Review: Semusim, dan Semusim lagi


  

Judul : Semusim, dan Semusim lagi
Penulis : Andina Dwifatma
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : 232 halaman
ISBN : 978-979-22-9510-8 




ABSURD!
Mungkin kata itu cukup untuk menilai seperti apa karakter "Aku" di novel ini. Ini unik, karena sepanjang cerita, "Aku" tidak menyebutkan nama dan kota tempat tinggalnya. Seolah itu adalah rahasia yang tidak ingin dibaginya.

"Aku" adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang baru saja menyelesaikan SMA-nya. Ia sangat menyukai sejarah. Lebih tepatnya, ia selalu mempertanyakan bagaimana sebuah benda, peristiwa, atau apapun berasal. Oleh sebab itu, ia ingin melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah. 
Ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatku. Ketika kecil, sering kali berkenalan dengan benda-benda, yang pertama kali kupikirkan adalah, siapa yang menemukan benda ini? Siapa yang pertama kali memberinya nama? (hal 10)
Tidak semua jenderal adalah pahlawan, dan tidak semua pemberontak adalah penjahat berbahaya. PSPB adalah alat penguasa untuk mendisiplinkan otak-otak muda kami sejak dini. (hal 12)
"Aku" hanya tinggal berdua dengan ibunya, seorang perempuan cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah otak. Mereka tinggal serumah, tetapi tidak memiliki kedekatan selayaknya ibu dan anak. Keduanya seperti hidup di dunia yang berbeda, dengan pemikiran masing-masing. 

Datangnya surat dari ayahnya, yang mengundang "Aku" ke Kota S, merupakan awal cerita dari novel ini. Ketika melihat foto seorang pria yang sedang menggendong seorang anak perempuan ("Aku" meyakini itu adalah ayah dan dirinya, meski tidak ingat kapan foto itu diambil), ia tertarik pada rambut gondrong yang dimiliki pria dalam foto tersebut. Itulah salah satu alasan "Aku" akhirnya memutuskan datang.
Aku ingat pernah membaca bagaimana pada tahun 1970-an Indonesia merepresi para pria gondrong. Pangkobkamtib Jenderal Soemitro bahkan bicara di televisi pada 1 Oktober 1973 bahwa menurutnya rambut gondrong menyebabkan pemuda menjadi onverschillig alias tak acuh. (hal 24)
Konon pemerintah saat itu punya sebuah lembaga khusus yang menangani rambut gondrong, namanya Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong atau yang disingkat Bakorperagon, seolah-olah rambut gondrong itu wabah seperti pes atau disentri atau kemiskinan. (hal 25)

J.J. Henri, asisten ayahnya yang menjemputnya di bandara dan mengurus keperluannya selama di rumah peristirahatan ayahnya di Kecamatan G. "Aku" tinggal sendiri di sana selama menunggu ayahnya pulih dari sakit dan keluar dari rumah sakit. Oiya, "Aku" pun tidak ingin menyebut nama ayahnya. Ia menyebutnya dengan Joe.

Aku agak kecewa karena nama ayahku tidak sekeren yang kubayangkan. Aku tidak akan menuliskannya di sini, tetapi percayalah, nama itu tidak cocok untuk pedagang yang senang mengarang dan berambut panjang. Tapi karena aku tetap harus memberinya nama, kupilih Joe. Semua pria hebat dan keren di dunia ini bernama Joe. (hal 58)

Di tempat inilah cerita bergulir. "Aku" bertemu dengan Muara (anak dari J.J. Henri), Oma Jaya (tetangga rumah peristirahatan ayahnya), dan Sobron (ikan mas yang bisa berbicara). Seringnya Muara berkunjung ke rumah, membuat mereka sering bertemu, terlibat obrolan-obrolan cerdas, hingga saling jatuh cinta. Mereka terlibat hubungan diam-diam di belakang J.J. Henri dan kekasih Muara (Ya! Muara sudah mengatakan pada "Aku" bahwa ia memiliki kekasih tetapi "Aku" tidak menganggap itu suatu masalah).

Cerita selanjutnya penuh dengan kejutan yang sayang jika aku tulis di sini. Lebih baik kalian membacanya sendiri. Ending yang disajikan pun tidak bisa dibilang happy ending ataupun sad ending. Yang pasti tidak terduga! 

