu membalas email ini dengan satu kata: SETUJU. Aku tidak butuh embel-embel lain, seperti terima kasih atau sebagainya.
Ketika membaca bagian awal, aku sempat berhenti untuk mengecek laptop serta mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamarku. Jangan-jangan orang aneh ini mengirimkan suatu alat untuk memata-mataiku bersamaan dengan dikirimkannya surel ini, karena apa yang ia sebutkan benar adanya. Tapi mengingat ia tidak menyebutkan ciri-ciri fisikku, aku semakin yakin bahwa ini adalah perbuatan orang iseng. Ciri-ciri seperti yang ia sebutkan di atas pasti banyak yang memilikinya, tidak hanya aku. Keisengan harus dibalas dengan keisengan. Aku pun membalas surel itu dengan menuliskan satu kata: AGREE!
Malam harinya, aku tidur larut malam setelah menyelesaikan desain t-shirt pesanan teman. Belum lama aku terlelap, sudah kurasakan seseorang menggoyangkan badanku. Aku terbangun karenanya.
Kamu tahu apa yang kulihat pertama kali ketika aku membuka mata? Seorang pria berkumis dan bertubuh tinggi, berkulit putih pucat, berambut cokelat gelap, serta memiliki perut yang gembul. Ia berdiri di hadapanku. Celemek yang ia pakai tidak berhasil menyembunyikan bentuk perutnya.
"Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?" tanyaku padanya.
Ia diam dan mengerutkan kening menatapku. "You can't sleep here! Who are you?"
Mendengarnya berkata dalam aksen british kental, aku celingukan. Di mana aku? Tidak ada kasur, laptop, lemari, dan rak buku yang biasanya aku lihat di dalam kamarku. Mataku justru menangkap sebuah bangunan asing, penuh dengan meja dan kursi, seperti sebuah kedai.
Tunggu! Aku tidur di trotoar? Mataku seketika terjaga sepenuhnya. Aku menunduk untuk melihat diriku sendiri. Lho? Baju siapa ini? Aku tidak merasa pernah memiliki kaus lengan panjang pas badan, skinny jeans, serta boot ini. Aku pun mengenakan tas kecil yang tersampir di bahuku. Ketika merogoh ke dalamnya, aku hanya menemukan sebuah kamera saku. Tidak ada uang.
Tunggu! Aku tidur di trotoar? Mataku seketika terjaga sepenuhnya. Aku menunduk untuk melihat diriku sendiri. Lho? Baju siapa ini? Aku tidak merasa pernah memiliki kaus lengan panjang pas badan, skinny jeans, serta boot ini. Aku pun mengenakan tas kecil yang tersampir di bahuku. Ketika merogoh ke dalamnya, aku hanya menemukan sebuah kamera saku. Tidak ada uang.
Pria itu mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Rambut-rambut keriting berwarna gelap yang tumbuh memenuhi permukaan tangannya membuatku geli.
"Maybe you're hungry. Sit down here! I'll back with a plate of breakfast for you." Aku menurut dan duduk di salah satu kursi di kedai itu. Mungkin itu adalah kedainya.
Ia kembali dengan membawakanku sarapan. Aku mengamati piring di hadapanku yang berisi dua telur mata sapi setengah matang, potongan tomat, olahan kacang merah, sosis dan jamur, serta dua roti bakar. "Where is the rice?"
Ia tertawa. "This is England. Only a few people who eat rice here! Where you come from?"
"What? England?" Aku seketika bangkit berdiri ketika laki-laki di hadapanku menyebutkan kata "England". Bagaimana bisa? Sedangkan semalam aku masih tidur di kamar pengapku di Semarang.
Sebelum mendengarkan penjelasanku mengenai dari mana aku berasal, ia sudah meninggalkanku karena harus melayani orang-orang yang baru datang ke kedainya.
Aku mulai menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. Walaupun rasanya asing, tapi enak. Aku mencernanya pelan-pelan karena ingin mendalami rasanya. Ketika menyeruput teh, kurasakan pahit di lidahku. Kutambahkan madu ke dalam cangkirku.
