Meratapi Kematian Sheri

(image source: here)

"Aku menyukai topi." Itu yang dikatakan Danu sebelum membunuh Sheri, pacarnya. Cengkeraman tangannya di leher Sheri terlalu kuat untuk ditepis. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ketika tubuh Sheri yang semula bersusah payah memberontak akhirnya terkulai lemas dan jatuh ke lantai.

Bergegas aku berlari ke dalam kamarku dan menguncinya, sebelum Danu menyadari keberadaanku di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Napasku terengah-engah dan jantungku berpacu cepat.

Sejak Danu lulus kuliah dan memutuskan untuk berbisnis topi, mereka menjadi lebih sering bertengkar. Sheri menyebut Danu bodoh karena menolak tawaran ayahnya yang menyediakan posisi penting di perusahaan. Seluruh penghuni indekos ini tahu bahwa pertengkaran itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi bukan berarti Danu berhak mengakhiri hidup Sheri karena kekesalannya.

Aku memerhatikan pantulan laki-laki pengecut melalui cermin di hadapanku. Ku remas rambutku dengan kedua tangan dan jatuh terduduk. Air mataku tertahan di pelupuk mata. Emosi begitu menggebu menguasai hatiku. 

"Seharusnya aku masih bisa mencegahnya. Seharusnya aku masuk saja. Mungkin Sheri tidak akan mati." Aku sungguh menyesali sikapku tadi. Mengapa aku hanya bisa berdiri mematung tanpa melakukan apapun. Kakiku seolah terkunci di tempat dan bibirku menutup erat.

Ketukan di pintu membuatku terperanjat. Jika itu adalah Danu, maka ia tidak boleh tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya.

Ku basuh wajahku dan memastikan tak ada ekspresi mencurigakan sebelum akhirnya aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ku tekan deretan gigi atas dan bawahku hingga terasa ngilu ketika mendapati pembunuh Sheri berdiri di depan pintu kamarku. 

"Hei, Dan! Ada apa?" Ku pasang raut wajah senormal mungkin.

"Boleh masuk?" 

Aku membuka pintu lebih lebar dan menyingkir dari pintu agar ia bisa masuk ke dalam kamarku. Dan seperti biasa, ia langsung duduk di atas tempat tidurku yang terhampar di atas karpet. Ia menyuruhku menutup pintu dan aku menurutinya.

"Aku membunuh Sheri." Ia menatapku lekat-lekat, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Tapi aku puas. Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu hidupku dengan ocehan-ocehan menjatuhkan."

Danu sama sekali tidak menyesal. Bahkan aku bisa mendengar rasa bangga dalam nada bicaranya.

"Fian! Kok diem?" 

Memang menurutnya, bagaimana aku harus bereaksi? Ikut tertawa mendukungnya? Gila! 

"Mau minum apa?" Lebih baik kualihkan pembicaraannya.

"Kopi boleh, deh. Eh, aku balik ke kamar dulu, ambil handphone. Ntar kalau ada yang mau pesen topi, berabe kalau nggak langsung dilayani. Bentar, ya!"

Aku mengangguk dan segera membuatkan segelas kopi untuknya.

Kusodorkan kopi itu begitu ia kembali, yang langsung diteguknya hingga tersisa setengah. Kemudian ia kembali menceritakan bagaimana ia membunuh Sheri. Masih dengan nada riang seolah itu bukan kesalahan.

Tiba-tiba suaranya tercekat dan ia memegangi lehernya dengan kedua tangan. Ia kesulitan bernapasm seperti tercekik. Matanya melotot ke arahku, kemudian sebelah tangannya menggapai-gapai ke arahku.

"Bagaimana rasanya tercekik? Aku memasukkan racun serangga sisa penelitianku dalam kopimu." Aku menghela napas berat. "Itu adalah hukuman untukmu karena sudah membunuh Sheri. Juga anakku yang ada di rahimnya."

Prompt #72: Baju Warna Kulit

(image source: here)

"Baju senam warna kulit, di mana kau?" Ku bongkar isi lemariku. Pink, biru muda, tosca, ungu. Siapa yang meracuni lemariku dengan warna sebanyak itu? Aku tidak suka! Ku lempar semua ke luar. Bertebaran di lantai kamar.

Aku ingat pernah membeli banyak baju warna kulit. Tapi mengapa sekarang tak kutemukan satu pun. 

"Berantakan sekali, Dek. Cari apa?" 

