Melampiaskan Kekesalan

"Anjing! Di saat kayak gini, printer malah nggak bisa dipakai.” Beni menggebrak printer di hadapannya. Ia sangat kesal dengan benda itu. Di saat harus segera mencetak bagian skripsinya, printer itu malah ngadat dan tidak bisa mengeluarkan tinta. Padahal jelas-jelas tintanya baru saja diisi ulang.

Salah Beni juga sebenarnya. Mengapa bangun kesiangan. Sudah tahu janjian pukul 10 pagi dengan dosen pembimbing. Tapi baru bangun pukul 9. Itupun belum mencetak hasil revisi skripsi yang sudah ia kerjakan semalam.

Sudah tahu dosen pembimbingnya itu sangat on time. Tiada ampun untuk mahasiswa yang melanggar waktu perjanjian. Bimbingannya akan ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Sampai dosen tersebut benar-benar hilang kekesalannya.

Tania yang baru datang terdiam cukup lama di depan pintu kamar kos Beni. Suara benda-benda yang dibanting membuatnya tercengang dan menimbang-nimbang apakah akan masuk ke dalam atau tidak.

Tania memutuskan masuk. Ia mendapati Beni yang dengan tampang masih berantakan sedang duduk mengutak-atik printer. Wajahnya menyeramkan. Seperti tertulis “Jangan ganggu aku!” di jidatnya.

“Makan dulu Ben. Aku bawain ketoprak nih. Tadi beli di tempat biasa. Sarapan bareng yuk,” ajak Tania lembut.

Beni diam saja. Ia masih sibuk dengan printer ngadatnya. Sesekali menggebrak printer itu. 

Memangnya printer akan beres begitu digebrak. Malah tambah rusak, iya. Begitu pikir Tania. Ia kemudian menghampiri Beni. Menarik lengannya. Bermaksud mengajaknya sarapan dulu.

“Sebentar! Nggak lihat apa aku lagi ngapain?!” bentak Beni pada Tania. Dihempaskannya tangan Tania dengan kasar.

Tania pergi begitu saja meninggalkan Beni.

***

“Kok diem?”

“Nggak boleh?”

“Maaf deh tadi aku sempet bentak kamu. Soalnya keadaannya lagi darurat banget. Revisian skripsi itu harus segera aku cetak. Sedangkan printernya tiba-tiba ngadat. Padahal aku harus ketemu dosen saat itu juga. Aku bangun kesiangan.”

“Salahku kalau printernya ngadat? Salahku juga kalau kamu bangun kesiangan?”

“Ya bukan. Udahlah sayang, jangan ngambek terus ya,” bujuk Beni lembut.

“Udahlah sayang... Kita udahan aja ya,” jawab Tania menirukan nada bicara Beni.

“Kenapa?”

“Kenapa? Harusnya aku yang tanya kenapa. Kenapa kamu selalu melampiaskan kekesalan sama apa yang lagi ada di dekatmu?”

“Maksudnya?”

“Jadi kamu nggak sadar? Inget nggak, uda berapa kali kamu bentak aku ketika sesuatu yang kamu hadapi sedang berjalan tidak sebagaimana mestinya? Bersikaplah sedikit lebih bijak. Manusia saja pasti pernah melakukan kesalahan. Bagaimana dengan barang yang jelas-jelas buatan manusia. Rusak adalah hal biasa. Kamu harus memakluminya. Jangan hanya menyuruh orang lain maklum ketika kamu sedang marah-marah!”

“Tapi kan....” belum sempat Beni menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi kan aku uda nggak sanggup jadi tempatmu melampiaskan kemarahan. Beri tahu aku kalau kamu sudah berhasil menetralkan emosimu di saat terdesak. Saat itu mungkin aku bisa berpikir ulang apakah akan kembali padamu atau tidak.”

Tania berjalan meninggalkan Beni.

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D