“Tanggal berapa sekarang?”
“Entahlah. Kau pikir aku memiliki kalender? Sekalipun memilikinya, kau pikir aku bisa membaca tanggal?”
“Halah, apa sih yang kau bisa?”
Aku tertawa. Ledekan seperti itu sudah biasa ia lontarkan untukku. Aku tidak pernah tersinggung karenanya. Lagipula, hal itu benar. Jelas saja aku tidak bisa membaca. Aku tidak pernah merasakan bangku sekolah seumur hidupku. Seumur hidup? Memangnya sudah berapa lama aku hidup? Dalam hati kutertawakan diriku sendiri.
“Mengapa kau menanyakan tanggal hari ini? Bukankah semua hari sama saja?” tanyaku penasaran.
“Aku hanya merasa nanti malam akan ada acara besar di Jalan Pahlawan sana.”
Tempat tinggal kami memang tidak jauh dari pusat keramaian Kota Semarang, yaitu Jalan Pahlawan Semarang tepatnya. Dan sepertinya apa yang ia katakan kemungkinan besar benar terjadi. Saat matahari baru sedikit bergerak ke arah barat saja, sudah terlihat banyak orang berlalu-lalang di jalan itu. Dan lagi, yang banyak terlihat oleh kami adalah orang-orang yang berjajar menunggu dagangan mereka yang berupa benda-benda berbentuk corong dengan rumbai di sana-sini yang jika dimasukkan ke dalam mulut akan mengeluarkan bunyi “Preeet... Preeet...” Entahlah apa namanya itu. Selain itu, juga ada topi-topi berbentuk kerucut yang juga menjadi dagangan mereka.
Kita harus ke sana nanti malam. Aku ingin menyaksikan keramaian seperti apa yang akan terjadi. Kau pasti juga tidak akan melewatkannya bukan?” ajak sahabatku menggebu-gebu.
“Kau tidak ingat apa yang dikatakan oleh orangtua kita? Hindari keramaian jika tidak ingin celaka!” Seperti bicara pada batu, percuma membelokkan pikirannya. Aku sudah lama mengenalnya, sehingga paham betul bagaimana ketika ia memiliki keinginan. Ia tidak akan berhenti sebelum mencapainya.
Sekarang ia memasang wajah memelas di hadapanku yang membuatku tidak tahan menahan tawa. “Baiklah, baiklah. Kita ke sana nanti malam.” Akhirnya aku luluh juga. Lagipula kupikir tidak ada salahnya mencoba hal baru. Toh sebenarnya aku juga penasaran. Malam ini pasti akan menjadi pengalaman menarik untukku dan sahabatku. Asalkan kami berhati-hati, sesuatu yang buruk tidak akan terjadi.
“Tapi bagaimana kita bisa pergi ke sana tanpa ketahuan?” Tiba-tiba aku menyadari masalah baru untuk rencana kami.
“Ah gampang, kita bilang saja, bahwa kita akan mencari makan, seperti biasanya. Toh itu bukan kebohongan.” Benar kata sahabatku, kami memang terbiasa mencari makan pada malam hari. Karena akan lebih leluasa untuk mendapatkannya. Dan yang paling penting, menghindari keramaian. Hal seperti ini sudah diwanti-wantikan oleh orangtua kami sejak kami kecil. Dan hal ini selalu kami turuti sampai sekarang. Jadi, untuk kali ini bolehlah kami sedikit melenceng dari aturan. Kami akan berjanji pada diri sendiri untuk tetap berhati-hati.
“Pintar juga kau! Itu memang bukan kebohongan, hanya tidak menceritakan secara keseluruhan.”
***
Di rumah masing-masing, kami menanti matahari semakin bergerak ke arah barat. Menyisakan pendar jingga di langit sana. Pelan tapi pasti gelap menggantikan jingga. Pertanda malam sudah tiba.
“Carilah banyak makanan dan makanlah sampai kau kenyang. Ingat, jangan pergi terlalu jauh dan hindari keramaian. Bahkan jika satu-dua orang terlihat mengancam, segera lari! Tidak perlu kau uji kehebatanmu dengan menyerang mereka! Tidak perlu membuktikan bahwa gigitanmu sekuat baja!”