Pria itu kembali menghampiriku ketika aku sudah bersandar di kursi dan mengelus perut yang kenyang. Alih-alih marah dan mengusirku, ia justru tersenyum saat aku mengatakan tak memiliki uang untuk membayar makanannya. Aku pun berpamitan dengannya meski tak tahu harus ke mana setelah ini. Hanya berjalan dan terus berjalan.
Aku sedang melihat-lihat pertokoan di sisi kiriku dan jalan raya yang lalu lintasnya sangat tertib di sisi kananku ketika tiba-tiba seseorang menubrukku dari belakang. Tanganku ditariknya hingga aku tidak jadi terjatuh mencium trotoar. Setelah kakiku menginjak tanah dengan sempurna, ia menarik tanganku sehingga aku terpaksa berlari mengikutinya, menerjang orang-orang yang berjalan lalu lalang di sepanjang trotoar. Kami tidak berhenti berlari ketika menuruni tangga lebar menuju sebuah lorong bawah tanah. Langkah kami baru berhenti ketika sudah berada persis di depan rel kereta. Sedetik kemudian, sebuah kereta berhenti di depan kami. Orang itu kembali menarikku melewati pintu masuk dan duduk di salah satu tempat kosong.
Aku mengamati pemuda yang tadi menarikku dan kini duduk di sampingku. Ia sepertinya tahu, karena dengan cepat ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Perpaduan rambut pirang, mata biru yang tajam menusuk mataku, dan hidung bak perosotan TK, ia sebetulnya tidak perlu menarikku seperti tadi. Dengan senang hati aku akan ikut jika ia mau mengulurkan tangannya baik-baik.
"This is the tube," katanya. Oh? Jadi ini bukan kereta api? Atau hanya beda nama? Aku mengangguk-angguk ketika mendengarkan penjelasan selanjutnya mengenai alat transportasi tertua di dunia yang saat ini sedang kunaiki. Ia mengatakan bahwa ia sangat suka bepergian dengan alat transportasi ini, karena sangat aman, bahkan risiko kecelakaannya hanya satu berbanding 300 juta. Wow! Tiba-tiba terlintas di benakku mengenai lintasan kereta api tanpa palang pintu di Indonesia. Tapi aku urung menceritakan hal itu padanya.
Terlalu asyik kami mengobrol hingga tidak terasa, tube ini berhenti. Ia meraih tanganku, dan menarikku keluar dari tube. Oh ayolah, itu sakit! Bisakah kita berjalan biasa saja?
Ketika sudah sampai di luar tube, aku tidak lagi merasa ada yang menyentuh tanganku. Di dalam kerumunan orang di dalam stasiun, orang itu meninggalkanku. Bahkan aku belum sempat menanyakan namanya. Baiklah, sepertinya aku harus mencari sendiri jalan keluarku.
Mataku menangkap tulisan "Baker Street". Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Ah! Itu kan tempat di mana museum Sherlock Holmes berdiri. Setelah keluar dari stasiun, aku mencari museum yang katanya tidak jauh dari situ. Dan... aku menemukannya! 221B Baker Street!
Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya saat sudah berdiri di depan sebuah bangunan arsitektur Inggris kuno dengan tulisan "The Sherlock Holmes Museum" yang terpampang besar di depan bangunan itu, kemudian langsung berlari masuk menerjang pintu. Tapi antrean yang mengular membuatku harus berpikir ulang.
"Hei you, come here!" Aku celingukan mencari asal suara. Dari dalam museum itu, seorang perempuan mengarahkan jari telunjuknya tepat ke arahku. Nyonya Hudson? Ketika ia mengangguk saat aku memastikan bahwa ia benar-benar memanggilku, aku berjalan ke arah pintu masuk. Aku dibuat heran karena tidak ada tatapan jengkel atau marah dari turis-turis yang sedang mengantre.