Aku berlari ke arah Kak Fano di ambang pintu. "Di mana baju warna kulitku? Pasti Kakak, kan, yang menyembunyikan? Kembalikan!"

"Kau selalu menggila setiap kali memakainya. Kakak buang semuanya." Kak Fano memunguti baju-baju di lantai. "Cobalah pakai ini, atau ini, atau yang ini. Semua baru. Kakak yang pilih. Pasti kamu cantik memakainya."

"Tidak, Kak! Tidaaaak! Tidaaaak!" Aku menggumamkan kata itu terus dan terus. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Tak berhenti. Hei, ternyata ada sensasi menyenangkan saat melakukannya. Kupejamkan mata dan terus menggerakkan kepala. Otakku bisa kocak, tidak, ya? Barang kali ingatanku juga bisa lebur. Geleng semakin keras, semakin keras.

Tiba-tiba Kak Fano memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Menghentikan gerakku. Memaksa mataku fokus padanya. 

"Oke. Oke. Kakak kembalikan. Tapi kau harus janji, tidak menggila setelah memakainya."

"Jadi benar tak kau buang?"

"Tidak. Cepat berjanjilah!"

"Janji!" 

Barusan aku berjanji apa? Oh, tidak menggila. Kakak ini bisa saja. Kapan aku pernah menggila? Aku hanya mengekspresikan isi hati dan isi kepala. Sudahlah, tak perlu menjelaskannya. Yang penting, baju warna kulitku kembali.

***

Baju warna kulit akan mempertajam lekuk tubuhku yang indah ini. Oh tidak! Ada lipatan lemak di perutku. 

Aku melihat lebih dekat pantulanku di cermin. Meneliti tiap centi tubuhku. Benar! Lipatan di perut ini begitu kentara. 

Aku menari saja. Ia dulu senang melihatku menari. Ku putar musik dan bergerak tanpa henti. Melompat. Berputar, berputar, berputar. Seluruh tubuhku terasa ringan. Aku senang.

Tiba-tiba ingatan itu kembali hadir. Merusak perasaanku yang sedang senang. Amarahku memuncak. Air mataku meluncur turun. Kuputuskan kembali bergerak lebih keras agar ingatan itu hilang.

"Dek, makan dulu." Kak Fano sudah melangkah memasuki kamarku membawa nampan berisi makanan entah. Sejak kunci kamarku hilang, ia selalu muncul tiba-tiba. Menyebalkan.

"Aku tidak mau makan!"

"Harus!" Ia membimbingku duduk dan menyuapkan sesendok demi sesendok hingga nasi di piring tandas. Dipaksanya juga aku menghabiskan susu dalam gelas. 

Kak Fano akhirnya ke luar juga dari kamar. Membawa nampannya. Langsung saja aku berlari ke kamar mandi. Menunduk di atas kloset. Memasukkan telunjukku ke dalam mulut dan mendorongnya semakin ke dalam. Meluncurlah semua isi perutku. Nasi, susu, dan segala macam. 

"SIA!" Teriakan Kak Fano mengagetkanku. Tubuhku limbung. Aku jatuh terjerembab di lantai kamar mandi.

"Aku tidak ingin gemuk. Aku tidak ingin gemuk. Semua makanan tadi membuatku gemuk." Kugelengkan kepala untuk mempertegas ucapanku.

"Gemuk? Lihat!" Kak Fano mengangkat kedua tanganku ke depan mataku. "Badanmu sudah seperti tulang berbalut kulit! Sadarlah! Beratmu sudah menurun drastis!"

"Ferdian bilang aku gemuk. Lipatan di perut ini. Lihat, Kak!" Ku cubit perutku. Sulit.

"Laki-laki itu lagi! Akan ku bunuh dia karena membuatmu seperti ini!" Sorot mata Kak Fano menajam.

"Bunuh? Lalu perempuan penari yang lebih luwes, lebih langsing, lebih cantik, lebih seksi, lebih..."

"DIAM! Ya! Dia akan ku bunuh juga!"

***
*499 kata, belum termasuk judul.

Cita-Cita di Lubuk Hati

(image source: here)

Hari ini wisuda kelulusanku. Hari di mana aku dapat menambahkan gelar S. A. di belakang namaku dan membuat ibuku tersenyum bangga. Terlebih dengan selempang cumlaude yang tersampir di luar baju togaku. Usaha Ibu membayar mahal kuliahku, di samping kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah adikku yang masih SMA, seolah terbayar sudah. Ku rasa Ayah di surga juga melihatku saat ini.