Seperti biasa, sebelum pergi keluar rumah, ibu pasti memberikan peringatan untukku agar berhati-hati di jalan. Sampai-sampai jika aku harus mengulang apa yang dikatakannya, aku dapat mengatakannya dengan sangat lancar, karena ia selalu mengulangnya setiap hari. Tetapi kali ini aku memutuskan untuk diam saja dan mendengarkan, agar tidak memancing kecurigaan ibu yang bisa jadi memunculkan rentetan pertanyaan setelahnya. Aku tidak ingin direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan itu karena ingin segera pergi.
Setelah selesai mendengar peringatan dari ibu, dan juga berpamitan dengan ayah, aku segera menghampiri rumah sahabatku yang tidak jauh dari rumahku. Kami siap dengan petualangan baru malam ini.
“Kau harus berjanji padaku, kita tidak akan pergi terlalu jauh dan sebisa mungkin tidak terlalu dekat dengan keramaian, oke?” pintaku padanya saat kami berjalan bersisihan menuju tempat Jalan Pahlawan. Sebenarnya aku hanya menyampaikan kembali peringatan ibuku padanya.
“Kau ini laki-laki kan? Mengapa harus mencemaskan banyak hal? Ini hanya keramaian, bukan perang. Apa sih yang kau takutkan?” Lagi-lagi ia meledekku.
Tetapi benar apa katanya. Apa yang harus aku cemaskan? Ketakutanku sepertinya berlebihan. Seharusnya aku bersuka ria seperti dirinya. Baiklah, sebaiknya kuteguhkan minatku pada rencana malam ini. Aku hanya akan membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan kami alami nanti.
“Wow, ini menakjubkan! Apa kubilang, malam ini pasti sangat menyenangkan.” Sahabatku langsung berdecak kagum melihat banyaknya orang dan kemeriahan yang mereka ciptakan begitu kami tiba di Jalan Pahlawan. Begitu pun aku. Belum pernah kulihat orang-orang sebanyak ini yang sedang berkumpul. Suara mereka yang saling bertumpuk terdengar sampai ke telingaku. Padahal jarak kami masih jauh.
“Ayo cepat!”
“Tunggu!” Aku menyusul sahabatku yang sudah lebih dulu berlari mendekat ke arah keramaian. Sungguh ia tidak bisa bersabar sedikit saja.
Kami berhenti di pinggir selokan besar di samping Jalan Pahlawan. Kami dapatkan tempat yang tidak terlalu diperhatikan oleh orang-orang. Apalagi ditambah gelapnya tempat itu. Kehadiran kami pasti tidak akan menarik perhatian.
Tetapi baru saja kami berhenti, sahabatku sudah berlari lagi.
“Hei kau mau kemana?” teriakku padanya yang semakin menjauh.
“Lihat!” Ia menunjuk kacang rebus dalam kantong kertas berbentuk kerucut yang tergeletak di jalan. Kantong berisi kacang rebus tersebut sudah pasti ditinggal oleh pemiliknya, karena di dekatnya sudah tidak ada orang lagi.
Tanpa berpikir panjang, kami memakan kacang rebus itu dengan rakus. Semacam tidak pernah makan selama seminggu saja. Tapi ini memang sudah kami rencanakan. Kami sengaja tidak makan apapun di rumah karena menurut prediksi sahabatku ini, di sini kami akan menemukan banyak makanan. Lagi-lagi prediksinya tepat.
“Sudah! Jangan terlalu kenyang, nanti kau tidak bisa mencoba makanan lain!” Belum juga semua kacang itu kami habiskan, sahabatku mengajakku ke dekat selokan lagi – tempat awal kami tadi. Aku menurut saja. Kata-kata ‘makanan lain’ menggodaku. Mungkin saja kami akan menemukan makanan yang belum pernah kami coba sebelumnya.
Di tempat persembunyian ini, kami dapat mengamati dengan jelas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di keramaian sana.
“Mengapa dari tadi aku tidak melihat benda bermesin lewat ya?” tanyaku penasaran.
“Oh, kendaraan maksudmu? Iya juga sih. Semua orang berjalan kaki. Bukankah selama ini mereka menggunakan kendaraan saat melintasi jalan ini?” Ternyata sahabatku sama tidak mengertinya denganku.
Tetapi kemudian ia melanjutkan, “atau mungkin mereka meletakkannya di suatu tempat, karena malam ini di jalan ini khusus untuk mereka yang berjalan kaki.”
Aku mengangguk-angguk. Penjelasannya masuk akal juga.
“Atau jalan ini sengaja ditutup dari kendaraan, khusus untuk acara malam ini.” Aku mencoba memberikan kesimpulan lain. Kali ini sahabatku yang mengangguk-angguk membenarkan.