Nyonya Hudson merangkul bahuku. Ia mengajakku masuk dan menjadi tour guide-ku ketika berada di dalam sana. Segala rupa mengenai Sherlock Holmes dan Dokter Watson dijelaskannya secara detail. Aku tidak kuasa mengatupkan mulut saat mendengarkannya dan menjumpai pernak-pernik unik di dalam museum itu.
Tour dimulai dari lantai 1 di mana aku bisa melihat ruang tamu serta kamar pribadi Sherlock Holmes yang banyak digunakannya untuk berpikir saat hendak memecahkan kasus, kemudian di lantai 2, aku menengok kamar Dokter Watson dan Nyonya Hudson, dan di lantai 3, beberapa patung lilin yang dibuat serupa dengan adegan-adegan di filmnya seolah menyapaku. Tour selesai tapi aku enggan beranjak dari sana. Ya, tapi bagaimanapun juga aku harus keluar. Nyonya Hudson mengantarkanku sampai pintu depan. Kuucapkan terima kasih dan melambai ke arahnya. Kembali kutelusuri jalan yang entah akan membawaku ke mana.
Seorang kakek dari depan sana berjalan ke arahku. Semakin dekat, dan aku bisa melihat tongkat di tangan kanannya serta kacamata yang agak melorot hingga bertengger di batang hidungnya. Aku bergeser agak ke pinggir, memberinya jalan yang lebih lebar. Tetapi ternyata ia malah mendekatiku, melotot, kemudian mengangkat tongkatnya ke atas kepalaku. Refleks aku memejamkan mata. Takut ia akan memukulku. Ternyata benar, ia mengetukkan tongkatnya ke kepalaku.
"Aw, sakit!" Aku mengusap ubun-ubunku. Mataku membuka untuk mencari kakek yang sudah seenaknya memukul kepala orang. Apa salahku?
Kakek itu tidak ada. Aku memandang sekeliling. Lho? Di mana ini?
Banyak orang berlalu lalang membawa koper, ransel, tas jinjing, dan lain-lain. Aku mendongakkan kepala dan melihat layar berderet yang menampilkan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta. Rupanya aku sedang berdiri di tengah-tengah stasiun. Kemegahan langit-langit bangunan sejenak menarik perhatianku. Inikah King's Cross Station yang terkenal itu?
Tunggu! Ada yang lebih terkenal daripada kemegahan bangunan ini. Ya! Platform 9 3/4. Aku harus menemukannya! Aku menajamkan mata saat mengedarkan pandangan mencari tempat di mana Harry Potter, Hermione Granger, dan Ron Weasley menembus tembok untuk menuju Hogwart Express.
Tak kuhiraukan tatapan aneh orang-orang sekitar saat aku melompat-lompat senang ketika berhasil menemukan Platform 9 3/4 lengkap dengan replika troli Harry Potter. Kupandangi dengan seksama, kemudian meminta tolong orang yang lewat untuk mengambil fotoku saat berpose dengan troli itu. Selesai dari sana, aku mampir ke sebuah toko di dekat situ yang menjual segala macam suvenir Harry Potter. Hanya melihat-lihat, karena menyadari bahwa aku tidak membawa uang sepeser pun. Sedih rasanya.
Ketika menolehkan kepala ke luar toko, aku melihat kakek itu. Ya! Kakek yang tadi memukulkan tongkatnya di kepalaku. Aku pun bergegas keluar dari toko untuk mengejarnya.
"Hei mister, wait!" Aku berteriak padanya. Tapi ia tidak juga menghentikan langkah. Tak kusangka jalannya cepat juga.
Kupercepat langkahku dan akhirnya aku berhasil menyusulnya. Aku berdiri di depannya dan berpegangan pada lutut sambil mengatur napas yang ngos-ngosan. "How can you so fast? I can't hardly chase you."
"Slacker!" Ia berkacak pinggang dan... kembali memukul kepalaku dengan tongkatnya. Sakit!