Seharusnya aku membuat surat lamaran dan CV untuk dikirimkan ke perusahaan-perusahaan. Seharusnya aku berburu informasi lowongan-lowongan kerja dari berbagai media. Namun semua itu tidak kulakukan karena bukan itu yang kuinginkan. 

Tiga tahun aku menjalani masa kuliah yang membosankan. Bergelut dengan angka dan materi akuntansi lainnya. Berjuang untuk mendapatkan nilai terbaik di setiap mata kuliah. Semua itu demi Ibu. Orang yang sangat menghendaki aku memilih jurusan itu.

Ibu tak pernah mengerti bahwa aku ingin menjadi penulis. Ia hanya tahu aku suka sekali membaca.

Padahal aku benar-benar ingin menjadi penulis. Seolah hanya itu tujuan hidupku. Karena itulah, aku memberitahukan padanya bahwa setelah kelulusan ini, aku hanya akan melakukan hal-hal yang kuinginkan. Perdebatan panjang akhirnya terjadi, namun pada akhirnya Ibu memilih mengalah.

***

Pagi pergi, berganti siang. Siang pergi meninggalkan semburat jingga pada langit senja. Kemudian hadirlah malam dengan suara jangkrik yang saling bersahutan.

Pergantian waktu itu hanya menjadi penanda kapan aku harus membuka gorden dan jendela kamarku dan kapan aku harus menutupnya kembali. Karena hari-hari kuhabiskan di dalam kamar. Ke luar hanya ketika lapar, juga mandi karena tak ingin tubuhku dipenuhi daki. 

Laptop menjadi kawanku mengisi hari. Ketika ia menyala dan menghadirkan halaman kosong, kutumpahkan isi kepalaku menjadi berbaris-baris tulisan yang membentuk rangkaian kisah. Indah dan hidup. Menurutku.

Kukumpulkan alamat email tabloid, majalah, juga surat kabar. Kemudian kukirimkan segera tulisan-tulisanku ke sana setelah selesai ku baca ulang dan memastikan tak ada kesalahan ketik maupun lubang pada logika. Begitu percaya diri.

Tak hanya cerpen, bahkan aku berhasil menamatkan sebuah naskah novel. Kupilih sebuah penerbit ternama dan kukirimkan naskah itu setelah kubalut doa. Namun, penantian selama tiga bulan justru berbuah penolakan yang sempat membuatku sakit hati.

Aktivitas seperti ini sudah kujalani kira-kira hampir satu tahun lamanya. Dari sekian puluh judul cerpen yang kukirimkan, hanya ada dua yang lolos masuk dalam majalah remaja. Menjadi penulis ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku belum ingin menyerah. Masih betah berjuang. Karena berjuang untuk sesuatu yang benar-benar diinginkan tak akan menjadikanku lelah atau bosan.

***

"Dini, Ibu ke rumah Bu Saodah dulu, ya," pamit Ibu suatu malam ketika aku sedang membaca buku di dalam kamar.

"Mau ngapain, Bu?"

"Pengajian. Bu Saodah sama suaminya kan mau berangkat haji." 

Setelah malam itu, Ibu terus menggumamkan, kapan ia bisa naik haji. Ibu memang tak pernah membicarakannya langsung denganku. Namun aku dapat menangkap harapan yang menggebu di sorot matanya yang sayu. Bahkan tak jarang aku memergokinya merenung begitu lama sambil menatap gambar besar kakbah yang terbingkai di ruang tamu.

***

"Rapi sekali kamu, Din. Mau ke mana?" tanya Ibu ketika melihatku ke luar dari kamar pagi ini.

Wajar Ibu bertanya. Pukul 07.00 bukanlah jam bangunku biasanya. Apalagi saat ini aku sudah wangi dengan setelan kemeja dan rok span selutut.

"Wawancara kerja, Bu. Doakan Dini, ya." Aku berpamitan dan mencium punggung tangan Ibu.

Maaf ya, Bu. Seharusnya ini kulakukan satu tahun yang lalu. Tak apa ya, Bu. Hari ini aku akan berjuang agar diterima kerja dan segera dapat menyisihkan gaji bulananku untuk tabungan haji Ibu.

Biar saja cita-cita menjadi penulis kupikirkan nanti. Aku tak ingin egois lagi. Karena rupanya penulis yang sedang merintis  tak memiliki penghasilan pasti.

