Ngabuburit Rutin

Bola itu bergulir, berpindah dari kaki satu ke kaki yang lain. Terkadang seorang anak laki-laki yang tampaknya kapten tim itu ribut sekali ketika temannya tidak bisa menerima operan bola darinya, sehingga membuat bola berpindah ke kaki lawan.

Aku tersenyum melihat kelincahan mereka memainkan bola. Sesekali aku tertawa geli ketika kapten berteriak kesal jika temannya gagal menciptakan gol. Lapangan menjadi ramai dengan adanya mereka.

Mengatur teman-teman sekaligus mengatur pola serangan adalah keahlianku. Aku adalah kapten seperti anak di tengah lapangan itu. Tapi itu dulu, 8 tahun yang lalu. Ketika usiaku 10 tahun.

Aku akan bermain sampai bedug maghrib bergema dari masjid di dekat rumahku. Sampai mama berteriak dari depan gang untuk menyuruhku segera pulang dan berbuka puasa. Sampai teman-temanku yang lain berhamburan menuju rumahnya masing-masing. Lalu aku pun segera berlari pulang dan menyerbu meja makan mencari es buah atau kolak pisang buatan mama.

Saat ini aku hanya menjadi penonton. Menyaksikan kehidupan selain kehidupanku. Pada bulan Ramadhan setiap tahunnya, seminggu sekali aku akan datang ke lapangan ini. Mengenang cerita masa kecilku yang penuh dengan keceriaan.

Begitu bedug maghrib bergema, aku berlari menuju rumahku. Membuka tajil yang aku beli tadi di jalan dan memakannya di depan rumah yang menyisakan puing-puing kebakaran 7 tahun lalu. Kebakaran yang menghabiskan seluruh isi rumahku dan membuatku berpisah dengan  mama selamanya.

Bukan! Aku tidak sedang meratapi kesedihan. Aku hanya ingin mengenang. Toh untuk apa terus bersedih? Kesedihan tak membuatku bertemu mama. Kesedihan tak membuat rumahku kembali seperti semula. Kesedihan hanya membuatku jatuh lebih dalam.

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D