Eh, eh, tiba-tiba tubuhku bergoyang-goyang. Aku segera mencari pegangan. Sepertinya aku sedang berada di dalam bus - bus tingkat (double decker). Aku sempat melihat tangga di ujung sana.
Kakek-yang-tak-kutahu-namanya itu ada. Tidak lagi menghilang setelah memukulkan tongkatnya. Ia duduk di salah satu kursi penumpang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku pun berjalan ke arahnya.
"Where are we going?" tanyaku padanya. Bukannya menjawab, ia malah menempelkan telunjuknya di bibir, memberi tanda padaku untuk diam. Matanya tak lepas memandang ke depan. Karena penasaran, kuikuti arah pandangnya.
What? Ada dua bus double decker yang melaju bersisian, berlawanan arah dengan bus yang sedang kutumpangi. Mereka tidak menurunkan kecepatan seolah busku ini tidak kasat mata. Begitu pula sopir busku yang juga tidak menurunkan kecepatan. Seolah hal seperti ini sudah biasa baginya. Dengan kondisi jalan yang hanya mampu menampung dua double decker yang bersisian, kecelakaan pasti akan aku alami sebentar lagi. Refleks aku menutup mata dengan kedua telapak tangan. Tidak ingin melihat maut yang sudah di depan mataku. Tolong aku, Tuhan!
Kakek itu menarik tanganku ke bawah, sehingga aku bisa melihat semua. Aku berteriak sekencang-kencangnya saat bus kami semakin dekat dengan dua bus di depan. Aku diam sejenak saat kurasakan dua sisi busku menyempit dan terus menyempit membentuk pipih. Badanku, kakek itu, juga sopir pun mengalami hal serupa. Aku kembali berteriak saat bus kami melewati sisi kosong di antara kedua bus di depan.
Belum lepas rasa ketakutanku setelah mengalami hal aneh (aku jadi bisa merasakan perasaan Harry Potter saat mengalami hal yang sama), tubuhku sudah berpindah ke tempat lain. Sebuah tempat berbentuk kapsul dengan sisi-sisi kaca mengelilinginya. Aku duduk di tengah-tengah tempat itu, dengan kakek itu di sisiku. Hanya kami berdua, tidak ada orang lain. Aku merasakan kapsul ini bergerak perlahan.
Aku naik London Eye! Bergegas aku menuju salah satu sisi dinding kaca. Senja sudah mulai merapat di langit Inggris. Indah. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat struktur Kota London, Palace of Westminster, Big Ben, serta Westminster Bridge. Matahari perlahan turun dan membuat tempat-tempat itu serupa siluet yang tidak kehilangan keindahannya.
Sinar matahari yang tenggelam digantikan oleh kerlip lampu-lampu yang memenuhi Kota London. Aku tidak berhenti mengembangkan senyum menikmati pemandangan itu.
Kakek itu bangkit dari tempat duduknya. Suara langkahnya yang diiringi tongkat semakin dekat denganku. Beberapa detik kemudian ia sudah berdiri di sampingku.
"Your time runs out!"
Aku mengernyit tidak mengerti. Ketika akan bertanya apa maksudnya, aku dikejutkan oleh bunyi retakan di dinding kaca di depanku. Aku tidak tahu mengapa hanya bagian itu. Kulangkahkan kakiku perlahan ke belakang.
Retakan itu membesar, kemudian terdengar bunyi PYAR! nyaring. Terbentuklah sebuah lubang. Angin berhembus kencang masuk ke dalam kapsul. Kakek itu masih berdiri tenang di tempatnya. Kurasakan angin itu tak lagi hanya berhempus. Ia seperti menyedot apapun yang berada di dalam kapsul. Badanku hampir tersedot angin. Tetapi aku berhasil menggapai kaki tempat duduk yang tertanam di lantai. Lama-kelamaan tanganku tak kuat, hingga peganganku terlepas. Tubuhku tersedot oleh angin, keluar dari kapsul. Aku sempat menangkap senyum kakek itu sebelum akhirnya tubuhku terhempas ke bawah. Kututup mataku. Pasrah.