***

*573 kata, belum termasuk judul.
*ditulis untuk diikutsertakan dalam #AttarAndHisMindFirstGiveaway 

Selamat ulang tahun untuk blognya Bang RIga :)

Review: Sukses Membangun Toko Online


Judul : Sukses Membangun Toko Online
Penulis : Carolina Ratri
Editor : Herlina P. Dewi
Penerbit : Stiletto Book
Cetakan : Pertama, Juli 2014
Tebal : 211 halaman
ISBN : 978-602-7572-29-4

Di era internet seperti sekarang ini, siapa sih yang nggak tahu onlineshop? Dan siapa pula yang melewatkan kesempatan untuk ikut berbisnis onlineshop?

Berbondong-bondong orang menjajal peruntungan mereka dengan membuka onlineshop. Menjual berbagai macam produk dengan cara promosi yang beraneka ragam pula. Ada yang berhasil, hingga omset per bulannya mencapai jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Ada juga yang kurang berhasil, boro-boro pembeli, bahkan pengunjung yang sudi mampir pun bisa dihitung jari. 

Nah, aku termasuk yang kurang berhasil itu. Aku pernah mencoba membuka onlineshop pakaian-pakaian cewek. Jujur saat itu karena tergiur dengan sebuah onlineshop serupa yang laris manis bak jualan kacang rebus. Saat itu sosmed yang sedang in masih facebook.

Berbekal modal yang tak seberapa, aku bersama dua teman membuka sebuah onlineshop. Kami hunting pakaian ke toko-toko baju grosir. Memilih pakaian mana saja yang kira-kira bakal laku terjual. Kemudian menentukan nama brand dan mengatur promosi. Rupanya membuka bisnis mulai dari nol itu susyaaaahnya minta ampun. Terlebih kami harus menyejajarkan tiga kepala yang masing-masing memiliki selera dan ide yang berbeda, sehingga sering berbenturan. Alhasil, onlineshop tersebut bubar jalan. Produk yang tersisa kami jual murah untuk menghabiskan stok saja.

Tidak kapok sampai di situ, aku kembali mencoba. Kali ini menjadi reseller sebuah produk sepatu homemade yang berpusat di Bandung. Mengapa reseller? Karena aku tidak perlu mengeluarkan banyak modal seperti sebelumnya, juga tidak perlu berpanas-panasan di luar untuk hunting dagangan. Cukup dengan koneksi internet yang bagus.

Awalnya lancar-lancar saja. Pembeli pun lumayan lah. Tetapi lama kelamaan, produsen mulai tidak konsisten. Mulai dari produksi yang melebihi tenggat waktu yang dijanjikan, kesalahan pembuatan, sampai owner yang sulit dihubungi. Berhubung aku yang menjadi reseller, otomatis aku yang kena semprot langsung dari customer. Akhirnya setelah customer terakhir mendapatkan pesanannya, aku memutuskan berhenti saja daripada lelah hati.

Kemudian aku menemukan buku "Sukses Membangun Toko Online" di toko buku. Isinya menarik dan berhasil menyentilku untuk kembali membangun sebuah onlineshop. 

Carolina Ratri, penulisnya, menjelaskan apa itu onlineshop dan persiapan apa saja yang dibutuhkan untuk membangun sebuah onlineshop sebagai pembuka buku ini. Seperti seorang ibu yang dengan sabar menuntun anak balitanya belajar jalan, penulisnya benar-benar memandu pembaca mulai dari awal.

Selayaknya sebuah showroom, produk-produk dari onlineshop juga sudah seharusnya ditata sedemikian rupa. Nah di sini, penulisnya memberikan panduan bagaimana melakukan manajemen konten (Bab III). Coba bayangkan, jika kita memasuki sebuah toko yang lebih pantas disebut gudang karena produk yang dijual berantakan dan tumpang tindih tidak karuan, pasti kita akan memilih untuk ke luar dan tidak jadi melihat-lihat, bukan? Tidak peduli sebagus apapun kualitas produk yang ditawarkan.

Toko online juga harus cantik. Gunanya tentu saja untuk menarik pengunjung. Sebagai bocoran, selain tip mempercantik toko online yang mudah dipraktekkan, buku ini juga memberikan referensi website penyedia template gratis. Lumayan kan. (Bab IV)

Toko sudah cantik, produk sudah tertata rapi, selanjutnya adalah bagian terpenting dari membangun toko online. Hayo apaaa? Yak! PROMOSI!

