Judul : Badut Oyen
Penulis : Marisa Jaya, Dwi Ratih Ramadhany, dan Rizky Noviyanti
Ilustrator : Starven Andersen
Editor : Anastasia Aemilia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2014
Tebal : 224 halaman
ISBN : 978-602-03-0349-9
Berkisah tentang Oyen, seorang badut yang sangat menyayangi anak-anak. Baginya, melihat anak-anak tertawa riang gembira adalah bayaran yang tak ternilai besarnya. Itulah mengapa, hidupnya sangat pas-pasan. Ia ikhlas dibayar nyicil bahkan tidak dibayar asalkan anak-anak senang.
Oyen hidup berdua dengan Suparni, teman kuliah yang sudah2 tahun bekerja padanya - menjaga toko perlengkapan pesta dan membantu mempersiapkan segala perlengkapan ketika Oyen mendapat order menjadi badut. Suparni inilah yang menemani Oyen pada masa-masa sulitnya. Ia rela gajinya nunggak.
Kesialan demi kesialan menimpa Oyen. Mulai dari pembayaran jasa badutnya yang dicicil, terlibat utang dengan rentenir kampung yang sadis, kawasan rumahnya yang kebanjiran, stasiun TV yang membayarnya dengan nominal yang tidak sesuai dengan perjanjian awal, dicopet, sampai pada kesialannya yang paling besar: pada suatu pagi, ia ditemukan menggantung di langit-langit rumahnya dalam kostum badut lengkap.
Dugaan bahwa Oyen dibunuh, bukan bunuh diri menjadi santer terdengar. Mengingat bahwa Oyen adalah pribadi yang baik hati juga bersemangat, tidak mungkin seputus asa itu menghadapi masalah-masalah yang menderanya.
Tetapi ketika rentenir sadis (Syamsul) yang diduga sebagai otak pembunuhan Oyen justru ditemukan mati mengenaskan, polisi juga warga kampung dibuat bingung. Apalagi, hantu Oyen sering muncul menakut-nakuti anak-anak. Teror hantu Oyen yang bergentayangan membuat kampung itu dilanda kengerian luar biasa.
Sampai di sini sebenarnya saya agak kecewa. Saya mengira bahwa novel ini akan bercerita layaknya kisah detektif dengan Iryanto (ketua RT yang banyak mengambil bagian dalam novel ini) sebagai penguak kebenaran dari ganjilnya kematian Oyen dan peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di kampungnya. Tapi kemunculan hantu Oyen serta keterlibatan dukun membuat cerita ini sedikit patah. Lemahnya Nanang, beserta tim polisinya dalam membongkar kasus ini juga membuat saya gregetan.
Siapa pelaku di balik ini semua sebenarnya sudah saya duga sejak awal. Malah harapan saya, pelakunya ini yang melakukan semua teror yang terjadi di kampung itu, bukan malah arwah Oyen yang gentayangan. Dan bagian epilog itu tidak perlu ada ya sepertinya, karena cukup mengganggu hehe.
Terlepas dari itu semua, saya cukup menikmati membaca novel ini. Apalagi saat itu saya membacanya saat sudah malam dan keadaan rumah sudah sepi. Jadi, saya cukup merasakan suasana mencekam itu.
Dan mengingat novel ini ditulis oleh 3 orang, saya bisa membayangkan betapa ribetnya kalau mereka sampai berselisih pendapat. Walaupun ditulis oleh 3 orang, tapi tidak begitu kentara perbedaan gaya penulisannya, ini yang saya suka. Ditambah, tidak banyak typo yang membuat sakit mata.
Oiya, bahasa yang digunakan juga ringan dan mengalir. Ketiga penulis cukup mahir membuat saya penasaran di tiap babnya. Ini membuat saya sulit melepaskan novel ini karena ingin segera melahapnya sampai habis.
Informasi yang baru saya tahu: menumbalkan kepala kambing jantan berwarna hitam di halaman rumah bisa digunakan sebagai tolak bala. Ini agak ngeri ya.