“Aku bosan. Bagaimana jika kita berjalan ke arah sana?” Sahabatku menunjuk tempat lain yang jauh di sana.
“Tapi itu terlalu jauh.” Aku mulai cemas.
“Ayolah, kan hanya malam ini saja. Lihat! Orang-orang berjalan ke arah sana. Kau mau lihat apa di sini? Sudah mulai sepi begini.” Aku melihat sekeliling. Hanya tersisa beberapa orang yang duduk-duduk sambil mengobrol di sepanjang jalan. Beberapa dari mereka sedang menikmati minuman di gelas plastik yang dijual oleh seorang ibu dengan gerobak kecil yang berisi minuman-minuman kemasan sachet yang bergelantungan di dalamnya dan sebuah termos berisi air panas.
Di satu sisi aku mulai takut, tapi di sisi lain aku pun sama penasarannya dengan sahabatku ini. Akhirnya lagi-lagi aku mengikuti saja kemauan sahabatku. Kami berjalan ke arah tempat yang ditunjuknya, yang kemudian ku tahu bernama Simpang Lima. Nama itu kudengar dari percakapan orang-orang yang sama-sama berjalan ke arah sana.
Tiba-tiba aku bergidik ngeri saat melihat gerombolan orang di pinggir jalan yang di leher mereka dililit ular-ular phyton besar. Bahkan beberapa anak kecil pun tanpa rasa takut ikut melakukannya. Iguana dan biawak juga disayang-sayang selayaknya hewan yang menggemaskan. Aku dibuat lari terbirit-birit saat salah satu dari ular phyton tersebut melihat ke arahku dan mulai turun dari leher orang yang ia lilit. Sebelum nyawaku benar-benar terancam, lebih baik aku lari menjauh.
“Kenapa kau lari meninggalkanku?” protes sahabatku saat berhasil menyusulku.
“Kau tidak lihat ular, iguana, dan biawak tadi?” Ekspresi ngeriku sudah tidak dapat kusembunyikan lagi. Tetapi apa yang kudapat? Sahabatku justru tertawa mendengar jawabanku. Aku tidak merasa ada hal yang lucu.
“Ya, aku melihatnya. Hewan-hewan itu sepertinya jinak. Lagipula orang-orang yang berada di sana tadi pastilah pecinta reptil. Jadi mereka dapat menjaga hewan-hewan mereka dengan baik.”
“Sejinak apapun mereka, tetap saja menyeramkan! Bagaimana jika tiba-tiba mereka merasa lapar? Jika kita lengah, kita bisa dimakannya.” Aku masih tidak habis pikir dengan pola pikir sahabatku ini. Ia begitu santai menanggapi ketakutanku, yang seharusnya menjadi ketakutannya juga.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Toh kita sudah jauh dari mereka. Ketakutanku sangat berlebihan.”
Kemudian kami memutuskan beristirahat di pinggir selokan. Masih di Jalan Pahlawan. Ya! Selokan besar memang berada di sisi kanan dan kiri di sepanjang Jalan Pahlawan Semarang sampai ke Simpang Lima.
Kali ini akulah yang pertama kali mencium bau makanan. Ku lihat sesuatu yang kuyakini bahwa itu makanan lezat, tergeletak begitu saja di jalan. Entah apa itu namanya. Setangkup roti dengan sayuran berwarna hijau dan merah di dalamnya. Aku juga melihat selembar daging tipis menyembul di antara sayuran. Liurku sempat menetes saat membayangkan alangkah lezatnya makanan itu.
Tetapi ternyata aku harus menelan kecewa. Saat tubuhku sudah hampir mencapai makanan yang tinggal separuh itu, saat hidungku sudah sangat dekat mencium bau sedap dari makanan itu, seseorang menatap jijik padaku, kemudian mengusirku. Yang ia lakukan kemudian adalah memungut makanan incaranku dan membuangnya ke tempat sampah. Apa bedanya dengan kumakan? Sama-sama habis kan? Tidak bisakah orang itu sedikit berbaik hati padaku? Ingin rasanya bergerak cepat ke tempat sampah itu untuk mengambil makanan incaranku.
Sahabatku berhasil mencegahku melakukannya. Katanya, sehari-hari kami selalu mencari makanan di tempat sampah. Seharusnya malam ini kami bersenang-senang dengan makanan separuh bersih. Paling tidak yang tergeletak di jalan. Menikmati makanan dengan level yang lebih tinggi, katanya. Ada-ada saja dia.