Bukan hanya menyebutkan sosmed apa saja yang bisa digunakan sebagai media promosi (itu mah sejuta orang Indonesia juga tahu ya), penulisnya juga memberikan tip-tip menjalankan promosi yang maksimal. Juga bagaimana membangun komunikasi yang baik dengan pelanggan. Tambahan lagi, disebutkan referensi fasilitas auto posting yang bisa membantu kita tetap terlihat aktif tanpa harus duduk 24 jam di depan laptop. (Bab V)

Masih ada ulasan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu mengenai analisis pengunjung web, bagaimana mendapatkan pelanggan, referensi toko online yang terbilang sukses, serta bagaimana melakukan manajemen keuangan yang baik. Paket komplet.

Belajar dari buku ini, aku jadi tahu kekuranganku dulu, yang bikin onlineshop-ku mandek. Bahwa aku tidak punya keberanian untuk memulainya sendiri. Aku hanya cari gampangnya saja dan tidak mau ambil risiko. Aku juga belajar bagaimana menjalin komunikasi yang baik dengan customer.

Jangan memikirkan yang rumit-rumit dulu ya. Anda harus mulai mencoba sekarang setelah selesai membaca buku ini. Masalah memang akan selalu tampak rumit, namun ketika kita sudah mendapatkan jalan, kadang kita tersadar kalau ternyata solusinya begitu sederhana. -- hal 199
Bagaimana? Sudah tertarik membuka toko online?

Nb: warna-warni sampulnya sangat eye catching. Memudahkanmu menemukannya di antara jajaran buku non fiksi lain di toko buku. 

http://www.redcarra.com/sukses-membangun-toko-online-book-review-contest/

Sale: Buku-Buku Kolpri

(image source: here, edited by me)


Saya sangat suka membeli dan membaca buku. Nah, kali ini, saya ingin merelakan beberapa koleksi buku saya untuk dijual. Uang penjualannya kan jadi bisa dibuat beli buku baru lagi tuh... :D

Buku-buku yang saya jual, semuanya ready stock, karena memang milik pribadi. Kondisinya juga masih bagus. Beberapa malah masih segel.

Berikut daftar buku-buku yang saya jual:



1. Curhat LDR - Amoura Xeza dkk - (kumcer-kolpri) - 25.000
2. Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya - Dewi Kharisma Michellia - (novel-segel) - 36.000 (SOLD)
3. Surat Cinta untuk Kisha - Bintang Berkisah - (novel-segel) - 35.000
4. Wajah Terakhir - Mona Sylviana - (kumcer-segel) - 25.000 (SOLD)
5. Kumpulan Budak Setan - Eka Kurniawan dkk - (kumcer-segel) - 26.000 (SOLD)
6. Digital Love - Kancut Keblenger - (kumcer-kolpri) - 25.000
7. Cine Us - Evi Sri Rejeki - (novel-kolpri) - 30.000
8. Buli-Buli Lima Kaki - Nirwan Dewanto - (buku puisi-segel) - 32.000 (SOLD)
9. Cemburu itu Peluru - Anji dkk - (kumcer-segel) - 40.000 (SOLD)
10. Mati, Bertahun yang Lalu - Soe Tjen Marching - (novel-kolpri) - 23.000 (SOLD)
11. 86 - Okky Madasari - (novel-segel) - 35.000 (SOLD)
12. Hujan Punya Cerita tentang Kita - Yoana Dianika - (novel-kolpri) - 30.000
13. Rahasia Selma - Linda Christanty - (kumcer-segel) - 25.000 (SOLD)
14. Koin Terakhir - Yogie Nugraha - (novel-segel) - 40.000
15. Teen Idol - Meg Cabot - (novel-kolpri) - 15.000



16. Remember Dhaka - Dy Lunaly - (novel-kolpri) - 25.000
17. Cahaya Mata - Agustina Ardhani Saroso - novel - kolpri - 25.000
18. The Ninth - Ferenc Barnas - (novel-kolpri) - 30.000
19. Pre Wedding Rush - Okke 'Sepatu Merah' - (novel-kolpri) - 30.000
20. Parker Investigation - Agatha Christie - (novel-segel) - 23.000
21. Botchan - Natsume Soseki - (novel-segel) - 30.000 (SOLD)
22. Balada Si Roy - Gol A Gong - (novel-segel) - 30.000 (SOLD)
23. The Uncencored Confessions - Nina Malkin - (novel-kolpri) - 25.000
24. Cinta Brontosaurus - Raditya Dika - (personal literature-kolpri) - 15.000
25. Bait Surau - Rakha Wahyu&Yus R. Ismail - (novel-kolpri) - 20.000
26. Tolong, Radith Membuat Saya Bego! - Raditya Dika dkk - (personal literature-kolpri) - 15.000
27. Married By Accident - Ve Handojo - (novel-kolpri) - 15.000
28. Conffessions of Shopaholic - Sophie Kinsella - (chicklit-kolpri) - 20.000
29. Cewek Matre - T. Andi Situmorang - (kumcer-kolpri) - 20.000
30. Last Roommate - Theresia Anik - (chicklit-kolpri) - 20.000 (booked)


