Sebuah
amplop putih tergeletak di meja kerjaku. Tanpa nama pengirim, apalagi alamat.
Kubolak-balik amplop itu, menebak apa isinya. Uangkah? Sepertinya bukan. Siapa
pula yang meletakkan amplop berisi uang dengan sembarangan seperti ini.
Kusobek
perlahan sisi ujung amplop. Berhati-hati agar isinya tidak ikut terkoyak. Kemudian
kuraba isinya setelah ujung amplop benar-benar terbuka. Sebuah kertas. Kutarik
perlahan untuk mengeluarkannya.
Sebuah
tiket pesawat dengan daerah tujuan: Bali. Saat keningku masih berkerut
memikirkan siapa pengirimnya dan apa maksudnya, nada dering handphone di dalam tas mengejutkanku.
Sebuah panggilan masuk.
“Ha...”
belum sempat kubentuk kata ‘Halo’ untuk menyapa orang yang menelponku, ia sudah
memotongnya.
“Surprise!
Happy fifth anniversary sayang...” Chandra, kekasihku, berhasil membuat pagi
hariku dipenuhi senyuman.
***
Sampailah
kami di Bali. Bulan sudah nampak. Tentu saja kami melewatkan sunset indah di
pantai, juga jingga yang mewarnai langit Bali kala senja. Bagaimana tidak, jika
ternyata tiket yang kutemukan tadi di meja adalah untuk sore ini juga. Mau
tidak mau aku harus izin pulang cepat untuk packing.
Begitu bertemu Chandra, langsung kucubit ia karena rencana dadakannya ini. Sekali-sekali menghabiskan weekend yang
berbeda, begitu alasannya.
Suasana
khas Bali sangat kentara begitu kami menginjakkan kaki di bandara Ngurah Rai,
Bali. Pun di sepanjang perjalanan. Mataku dimanjakan oleh keunikan Bali dengan
seluruh pohon besar serta patung-patung berlilitkan sarung kotak-kotak hitam
putih di kiri kanan jalan.
Tak
sabar rasanya menemukan kejutan apalagi yang sudah disiapkan Chandra untukku.
***
“Ayo
cepat!” Chandra menarik tanganku masuk ke hotel, menuju resepsionis untuk
mengambil kunci kamar yang sudah dipesannya via telepon, kemudian langsung
berlari ke kamar untuk meletakkan koper. Semua kami lakukan dengan
terburu-buru. Ia rupanya menyuruh sopir taksi menunggu kami. Entah kemana lagi
ia akan membawaku. Padahal punggung ini sudah ingin menyentuh kasur di hotel
tadi.
“Kita
mau ke mana?” tanyaku tak sabar.
“Sudah,
ikut saja!”
Aku
menurutinya. Kusamakan langkahku di sisinya begitu kami turun dari taksi.
Pantai
Nusa Dua. Mataku berbinar ketika di hadapanku menghampar pasir pantainya nan
putih yang seolah mengatakan, “Ayo lepas alas kakimu dan berlarianlah di atas
kami!”
The Bay Bali. Nama itu tercetak di sekitar
jalan setapak yang kami lalui. Mataku melirik deretan restoran di sepanjang
kawasan The Bay Bali. Cacing-cacing di perutku spontan berdemo minta segera
diberi makan. Tapi sayangnya, langkah Chandra tak mengarah pada satupun pintu
masuk restoran.
Ia
menggandengku ke pantai. Sudah banyak
orang di sana. Membentuk kerumunan yang masih belum kutahu apa yang menarik
mereka. Semakin dekat, seruan-seruan mereka semakin keras terdengar.
Yang
membuatku curiga, kebanyakan dari mereka adalah lelaki. Hanya segelintir
perempuan yang kulihat berada di antara kerumunan.
Mataku
sontak menyipit kemudian melotot dengan cepat saat akhirnya kutemukan sumber
sorak sorai di tengah pantai ini.
Sekelompok
penari perempuan berbikini dengan bentuk bawahan rok yang super minim
meliuk-liuk membentuk gerakan yang mampu membuat para lelaki yang
mengerumuninya bersiul bahkan menganga ketika menonton tarian mereka. Termasuk
Chandra.
“Seru
ya,” ujar Chandra tanpa memalingkan wajahnya dari penari-penari itu.
“Hmm...
iya seru. Seru banget! Berarti bisa dong nonton sendiri? Aku mau balik ke hotel
aja!” Aku berbalik meninggalkannya tanpa menunggu persetujuan.
