Jarak ditambah waktu ditambah mimpi tingginya yang masih terus ia kejar, semakin membentuk tembok yang ketebalannya kian meningkat, di antara kami. Aku dan Emma.
Aku ingat titik perpisahan kami. Titik di mana lembut dan hangat jabat tangannya menjadi penghantar kepulanganku ke Jakarta. Sekaligus menjadi titik sadar untukku menyadari bahwa ada rasa sayang yang lebih untuknya. Rasa sayang yang membenamkan keinginan untuk memilikinya. Tapi aku tetap harus melepaskannya. Untuk mimpinya dan untuk mimpiku yang saat itu belum kutahu apa.
Aku ingat titik perpisahan kami. Titik di mana lembut dan hangat jabat tangannya menjadi penghantar kepulanganku ke Jakarta. Sekaligus menjadi titik sadar untukku menyadari bahwa ada rasa sayang yang lebih untuknya. Rasa sayang yang membenamkan keinginan untuk memilikinya. Tapi aku tetap harus melepaskannya. Untuk mimpinya dan untuk mimpiku yang saat itu belum kutahu apa.
Setelah itu, hanya ada saling sapa melalui surel dan sosial media. Tidak lebih.
Aku mulai sibuk dengan paper dan kegiatan organisasi yang aku ikuti. Semua tentang kuliah. Perlahan, hal-hal yang mengingatkanku pada Emma memudar. Bahkan sudah beberapa bulan terakhir, kami tak saling menyapa dalam media apapun. Dan aku tak begitu menyadarinya sebelum hari ini. Hari di mana aku dikejutkan oleh sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.
"Hi, Arjuna Indra Alamsjah!" Aku sempat menjauhkan ponsel dari telingaku karena suara penelepon di seberang sana membuat gendang telingaku berdengung saking kencangnya.
"Ya. Siapa ini?"
"Kamu lupa dengan suaraku? Atau jangan-jangan kamu lupa dengan semua tentangku?"
Dahiku berkerut. Mencoba mengingat.
"Kurasa kamu benar-benar melupakanku." Suara di seberang melemah.
"Maaf. Bisa sebutkan saja siapa kamu? Atau berikan aku petunjuk, agar aku bisa menebak siapa dirimu."
"Dhaka." Satu kata dan berhasil membuatku terhenyak.
"Em-Emma?"
"Ya. Aku Emma. Seharusnya aku tahu bahwa jarak dan waktu akan meluruhkan ingatanmu padaku."
"Hahaha. Ternyata masih tetap mudah menggodamu. Tentu saja aku tidak benar-benar melupakanmu." Maaf Emma, aku harus membohongimu.
"Sudah kuduga! Hei Juna, aku memutuskan datang ke pernikahan kakakmu. Akankah kamu menepati janjimu padaku saat pertemuan itu datang?"
"Janji?"
"Jangan menggodaku lagi, Juna!"
Aku benar-benar tidak mengingatnya. Janji apa?
"Sketsa!"
Astaga! Aku ingat sekarang!
"Hahaha. Tidak mungkin aku lupa. Aku sudah mempersiapkannya, Ems."
"Aku senang mendengarnya. Baiklah, aku masih harus mengerjakan beberapa paper. See you on December, Juna."
"See you, Ems."
Panggilan telepon berakhir dan aku masih terpaku di tempatku berdiri. Tidak habis pikir. Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja?
Hanya ada dua cabang jalan di dunia ini. Jalan di sisi kiri dan sisi kanan. Emma mungkin ada di sisi kiri, tetapi tanpa aku sadari aku sudah berjalan menuju sisi kanan. Bukan meninggalkan Emma di belakang. Karena kami sama-sama berjalan maju. Hanya berbeda arah saja. Tetapi semakin jauh.
Aku tidak ingin terlalu memusingkan hal itu. Masih ada yang harus aku lakukan. Membuat lukisan wajah Emma.
Semua peralatan lukisnya sudah siap. Dengan hati yang masih berantakan, aku kembali membuat sketsa wajah Emma. Tetapi kemudian aku memutuskan berhenti sejenak. Tidak bisa begini! Kepalaku harus dalam keadaan sangat fresh untuk membuat sebuah lukisan. Apalagi itu untuk seseorang yang spesial.
Butuh beberapa minggu untuk memastikan bahwa lukisan ini benar-benar sempurna. Kini tinggal menunggu kedatangannya. Aku mulai tidak sabar.
Hari itu datang. Emma datang. Aku dan bungkusan berisi lukisan wajahnya menjemputnya di bandara. Akhirnya kutemui kembali senyum hangatnya. Tubuhnya masih tetap mungil seperti dulu. Hanya rambut keperakannya sekarang hanya sebatas bahu. Itu membuat wajahnya terlihat lebih segar. Aku pun langsung menyerahkan bungkusan lukisan itu padanya, yang langsung dibukanya saat itu juga.
"Kamu menyukainya?"
Ia mengangguk. Tapi lengkung bibirnya yang sedari tadi membentuk senyum perlahan berubah. "Cantik. Aku menyukainya."
Aku mengangguk mantap. Sangat percaya diri. Aku sudah tahu ia akan menyukai lukisanku. Mengenai senyumnya yang perlahan menghilang, mungkin hanya perasaanku saja.
"Tapi Juna... ini bukan wajahku."
Apa? Aku segera memutar lukisan dari tangan Emma itu agar menghadapku. Benar! Lukisan itu sama sekali tidak menyerupai Emma. Bahkan satu titik pun tidak.
Getar ponsel di saku celana menyadarkanku. Sebuah panggilan masuk. Finda. Wajah di lukisan itu justru lebih mirip dengannya. Perempuan yang beberapa tahun terakhir dekat denganku.
*************************************************************************************************************************
*598 kata, belum termasuk judul dan catatan kaki.
*ditulis untuk mengikuti #QuizDy yang diselenggarakan oleh Dy Lunaly.
5 komentar
datang berkunjung sambil menyimak dan tdk lupa mengucapakan minal aidin walfaidin, ditunggu kunbalnya
Replyberkunjung kemari, minal aidin walfaidin ya teman, jangan lupa kunbalnya
Replysalam, minal iadin walfaidin mohon maaf lahir batin
Replybagus ternyata ceritanya
Replysetelah disimak ternyata ceritanya bagus juga yah jadi seneng kalau berkunjung kesini. ditunggu cerita-cerita berikutnya bu
ReplyPost a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D