Saat kembali mengamati keadaan sekitar, aku melihat sepasang muda-mudi yang sedang mengobrol sambil berpegangan tangan di seberang jalan. Muncul ide isengku untuk menggoda sahabatku.
“Kau tidak iri dengan mereka?”
“Mereka? Siapa?” Sahabatku tampak bingung, tidak mengerti apa yang aku maksud. Ia celingukan mencari objek yang sekiranya menunjukkan maksudku.
Geli melihat ia masih tidak juga paham, aku menunjuk sepasang muda-mudi yang sebelumnya aku perhatikan. Sahabatku langsung merengut kesal.
“Kau tidak mengajaknya dalam petualangan kita malam ini? Siapa tahu kalian bisa lebih dekat.” Yang aku maksud adalah perempuan yang disukai sahabatku. Ya! Aku lebih senang menyebutnya perempuan yang disukai sahabatku, karena yang kutahu mereka tidak pernah menyatakan menjadi sepasang kekasih atau semacamnya.
Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin sahabatku mengajak perempuan yang ia sukai itu. Aku hanya ingin menggodanya saja. Lagipula tidak seru jika petualangan pertama kami malam ini harus diikuti oleh seorang perempuan.
“Ia bilang malam ini sudah memiliki rencana sendiri.”
“Ah, gaya sekali dia! Berarti kau sudah mengajaknya? Tanpa memberitahuku terlebih dulu?” Sekarang giliran aku yang kesal.
“Salah ya? Aku pikir kau akan setuju saja.”
“Sudah sudah. Jangan membahas dia!” Niat awalku menggoda sahabatku, malah aku yang akhirnya kesal sendiri. Lebih baik pembicaraan seperti ini dihentikan saja. Sahabatku hanya tertawa melihat tingkah lakuku yang seperti anak-anak jika sedang kesal.
SYUUUUUUT DUAR! DUAR! DUAR!
Kami terlonjak kaget ketika mendengar suara-suara bising yang disusul dengan kilatan-kilatan kerlip yang seperti menyembur dan tersebar di langit. Kilatan selanjutnya saling menyusul dan membuat langit gelap menjadi meriah. Bagi kami yang tidak bisa membedakan warna ini, percikan-percikan kerlip itu tetap saja indah. Apalagi kami belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya.
Orang-orang bersorak-sorai. Ditambah bunyi-bunyian ‘PRET PREEET’ yang berasal dari benda berbentuk corong yang ditiup serempak. Banyak juga orang yang memegang kawat lurus dengan percikan-percikan kerlip yang sama seperti yang berada di langit sana, hanya saja ini lebih kecil. Mereka memutar-mutarnya di udara sampai percikan kerlip itu benar-benar mati.
Suasana menjadi semakin ramai. Aku mendengar banyak tawa gembira. Bahkan beberapa dari mereka meloncat-loncat seperti hendak menggapai percikan kerlip di langit. Ini membuat kami bergerak semakin mundur, lebih dekat dengan selokan yang gelap, agar tidak terlalu mencolok di antara keramaian yang ditimbulkan orang-orang.
Kami memandang takjub keindahan di langit yang tadi sempat membuat jantung kami hampir lepas. Malam ini benar-benar tidak terlupakan. Aku akan sangat menyesal jikalau tadi menolak ajakan sahabatku untuk datang ke sini. Ketakutan-ketakutan yang sedari awal menghantuiku perlahan sirna, digantikan oleh rasa senang yang tidak terkira.
“Sepertinya sudah cukup malam ini.” Aku berniat mengajak sahabatku pulang setelah kerlap kerlip di langit semakin lama semakin berkurang jumlahnya.
"Tunggulah sebentar lagi.” Sahabatku masih saja memohon untuk tetap tinggal lebih lama di sini.
“Apa lagi yang akan kau tunggu? Kemeriahan sudah selesai. Orang-orang saja sudah mulai bubar. Kita juga sebaiknya segera pulang.”
“Justru itu! Akan banyak makanan tergeletak yang bisa kita temukan. Kita dapat memakannya dengan tenang tanpa diusir seperti yang kau alami tadi.”
Menurutku itu ide yang bagus. Setelah kacang rebus yang hanya beberapa butir itu, perutku minta diisi lagi. Aku ingin perutku penuh saat pulang nanti. Agar orangtuaku di rumah tidak curiga karena alasanku pergi adalah mencari makan. Akan sangat mencurigakan jika aku pulang dalam keadaan masih lapar setelah pergi dalam waktu selama ini.
