Cita-Cita di Lubuk Hati

(image source: here)

Hari ini wisuda kelulusanku. Hari di mana aku dapat menambahkan gelar S. A. di belakang namaku dan membuat ibuku tersenyum bangga. Terlebih dengan selempang cumlaude yang tersampir di luar baju togaku. Usaha Ibu membayar mahal kuliahku, di samping kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah adikku yang masih SMA, seolah terbayar sudah. Ku rasa Ayah di surga juga melihatku saat ini.

Seharusnya aku membuat surat lamaran dan CV untuk dikirimkan ke perusahaan-perusahaan. Seharusnya aku berburu informasi lowongan-lowongan kerja dari berbagai media. Namun semua itu tidak kulakukan karena bukan itu yang kuinginkan. 

Tiga tahun aku menjalani masa kuliah yang membosankan. Bergelut dengan angka dan materi akuntansi lainnya. Berjuang untuk mendapatkan nilai terbaik di setiap mata kuliah. Semua itu demi Ibu. Orang yang sangat menghendaki aku memilih jurusan itu.

Ibu tak pernah mengerti bahwa aku ingin menjadi penulis. Ia hanya tahu aku suka sekali membaca.

Padahal aku benar-benar ingin menjadi penulis. Seolah hanya itu tujuan hidupku. Karena itulah, aku memberitahukan padanya bahwa setelah kelulusan ini, aku hanya akan melakukan hal-hal yang kuinginkan. Perdebatan panjang akhirnya terjadi, namun pada akhirnya Ibu memilih mengalah.

***

Pagi pergi, berganti siang. Siang pergi meninggalkan semburat jingga pada langit senja. Kemudian hadirlah malam dengan suara jangkrik yang saling bersahutan.

Pergantian waktu itu hanya menjadi penanda kapan aku harus membuka gorden dan jendela kamarku dan kapan aku harus menutupnya kembali. Karena hari-hari kuhabiskan di dalam kamar. Ke luar hanya ketika lapar, juga mandi karena tak ingin tubuhku dipenuhi daki. 

Laptop menjadi kawanku mengisi hari. Ketika ia menyala dan menghadirkan halaman kosong, kutumpahkan isi kepalaku menjadi berbaris-baris tulisan yang membentuk rangkaian kisah. Indah dan hidup. Menurutku.

Kukumpulkan alamat email tabloid, majalah, juga surat kabar. Kemudian kukirimkan segera tulisan-tulisanku ke sana setelah selesai ku baca ulang dan memastikan tak ada kesalahan ketik maupun lubang pada logika. Begitu percaya diri.

Tak hanya cerpen, bahkan aku berhasil menamatkan sebuah naskah novel. Kupilih sebuah penerbit ternama dan kukirimkan naskah itu setelah kubalut doa. Namun, penantian selama tiga bulan justru berbuah penolakan yang sempat membuatku sakit hati.

Aktivitas seperti ini sudah kujalani kira-kira hampir satu tahun lamanya. Dari sekian puluh judul cerpen yang kukirimkan, hanya ada dua yang lolos masuk dalam majalah remaja. Menjadi penulis ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku belum ingin menyerah. Masih betah berjuang. Karena berjuang untuk sesuatu yang benar-benar diinginkan tak akan menjadikanku lelah atau bosan.

***

"Dini, Ibu ke rumah Bu Saodah dulu, ya," pamit Ibu suatu malam ketika aku sedang membaca buku di dalam kamar.

"Mau ngapain, Bu?"

"Pengajian. Bu Saodah sama suaminya kan mau berangkat haji." 

Setelah malam itu, Ibu terus menggumamkan, kapan ia bisa naik haji. Ibu memang tak pernah membicarakannya langsung denganku. Namun aku dapat menangkap harapan yang menggebu di sorot matanya yang sayu. Bahkan tak jarang aku memergokinya merenung begitu lama sambil menatap gambar besar kakbah yang terbingkai di ruang tamu.

***

"Rapi sekali kamu, Din. Mau ke mana?" tanya Ibu ketika melihatku ke luar dari kamar pagi ini.

Wajar Ibu bertanya. Pukul 07.00 bukanlah jam bangunku biasanya. Apalagi saat ini aku sudah wangi dengan setelan kemeja dan rok span selutut.

"Wawancara kerja, Bu. Doakan Dini, ya." Aku berpamitan dan mencium punggung tangan Ibu.

Maaf ya, Bu. Seharusnya ini kulakukan satu tahun yang lalu. Tak apa ya, Bu. Hari ini aku akan berjuang agar diterima kerja dan segera dapat menyisihkan gaji bulananku untuk tabungan haji Ibu.

Biar saja cita-cita menjadi penulis kupikirkan nanti. Aku tak ingin egois lagi. Karena rupanya penulis yang sedang merintis  tak memiliki penghasilan pasti.

***

*573 kata, belum termasuk judul.
*ditulis untuk diikutsertakan dalam #AttarAndHisMindFirstGiveaway 

Selamat ulang tahun untuk blognya Bang RIga :)

4 komentar

Sama-sama pengen jadi penulis kak :)

-www.fkrimaulana.blogspot.com-

Reply

Dan kamu menyerah.. :) . Jangan pernah menyerah untuk mengejar mimpi. Kadang itu memang menyakitkan

Reply

Bukan menyerah sebenernya. Tapi mengesampingkan. Mimpi itu bisa dikejar sambil jalan. Karena mimpi paling besar tetap membuat ibu bahagia secepatnya.
Dan btw, ini fiksi lho... hehe

Reply

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D