GUBRAK! Kurasakan sakit di tubuhku. Seharusnya dengan ketinggian London Eye, jatuh dari sana akan membuatku hancur dan langsung mati, hingga tidak lagi bisa merasakan sakit. Tapi sekarang, sakit yang kurasakan tidak seberapa.
Aku pun membuka mata kemudian langsung duduk. Kukedip-kedipkan mataku dengan cepat. Memastikan kasur, meja, lemari pakaian, serta rak buku yang sedang kulihat adalah nyata. Aku benar-benar berada di kamarku. Kuhampiri cermin yang menempel di lemari dan melihat pantulan diriku. Bahkan kaus gombrang berwarna putih polos dengan celana kolorlah yang melekat di tubuhku. Pakaian yang kupakai saat aku berangkat tidur.
Jadi semalam aku hanya bermimpi? Bayangan di dalam cermin menertawakanku. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Laptopku masih menyala. Bukankah semalam aku sudah mematikannya? Aku mencoba mengingat-ingat.
Aku berjalan ke meja dan duduk di depannya. Dahiku berkerut saat mengamati apa yang sedang tampil di layar laptop. Halaman akun emailku berisi satu pesan masuk yang belum kubaca. Aku pun membukanya.
Aku harus kembali ke Inggris untuk membuktikan bahwa apa yang kualami semalam bukan mimpi! Dan untuk membuktikannya, aku harus merasakan kembali suasana Inggris, bukan hanya semalam! Kali ini aku akan mencatat detailnya dan kembali menceritakannya pada kalian...
* Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi blog "Ngemil Eksis Pergi ke Inggris" #InggrisGratis persembahan dari Mr. Potato.
* Cerita adalah fiksi, dengan harapan yang besar terselip di dalamnya.
Tour dimulai dari lantai 1 di mana aku bisa melihat ruang tamu serta kamar pribadi Sherlock Holmes yang banyak digunakannya untuk berpikir saat hendak memecahkan kasus, kemudian di lantai 2, aku menengok kamar Dokter Watson dan Nyonya Hudson, dan di lantai 3, beberapa patung lilin yang dibuat serupa dengan adegan-adegan di filmnya seolah menyapaku. Tour selesai tapi aku enggan beranjak dari sana. Ya, tapi bagaimanapun juga aku harus keluar. Nyonya Hudson mengantarkanku sampai pintu depan. Kuucapkan terima kasih dan melambai ke arahnya. Kembali kutelusuri jalan yang entah akan membawaku ke mana.
Seorang kakek dari depan sana berjalan ke arahku. Semakin dekat, dan aku bisa melihat tongkat di tangan kanannya serta kacamata yang agak melorot hingga bertengger di batang hidungnya. Aku bergeser agak ke pinggir, memberinya jalan yang lebih lebar. Tetapi ternyata ia malah mendekatiku, melotot, kemudian mengangkat tongkatnya ke atas kepalaku. Refleks aku memejamkan mata. Takut ia akan memukulku. Ternyata benar, ia mengetukkan tongkatnya ke kepalaku.
"Aw, sakit!" Aku mengusap ubun-ubunku. Mataku membuka untuk mencari kakek yang sudah seenaknya memukul kepala orang. Apa salahku?
Kakek itu tidak ada. Aku memandang sekeliling. Lho? Di mana ini?
Banyak orang berlalu lalang membawa koper, ransel, tas jinjing, dan lain-lain. Aku mendongakkan kepala dan melihat layar berderet yang menampilkan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta. Rupanya aku sedang berdiri di tengah-tengah stasiun. Kemegahan langit-langit bangunan sejenak menarik perhatianku. Inikah King's Cross Station yang terkenal itu?
Tunggu! Ada yang lebih terkenal daripada kemegahan bangunan ini. Ya! Platform 9 3/4. Aku harus menemukannya! Aku menajamkan mata saat mengedarkan pandangan mencari tempat di mana Harry Potter, Hermione Granger, dan Ron Weasley menembus tembok untuk menuju Hogwart Express.