Langkah
menderap terdengar di belakangku. Ia membuntutiku. Aku pura-pura tidak tahu dan
terus melangkah menuju jalan besar, berniat mencari taksi untuk kembali ke
hotel.
“Maaf
deh maaf, aku baca info dari internet kalau acara tadi itu bakal seru. Kirain kamu
bakal suka,” ujarnya yang sudah berada persis di belakangku.
Alasan
aneh. Bagaimana bisa aku suka melihat kekasihku menikmati tontonan sexy dance di depan mataku sendiri. Biar
saja aku bertahan dengan wajahku yang ditekuk sedemikian rupa. Biar ia tahu,
bahwa malam yang seharusnya kami lalui dengan romantis ini benar-benar telah
dirusaknya.
Chandra
mengamit lenganku. Membuat langkahku terhenti. Kutatap wajahnya. Tajam.
“Jangan
cemberut gitu dong! Makan aja yuk!” Gigi putih Chandra yang berderet rapi
terlihat saat bibirnya ia paksakan untuk tersenyum lebar.
“Nggak
ada sexy dance lagi kan?” Mendengar
kata makan, perutku langsung bereaksi kembali. Tapi harus kupastikan bahwa
tidak akan ada gangguan lagi nanti.
Chandra
tertawa. Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah langsung menarik tanganku.
Kami kembali berjalan di jalan setapak di kawasan The Bay Bali, di mana
berderet beberapa restoran di salah satu sisinya.
Bebek
bengil. Restoran itu yang dituju Chandra. Aku belum tahu bagaimana rupa dan
rasanya, tapi dari aroma yang menyerbu hidung begitu kami melangkah memasuki restoran,
membuatku tak sabar untuk mencicipinya.
Benar
saja. Lidahku benar-benar dimanjakan. Mulutku tidak bisa berhenti mengunyah
daging bebek yang digoreng krispi itu. bumbunya benar-benar merasuk sampai ke
dalam-dalam. Apalagi dengan sayuran dan sambal matah yang pedasnya melelehkan
keringat di kening. Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan satu bebek sendirian,
hanya kusisakan tulang belulang di piring.
“Kayaknya tadi ada yang ngambek deh,” sindir Chandra.
“Kayaknya tadi ada yang ngambek deh,” sindir Chandra.
Biar
saja. Masakan bebek seenak ini tidak akan kulewatkan hanya karena ngambek oleh sexy dance yang bahkan sudah hampir
kulupakan.
Tertatih
aku kembali ke hotel. Perut yang penuh membuat jalanku agak membungkuk. Chandra
juga sakit perut. Tapi bukan karena kebanyakan makan sepertiku, melainkan
karena terpingkal-pingkal menertawakan kekonyolanku sepertinya.
Begitu
sampai di kamar, aku langsung melemparkan diri ke kasur dan terlelap
setelahnya.
***
“Bangun
sayang, ayo kita lihat sunrise!” Setelah menggosok gigiku dan berganti pakaian,
kugoyang-goyangkan badan Chandra.
Chandra
terbangun. Dengan mata masih menyipit dan rambut acak-acakan, serta kaos dan
celana jeans semalam yang masih menempel di tubuhnya, langsung kutarik
tangannya keluar dari kamar. Di luar, langit masih gelap. Chandra sepertinya
sudah pasrah. Tanpa penolakan, ia mengikutiku masuk ke taksi. Walaupun sesekali
menguap dan menggaruk belakang kepalanya.
Aku
memilih Pantai Nusa Dua karena semalam aku belum jadi menikmati keindahan
pantainya. Kami duduk di atas pasir pantai. Menyaksikan matahari yang perlahan
seolah muncul dari permukaan air di ujung laut sana. Semburat kuning semakin
naik dan menghapus gelap langit sedikit demi sedikit. Indah.
Aku
menoleh. Bibir Chandra yang membentuk lengkung senyum menyadarkanku bahwa
keindahan yang nyata adalah kehadirannya di sisiku. Kucium pipinya sekilas dan
kembali menatap matahari yang masih perlahan naik ke langit. Membiarkan Chandra
balik menatapku karena ciuman spontan yang kuberikan. Kemudian kurasakan tangannya
merangkul bahuku.
Lama
kami saling terdiam. Kunikmati suasana sunyi yang tak akan bisa kudapatkan di
tengah hiruk pikuk kotaku.
Sebentar
kemudian tangan kanan Chandra merogoh kantongnya, mengambil sesuatu dan
meletakkannya di pangkuanku.
“Apa
ini?” Aku mengangkat benda itu sejajar dengan mata untuk menelitinya. Sebuah kotak
kecil berlapis kain beludru merah. Saat membukanya, sebuah cincin emas tampak
berkilap di mataku.