“Baiklah, kita menunggu sambil berjalan pulang. Perlahan-lahan saja sambil mencari makanan.” Aku membuat keputusan.
Kami berjalan perlahan sembari menunggu keramaian yang mulai terurai. Benar saja, kami melihat banyak makanan yang tergeletak begitu saja di jalanan. Kami memulai sebuah tempat di sebelah gerobak dengan pemiliknya yang sedang mencuci mangkuk-mangkuk kotornya. Beberapa bulatan berwarna abu-abu dengan urat yang menonjol, tergeletak tak jauh dari gerobak. Mungkin jatuh saat ada yang akan memakannya. Itu menjadi rejeki kami sekarang. Ah, lezatnya...
Kemudian aku melihat lagi setangkup roti dengan sayuran dan selapis daging seperti yang sebelumnya aku lihat. Tanpa pikir panjang, aku berlari menghampirinya. Sahabatku mengikutiku di belakang. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri untuk berjaga-jaga, kami langsung menyantap habis makanan yang tinggal secuil itu.
Kami terduduk kekenyangan di dekat gelapnya selokan. Perut kami sudah benar-benar penuh sekarang. Yang paling penting, kami puas dengan petualangan malam ini. Petualangan yang tidak akan kami lupakan seumur hidup. Kami akan menceritakan pada teman-teman nanti sesampainya di rumah. Pasti mereka akan iri mendengarnya dan ingin mengalaminya sendiri.
Sepintas aku melihat perempuan yang kami kenal melintas di seberang jalan. Tepatnya di semak-semak yang tumbuh di pembatas jalan yang memisahkan jalur kanan dan kiri Jalan Pahlawan. Kuperhatikan ia dengan seksama. Ternyata itu adalah perempuan yang disukai oleh sahabatku. Perut gembulnya tidak bisa menipu mataku. Ia berhenti di antara semak-semak, yang kemudian ia korek-korek. Seperti mencari sesuatu, mungkin makanan, seperti yang biasa kami lakukan. Aku menyenggol sahabatku untuk memberitahu apa yang sedang kulihat.
Sahabatku yang melihat perempuan yang disukainya sedang mengorek di antara semak-semak terlihat tidak tega. Terlepas bahwa sebenarnya perempuan yang disukainya telah berbohong padanya. Ternyata acara yang ia maksud adalah berkeliling di sini malam ini, sama seperti yang aku dan sahabatku lakukan.
Ia sontak berlari ke arahnya. Mungkin ingin mempertanyakan pada perempuan yang disukainya itu mengapa menolak ajakannya ke tempat ini, sedangkan ia sendiri sebenarnya telah berencana pergi ke tempat yang sama.
Aku memilih untuk tidak ikut bersamanya. Untuk apa berada di dekat mereka jika hanya untuk melihat mereka bermesraan. Lebih baik aku menunggu di sini saja. Walaupun tidak kupungkiri, aku tetap memperhatikan gerak-gerik mereka.
Aku tidak dapat melihat mereka dengan jelas, tapi dapat kuperkirakan bahwa sepertinya mereka sedikit bersitegang. Yang membuatku heran adalah sejurus kemudian mereka sudah saling mendekat dan berpelukan. Sebegitu cepatkah? Ah urusan percintaan memang tidak mudah dipahami. Apa karena aku belum pernah mengalaminya sendiri ya? Ah, entahlah. Aku tidak mau ambil pusing oleh urusan percintaan seperti itu. mengurus diriku sendiri saja aku masih sangat kerepotan, apalagi jika aku menyukai perempuan. Bagaimana aku harus mengurusnya? Kugelengkan kepalaku keras-keras untuk menghilangkan hal-hal yang mengacaukan pikiranku saat ini.
Aku kembali fokus pada sahabatku dan perempuan yang disukainya. Kulihat mereka berjalan semakin menjauh dari pandanganku sambil melihat ke sana ke mari. Mungkin mencari makanan yang tergeletak di jalan. Sahabatku tak akan membiarkan perempuan yang disukainya kelaparan. Aku rasa penantianku ini akan panjang. Mengingat mereka pastilah tidak hanya mencari makan. Bercanda dan mengobrol di jalan tidak akan mereka lewatkan. Aku tinggal berharap saja, sahabatku tidak akan melupakanku yang menunggunya di sini.