Tak kuhiraukan tatapan aneh orang-orang sekitar saat aku melompat-lompat senang ketika berhasil menemukan Platform 9 3/4 lengkap dengan replika troli Harry Potter. Kupandangi dengan seksama, kemudian meminta tolong orang yang lewat untuk mengambil fotoku saat berpose dengan troli itu. Selesai dari sana, aku mampir ke sebuah toko di dekat situ yang menjual segala macam suvenir Harry Potter. Hanya melihat-lihat, karena menyadari bahwa aku tidak membawa uang sepeser pun. Sedih rasanya.
Ketika menolehkan kepala ke luar toko, aku melihat kakek itu. Ya! Kakek yang tadi memukulkan tongkatnya di kepalaku. Aku pun bergegas keluar dari toko untuk mengejarnya.
"Hei mister, wait!" Aku berteriak padanya. Tapi ia tidak juga menghentikan langkah. Tak kusangka jalannya cepat juga.
Kupercepat langkahku dan akhirnya aku berhasil menyusulnya. Aku berdiri di depannya dan berpegangan pada lutut sambil mengatur napas yang ngos-ngosan. "How can you so fast? I can't hardly chase you."
"Slacker!" Ia berkacak pinggang dan... kembali memukul kepalaku dengan tongkatnya. Sakit!
Eh, eh, tiba-tiba tubuhku bergoyang-goyang. Aku segera mencari pegangan. Sepertinya aku sedang berada di dalam bus - bus tingkat (double decker). Aku sempat melihat tangga di ujung sana.
Kakek-yang-tak-kutahu-namanya itu ada. Tidak lagi menghilang setelah memukulkan tongkatnya. Ia duduk di salah satu kursi penumpang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku pun berjalan ke arahnya.
"Where are we going?" tanyaku padanya. Bukannya menjawab, ia malah menempelkan telunjuknya di bibir, memberi tanda padaku untuk diam. Matanya tak lepas memandang ke depan. Karena penasaran, kuikuti arah pandangnya.
What? Ada dua bus double decker yang melaju bersisian, berlawanan arah dengan bus yang sedang kutumpangi. Mereka tidak menurunkan kecepatan seolah busku ini tidak kasat mata. Begitu pula sopir busku yang juga tidak menurunkan kecepatan. Seolah hal seperti ini sudah biasa baginya. Dengan kondisi jalan yang hanya mampu menampung dua double decker yang bersisian, kecelakaan pasti akan aku alami sebentar lagi. Refleks aku menutup mata dengan kedua telapak tangan. Tidak ingin melihat maut yang sudah di depan mataku. Tolong aku, Tuhan!
Kakek itu menarik tanganku ke bawah, sehingga aku bisa melihat semua. Aku berteriak sekencang-kencangnya saat bus kami semakin dekat dengan dua bus di depan. Aku diam sejenak saat kurasakan dua sisi busku menyempit dan terus menyempit membentuk pipih. Badanku, kakek itu, juga sopir pun mengalami hal serupa. Aku kembali berteriak saat bus kami melewati sisi kosong di antara kedua bus di depan.
Belum lepas rasa ketakutanku setelah mengalami hal aneh (aku jadi bisa merasakan perasaan Harry Potter saat mengalami hal yang sama), tubuhku sudah berpindah ke tempat lain. Sebuah tempat berbentuk kapsul dengan sisi-sisi kaca mengelilinginya. Aku duduk di tengah-tengah tempat itu, dengan kakek itu di sisiku. Hanya kami berdua, tidak ada orang lain. Aku merasakan kapsul ini bergerak perlahan.
Aku naik London Eye! Bergegas aku menuju salah satu sisi dinding kaca. Senja sudah mulai merapat di langit Inggris. Indah. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat struktur Kota London, Palace of Westminster, Big Ben, serta Westminster Bridge. Matahari perlahan turun dan membuat tempat-tempat itu serupa siluet yang tidak kehilangan keindahannya.