“Aku
nggak pandai basa-basi, sayang. Jadilah milikku seutuhnya dan selamanya. Kamu
mau kan menikah denganku?”
Chandra
mengatakannya dengan santai seolah tak pernah terjadi pergolakan batin saat
memikirkan kata-katanya barusan. Tahukah ia bahwa jantungku serasa berhenti
berdetak saat mendengarnya?
Kami
kembali saling diam.
“Kenapa
diem? Kamu nggak pengen tahu jawabanku?” Aku mulai kesal. Ada sedikit keraguan
apakah benar ia menginginkanku.
“Aku
sudah tahu jawabannya. Iya, kan? Kamu diem lama begitu, artinya pasti iya. Aku
sudah hapal kebiasaanmu.”
Kucubit
pipinya sampai merah. Gemas. Ia tidak berubah. Tidak pernah kutahu pasti isi
otaknya, tapi yang kutahu pasti, ia mencintaiku dengan caranya. Sehingga yang
lain-lain, tak penting lagi.
“Ngomong-ngomong,
kapan kamu bawanya? Kan tadi aku langsung narik kamu keluar kamar,” tanyaku
penasaran.
“Aku
kantongin sejak kita berangkat ke Bali.”
Ternyata dia sudah
memikirkannya lama,
hatiku tertawa.
***
Di
atas pasir Pantai Nusa Dua, aku duduk bersila. Melihat-lihat kembali
lembaran-lembaran fotoku dan Chandra.
“Mama,
kok duluan sih ke pantai? Tadi padahal seru lho. Aku main-main sama bajak laut
di kapal-kapal sana,” ujar gadis kecil yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku
sambil menunjuk suatu tempat.
“Pirates
Bay?”
“Iya
itu ma! Ah namanya susah banget sih dihapal,” sungutnya sambil memanyunkan
bibir kecilnya.
Aku
tersenyum melihat tingkah gadis kecil ini. Gadis kecil yang selalu meramaikan
hari-hariku. Aku memanggilnya Rara, malaikat kecilku.
“Mama,
ini siapa?” Rara menunjuk foto-foto yang kuletakkan di pasir pantai.
“Raraaaaa,
kamu ini larinya cepet banget sih! Tadi katanya minta es krim. Giliran lagi
dibeliin, papa ditinggalin.” Seorang lelaki berkacamata berlari-lari menyusul
Rara, kemudian menyerbu Rara dengan gelitikan di perut yang membuat gadis kecil
itu tertawa kegelian.
Chandra, ingatkah
kamu akan hari-hari yang kita lalui di sini? Aku tak mungkin bisa melupakannya.
Dua hari yang sangat mengesankan. Dua hari yang menyita seluruh memori otakku
untuk menyimpan kenangannya. Dua hari yang membuatku selalu tersenyum
membayangkan kekonyolan kita.
Dua hari yang kita
penuhi dengan rencana masa depan. Dua hari yang akhirnya menghadirkan Rara
dalam hidupku. Sekaligus dua hari terakhirku bersamamu.
Sebuah
kecelakaan menimpa taksi yang kami tumpangi sekembalinya kami di Jakarta. Chandra
terluka parah. Sedangkan aku hanya mengalami luka lecet dan memar di lengan.
Chandra
koma hampir satu bulan. Aku terus mendampinginya di rumah sakit. Berharap ia membuka
mata, tertawa, dan mengatakan ini semua hanya bercanda. Tapi aku sadar ini
semua nyata ketika kemudian detak jantungnya berhenti. Ia meninggalkanku
selamanya.
Selamat tinggal
Chandra. Berbahagialah di sana, untukku dan Rara.
“Terima
kasih Ardian,” bisikku di telinga lelaki di sampingku, sahabat Chandra yang
kini menjadi suamiku.
Aku
bangkit berdiri. Ardian dan Rara mengikuti. Kami bergandengan tangan
meninggalkan pantai.
“Tunggu
ma.” Rara tiba-tiba melepaskan tanganku dan Ardian, kemudian berlari kembali ke
pantai. Setelah memungut sesuatu, ia kembali menghampiri kami.
“Ini
ketinggalan ma.” Diangkatnya fotoku dan Chandra. Foto yang tadinya memang
sengaja kutinggalkan. Tetapi malaikat kecilku ini mengambilnya kembali.
Chandra, lihatlah, bahkan Rara tak ingin
kehilanganmu...
-end-
Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share
your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
2 komentar
Rara anaknya Candra? #TanyaAja
Replyiya hehe.
ReplyPost a Comment
Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D