Meratapi Kematian Sheri

(image source: here)

"Aku menyukai topi." Itu yang dikatakan Danu sebelum membunuh Sheri, pacarnya. Cengkeraman tangannya di leher Sheri terlalu kuat untuk ditepis. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ketika tubuh Sheri yang semula bersusah payah memberontak akhirnya terkulai lemas dan jatuh ke lantai.

Bergegas aku berlari ke dalam kamarku dan menguncinya, sebelum Danu menyadari keberadaanku di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Napasku terengah-engah dan jantungku berpacu cepat.

Sejak Danu lulus kuliah dan memutuskan untuk berbisnis topi, mereka menjadi lebih sering bertengkar. Sheri menyebut Danu bodoh karena menolak tawaran ayahnya yang menyediakan posisi penting di perusahaan. Seluruh penghuni indekos ini tahu bahwa pertengkaran itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi bukan berarti Danu berhak mengakhiri hidup Sheri karena kekesalannya.

Aku memerhatikan pantulan laki-laki pengecut melalui cermin di hadapanku. Ku remas rambutku dengan kedua tangan dan jatuh terduduk. Air mataku tertahan di pelupuk mata. Emosi begitu menggebu menguasai hatiku. 

"Seharusnya aku masih bisa mencegahnya. Seharusnya aku masuk saja. Mungkin Sheri tidak akan mati." Aku sungguh menyesali sikapku tadi. Mengapa aku hanya bisa berdiri mematung tanpa melakukan apapun. Kakiku seolah terkunci di tempat dan bibirku menutup erat.

Ketukan di pintu membuatku terperanjat. Jika itu adalah Danu, maka ia tidak boleh tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya.

Ku basuh wajahku dan memastikan tak ada ekspresi mencurigakan sebelum akhirnya aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ku tekan deretan gigi atas dan bawahku hingga terasa ngilu ketika mendapati pembunuh Sheri berdiri di depan pintu kamarku. 

"Hei, Dan! Ada apa?" Ku pasang raut wajah senormal mungkin.

"Boleh masuk?" 

Aku membuka pintu lebih lebar dan menyingkir dari pintu agar ia bisa masuk ke dalam kamarku. Dan seperti biasa, ia langsung duduk di atas tempat tidurku yang terhampar di atas karpet. Ia menyuruhku menutup pintu dan aku menurutinya.

"Aku membunuh Sheri." Ia menatapku lekat-lekat, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Tapi aku puas. Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu hidupku dengan ocehan-ocehan menjatuhkan."

Danu sama sekali tidak menyesal. Bahkan aku bisa mendengar rasa bangga dalam nada bicaranya.

"Fian! Kok diem?" 

Memang menurutnya, bagaimana aku harus bereaksi? Ikut tertawa mendukungnya? Gila! 

"Mau minum apa?" Lebih baik kualihkan pembicaraannya.

"Kopi boleh, deh. Eh, aku balik ke kamar dulu, ambil handphone. Ntar kalau ada yang mau pesen topi, berabe kalau nggak langsung dilayani. Bentar, ya!"

Aku mengangguk dan segera membuatkan segelas kopi untuknya.

Kusodorkan kopi itu begitu ia kembali, yang langsung diteguknya hingga tersisa setengah. Kemudian ia kembali menceritakan bagaimana ia membunuh Sheri. Masih dengan nada riang seolah itu bukan kesalahan.

Tiba-tiba suaranya tercekat dan ia memegangi lehernya dengan kedua tangan. Ia kesulitan bernapasm seperti tercekik. Matanya melotot ke arahku, kemudian sebelah tangannya menggapai-gapai ke arahku.

"Bagaimana rasanya tercekik? Aku memasukkan racun serangga sisa penelitianku dalam kopimu." Aku menghela napas berat. "Itu adalah hukuman untukmu karena sudah membunuh Sheri. Juga anakku yang ada di rahimnya."

4 komentar

Woow, Dit, ini thriller kereeenn (y)

Reply

hehehe makasih Oma *kecup pipi kanan kiri*

Reply

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D