Mengingat novel ini adalah pemenang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012, aku menaruh harapan besar sebelum membacanya. Dan, aku terpuaskan! Bahkan ada ketidakikhlasan saat akhirnya harus menutup novel ini. Aku masih ingin membaca kisah "Aku" dengan segala pemikirannya. 

Berikut adalah quote dalam novel ini yang aku suka:

- Kurasa begitulah kehidupan. Kita tidak pernah benar-benar kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimiliki, kecuali kalau kita membandingkan situasi dengan orang lain dan jadi merasa merana sendiri karenanya. (hal 20)
- Satu hal paling lucu tentang orang dewasa adalah kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang kaukatakan, selama kau bicara dengan gaya teramat meyakinkan. (hal 42)
- Ada perbedaan mendasar antara hebat dan keren. Misalnya tempatkan pria hebat dan pria keren dalam satu ruangan dan minta mereka menjelaskan tentang teori Relativitas. Pria hebat akan bicara panjang lebar tentang ekuivalensi energi dan massa di mana e sama m kali c kuadrat, dan meski semua penjelasannya itu benar belaka, kau akan mengantuk dibuatnya. Pria keren akan menjelaskan hal yang sama karena ia tahu sama banyaknya dengan pria hebat, tetapi dengan penuh gaya. Ia akan bicara dengan caranya sendiri, dan kau akan memperhatikannya tanpa bisa mengalihkan mata. Kemudian ketika ia selesai, kau akan merasa ia baru bicara selama lima setengah menit meski sesungguhnya ia sudah bicara selama lima ratus dua puluh tahun. (hal 58-59)
- Kurasa itulah yang membedakan senja dengan 'semua hal di dunia ini'. Amatlah mudah berpisah dengan sesuatu yang kautahu akan kembali lagi keesokan harinya. Tetapi di dunia nyata, setiap hal yang kaulepaskan akan pergi darimu tanpa pernah kembali lagi. (hal 59)
- Seorang manusia tidak boleh protes dalam keadaan paling menyedihkan sekali pun, jika setidaknya satu dari sekian banyak keinginannya masih bisa terwujud. (hal 72)
- Aku selalu berpendapat ketika mendengar sebuah pesan, simaklah isi pesannya, bukan siapa yang menyampaikan. Itu akan membantu kita lebih objektif. Seperti membersihkan kacamata dari debu yang tidak perlu. (hal 99)
- Seperti anak anjing mengejar ekornya sendiri, manusia selalu berputar-putar, mencari jawaban dari berbagai pertanyaannya. Karena sibuk mencari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri. (hal 102)
- Atas nama demokrasi, pura-puranya setiap orang dapat bebas mengemukakan gagasan. Tapi, jika gagasanmu tak sesuai harapan orang, maka kau bersalah. (hal 187)
- Pernah kudengar, kewarasan adalah fiksi yang sempurna. (hal 197)
- Rasa iba dari orang lain adalah bahan bakar paling ampuh untuk membuatmu cepat mati. (hal 211)

Bagian-bagian yang ingin kusimpan sebagai catatan: 

- Murakami pernah bilang begini dalam novel Hear The Wind Sing: dua hal yang tidak seharusnya ada dalam cerita adalah kematian dan hubungan seks, sebab cepat atau lambat orang pasti mati, dan pria akan tidur dengan wanita. Tidak ada gunanya menulis sesuatu yang niscaya. (hal 93)
- Wittgenstein pernah berkata, alangkah baiknya jika setiap kita membeli buku, kita juga bisa sekalian membeli waktu untuk membacanya. (hal 137)
- A casual stroll through the lunatic asylum shows that faith doesn't prove anything. Friedrich Nietzsche. (hal 190)

Aku harus berterima kasih pada Andina Dwifatma, karena telah melahirkan novel Semusim, dan Semusim lagi. Banyak pelajaran yang bisa aku petik dari sana. Ia mampu mengalirkan kecerdasannya hingga bisa menyentuh orang lain yang membaca novel ini, termasuk aku.

Aku memberi novel Semusim, dan Semusim lagi 4 dari 5 bintang yang aku punya ^^

Untuk kalian peminat kisah absurd, aku rekomendasikan untuk membaca novel ini.

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D