Setelah sekian lama menunggu, sampai aku merasa sangat bosan, akhirnya kulihat mereka di kejauhan. Semakin lama mereka semakin dekat. Ini membuatku lega. Berarti setelah ini aku dapat pulang dan beristirahat di rumah. Aku sudah sangat lelah.
Aku memberinya kode untuk cepat berlari ke arahku. Ia menurut. Di belakangnya, perempuan yang disukainya tampak bersusah payah berusaha mengikuti langkah sahabatku yang panjang-panjang. Apalagi perut gembulnya yang memantul saat ia berlari. Hal itu semakin memperlambatnya.
Aku berteriak histeris saat ia dan perempuan yang disukainya melintasi jalan raya untuk menuju tempatku berdiri. mereka menyeberang jalan begitu saja tanpa melihat ke sekeliling terlebih dahulu. Sebuah kendaraan polisi yang melaju kencang melindas tubuh sahabatku dan juga perempuan yang disukainya. Aku terperanjat di tempatku berdiri. Tidak mampu bergerak mendekati tubuh mereka yang telah hancur dan terbujur kaku. Tidak hanya darah yang ada di sekeliling tubuh mereka, organ-organ dalam mereka pun tampak mencuat keluar. Aku tak kuasa melihat keadaan seperti itu.
Polisi itu menghentikan kendaraan roda duanya. Kemudian menghampiri tubuh hancur sahabatku dan perempuan yang disukainya.
“Oalah, cuma tikus. Hahaha, hebat juga motorku, sekali lindas langsung dapat dua.” Dengan sepatunya yang masih melekat di kaki, polisi itu menyingkirkan tubuh sahabatku dan perempuan yang disukainya secara bergantian ke pinggir jalan. Tubuh sahabatku dan perempuan yang disukainya yang sudah hancur semakin terlihat tidak keruan.
Aku bergerak mundur agar tidak terlihat oleh polisi itu. Tetapi tetap kuperhatikan tubuh keduanya. Hampir saja aku mual karena menahan sesak di dada melihat sahabatku diperlakukan seperti sampah. Aku tidak tega melihat keadaan mereka.
“Pak... pak... tolong ini diambil terus dibuang ke tempat sampah ya. Kalau sampai terlindas kendaraan lain, jalanan bisa kotor,” instruksi polisi tersebut pada seseorang berseragam petugas kebersihan.
“Nanti saya kubur saja pak, kalau hanya dibuang di tempat sampah, takutnya akan menyebarkan penyakit,” jawab petugas kebersihan itu.
“Baiklah. Terserah bapak saja bagaimana baiknya. Tikus-tikus ini tubuhnya hancur di jalan situ, tolong jalannya dibersihkan sekalian,” lanjut polisi itu memberikan perintah tambahan sambil membersihkan sepatunya yang belepotan darah sahabatku dan juga perempuan yang disukainya dengan plastik bekas yang ia pungut di sekitar situ.
Tubuh sahabatku dan perempuan yang disukainya kemudian diangkat oleh petugas kebersihan itu dengan ekor terlebih dahulu. Kemudian ia melemparkan mereka begitu saja ke dalam gerobak sampah. Aku tidak mampu menyelamatkan mereka. Bahkan aku tidak sanggup untuk bergerak mendekati mereka hanya sekedar untuk mengucapkan selamat tinggal.
Petugas kebersihan dan gerobaknya semakin lama semakin jauh dari pandanganku. Secepat kilat aku berlari pulang. Sudah tidak terpikir olehku bagaimana aku harus menjelaskan kejadian ini pada orangtua sahabatku dan orangtua perempuan yang disukai oleh sahabatku.
Aku bersumpah tidak akan pernah kembali ke tempat itu.
4 komentar
ah. udah kuduga pasti mereka tikus.
Replymembaca cerpen ini membuatku teringat sebuah novel tentang petualangan babi. ada kejadian seperti ini juga, di pasar malam.
keren cerpennya.
panjangan dikit lagi jadiin naskah kirim ke penerbit trdkt.. siapa tau rejeki ditanganmu jadilah novel :)
Replykunjungan balik ya
http://www.fikrias.com/2014/01/nyunyucom-yang-penting-gak-penting.html
wah, ketebak ya? hehe
Replynovel siapa tuh? cari tahu ah, mau baca juga. makasih lho buat infonya.
makasih juga uda dibilang keren *melayang*
Terima kasih ya atas sarannya :)
ReplyOke, meluncuuur...
Post a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D