Yang menjadi pertanyaan saya:
- Di rumah Syamsul, apa tidak ditemukan bukti-bukti penganiayaan serta sidik jari, gitu? Soalnya, saat Syamsul terbunuh, rumahnya pasti dijadikan TKP dan diperiksa kan?
- Martil yang dibawa oleh badut (pada cover) kok nggak ada di dalam cerita? Padahal saya suka banget sama covernya. Mencekamnya dapet!
Quote yang saya suka:
- Ternyata beban hidup yang pelik tidak selalu mampu diatasi dengan tawa. (hal 27)
- Jangan pertanyakan soal lelah karena bila dipikir, duduk pun kadang terasa melelahkan. (hal 36)
Terima kasih untuk mbak Dy Lunaly yang sudah memberikan buku ini sebagai hadiah...
3 bintang untuk novel ini ^^
Dan saya penasaran membaca karya penulis-penulis dari Gramedia Writing Project yang lain: Teater Boneka dan Hujan Daun-Daun.
Sampai di sini sebenarnya saya agak kecewa. Saya mengira bahwa novel ini akan bercerita layaknya kisah detektif dengan Iryanto (ketua RT yang banyak mengambil bagian dalam novel ini) sebagai penguak kebenaran dari ganjilnya kematian Oyen dan peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di kampungnya. Tapi kemunculan hantu Oyen serta keterlibatan dukun membuat cerita ini sedikit patah. Lemahnya Nanang, beserta tim polisinya dalam membongkar kasus ini juga membuat saya gregetan.
Siapa pelaku di balik ini semua sebenarnya sudah saya duga sejak awal. Malah harapan saya, pelakunya ini yang melakukan semua teror yang terjadi di kampung itu, bukan malah arwah Oyen yang gentayangan. Dan bagian epilog itu tidak perlu ada ya sepertinya, karena cukup mengganggu hehe.
Terlepas dari itu semua, saya cukup menikmati membaca novel ini. Apalagi saat itu saya membacanya saat sudah malam dan keadaan rumah sudah sepi. Jadi, saya cukup merasakan suasana mencekam itu.
Dan mengingat novel ini ditulis oleh 3 orang, saya bisa membayangkan betapa ribetnya kalau mereka sampai berselisih pendapat. Walaupun ditulis oleh 3 orang, tapi tidak begitu kentara perbedaan gaya penulisannya, ini yang saya suka. Ditambah, tidak banyak typo yang membuat sakit mata.
Oiya, bahasa yang digunakan juga ringan dan mengalir. Ketiga penulis cukup mahir membuat saya penasaran di tiap babnya. Ini membuat saya sulit melepaskan novel ini karena ingin segera melahapnya sampai habis.
Informasi yang baru saya tahu: menumbalkan kepala kambing jantan berwarna hitam di halaman rumah bisa digunakan sebagai tolak bala. Ini agak ngeri ya.
Yang menjadi pertanyaan saya:
- Di rumah Syamsul, apa tidak ditemukan bukti-bukti penganiayaan serta sidik jari, gitu? Soalnya, saat Syamsul terbunuh, rumahnya pasti dijadikan TKP dan diperiksa kan?
- Martil yang dibawa oleh badut (pada cover) kok nggak ada di dalam cerita? Padahal saya suka banget sama covernya. Mencekamnya dapet!
Quote yang saya suka:
- Ternyata beban hidup yang pelik tidak selalu mampu diatasi dengan tawa. (hal 27)
- Jangan pertanyakan soal lelah karena bila dipikir, duduk pun kadang terasa melelahkan. (hal 36)
Terima kasih untuk mbak Dy Lunaly yang sudah memberikan buku ini sebagai hadiah...
3 bintang untuk novel ini ^^
Dan saya penasaran membaca karya penulis-penulis dari Gramedia Writing Project yang lain: Teater Boneka dan Hujan Daun-Daun.
Post a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D