Sinar matahari yang tenggelam digantikan oleh kerlip lampu-lampu yang memenuhi Kota London. Aku tidak berhenti mengembangkan senyum menikmati pemandangan itu.
Kakek itu bangkit dari tempat duduknya. Suara langkahnya yang diiringi tongkat semakin dekat denganku. Beberapa detik kemudian ia sudah berdiri di sampingku.
"Your time runs out!"
Aku mengernyit tidak mengerti. Ketika akan bertanya apa maksudnya, aku dikejutkan oleh bunyi retakan di dinding kaca di depanku. Aku tidak tahu mengapa hanya bagian itu. Kulangkahkan kakiku perlahan ke belakang.
Retakan itu membesar, kemudian terdengar bunyi PYAR! nyaring. Terbentuklah sebuah lubang. Angin berhembus kencang masuk ke dalam kapsul. Kakek itu masih berdiri tenang di tempatnya. Kurasakan angin itu tak lagi hanya berhempus. Ia seperti menyedot apapun yang berada di dalam kapsul. Badanku hampir tersedot angin. Tetapi aku berhasil menggapai kaki tempat duduk yang tertanam di lantai. Lama-kelamaan tanganku tak kuat, hingga peganganku terlepas. Tubuhku tersedot oleh angin, keluar dari kapsul. Aku sempat menangkap senyum kakek itu sebelum akhirnya tubuhku terhempas ke bawah. Kututup mataku. Pasrah.
GUBRAK! Kurasakan sakit di tubuhku. Seharusnya dengan ketinggian London Eye, jatuh dari sana akan membuatku hancur dan langsung mati, hingga tidak lagi bisa merasakan sakit. Tapi sekarang, sakit yang kurasakan tidak seberapa.
Aku pun membuka mata kemudian langsung duduk. Kukedip-kedipkan mataku dengan cepat. Memastikan kasur, meja, lemari pakaian, serta rak buku yang sedang kulihat adalah nyata. Aku benar-benar berada di kamarku. Kuhampiri cermin yang menempel di lemari dan melihat pantulan diriku. Bahkan kaus gombrang berwarna putih polos dengan celana kolorlah yang melekat di tubuhku. Pakaian yang kupakai saat aku berangkat tidur.
Jadi semalam aku hanya bermimpi? Bayangan di dalam cermin menertawakanku. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Laptopku masih menyala. Bukankah semalam aku sudah mematikannya? Aku mencoba mengingat-ingat.
Aku berjalan ke meja dan duduk di depannya. Dahiku berkerut saat mengamati apa yang sedang tampil di layar laptop. Halaman akun emailku berisi satu pesan masuk yang belum kubaca. Aku pun membukanya.
Dear Anindita Hendra,Mulutku menganga membaca pesan itu dan mataku makin melotot ketika mendapati kamera saku yang pernah kutemukan di dalam tas kecil yang kupakai semalam saat berkeliling Inggris. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan kamera saku itu untuk melihat foto apa yang ada di dalamnya. Hampir saja kamera itu lepas dari tanganku yang tiba-tiba lemas saat mendapati foto objek-objek yang semalam kukunjungi di Inggris, lengkap dengan fotoku bersama pemilik kedai sarapan, pemuda di tube, dan... kakek itu.
Aku sudah mengajakmu berjalan-jalan ke Inggris dalam semalam. Apakah sekarang kau masih menganggapku orang aneh yang iseng?
Aku harus kembali ke Inggris untuk membuktikan bahwa apa yang kualami semalam bukan mimpi! Dan untuk membuktikannya, aku harus merasakan kembali suasana Inggris, bukan hanya semalam! Kali ini aku akan mencatat detailnya dan kembali menceritakannya pada kalian...
*** end ***
* Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi blog "Ngemil Eksis Pergi ke Inggris" #InggrisGratis persembahan dari Mr. Potato.
* Cerita adalah fiksi, dengan harapan yang besar terselip di dalamnya.
Mr. Potato menjadi teman dalam perjalanan |
Post a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D