31. How to be a Writer - Primadonna Angela - (novel-segel) - 25.000
32. Manusia Setengah Salmon - Raditya Dika - (personal literature-kolpri) - 25.000
33. Marmut Merah Jambu - Raditya Dika - (personal literature-kolpri) - 25.000
34. Perkara Mengirim Senja - Vabyo dkk - (kumcer-segel) - 28.000 (SOLD)
35. Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa - Maggie Tiojakin - (kumcer-kolpri) - 40.000 (SOLD)
36. 1000 Musim Mengejar Cinta - Charon - (novel-kolpri) - 27.000 (SOLD)


37. The Butcher - John Lutz - (novel-segel) - 30.000
38. Penembak Misterius - Seno Gumira Ajidarma - (kumcer-segel) - 25.000 (SOLD)
39. The Treatment - Mo Hayder - (novel-segel) - 30.000
40. Starters - Lissa Price - (novel-segel) - 35.000
41. Warm Bodies - Isaac Marion - (novel-segel) - 30.000 (SOLD)
42. Ken Dedes - Wawan Susetya - (novel-segel) - 40.000 (SOLD)


43. Delapan Sisi - Adityarakhman, Norman Erikson pasaribu, dll - (Omnibook-segel) - 21.000
44. Mata Sayu Itu Bercerita - Guntur Alam - (kumcer-segel) - 33.000
45. LDR - Riawani Elyta, Christina Juzwar, dll - (kumcer-kolpri) - 23.000
46. Posesif - Christina Juzwar - (novel-kolpri) - 26.000
47. Her Sunny Side - Koshigaya Osamu - (novel-kolpri) - 28.000
48. Persiden - Wisran Hadi - (novel-segel) - 30.000


Kalau belum puas dengan foto di atas, boleh nanya-nanya dulu mengenai kondisi bukunya. Tapi untuk harga, jangan ditawar lagi ya, kan sudah murah, hehe.
Silakan mention twitter @didotanindita atau ninggalin komentar di bawah postingan ini kalau ingin ngobrol lebih banyak tentang bukunya.

 Tata cara pemesanan:
- SMS/WA ke 083838099972 atau invite BBM 29DA0CDF. Sebutkan nama, alamat, dan buku yang mau dipesan :)
- Saya akan memberikan rincian yang harus ditransfer (harga buku+ongkir) serta nomor rekening.
- Setelah transfer, mohon konfirmasikan kembali ke saya, ya.
- Buku akan segera dikirim setelah konfirmasi transfer. Pengiriman menggunakan JNE (dikirim dari Semarang).
- Resi akan saya beritahukan setelah buku dikirim.

Ayo dipilih-dipilih ~~~

Review: U-Turn

 
Judul : U-Turn
Penulis : Nadya Prayudhi
Penyunting : Arief Ash Shiddiq
Perancang Sampul : Diela Maharanie
Penerbit : Plotpoint
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : 228 halaman
ISBN : 9786029481259

Blurb
Karin selalu takut mencintai dirinya. Hampir separuh hidupnya ia mencari cinta dari orang lain. Baginya, itu jauh lebih mudah. Namun, kini orang dia pikir akan jadi cinta terakhirnya memutuskan untuk pergi.

Kehilangan Bre memaksa Karin kembali beradu dengan luka-luka hidupnya yang masih menganga. Dunianya kini jadi jungkir balik. Kini Karin terpaksa melihat kembali ke titik-titik penting perjalanan hidupnya. Mulai dari saat Bre menatapnya dalam mobil waktu itu. Mulai dengan mencari penebusan pertanyaan Bre: "Karin, apa benar - lo dulu pernah membunuh orang?"

Kini hidupnya terhenti. Karin tahu dia tidak lagi bisa terus berjalan. Dia harus berbalik.

Review
Novel ini memiliki plot yang apik dengan konflik yang sangat kompleks dan gaya bercerita yang enak dibaca. Terlepas dari beberapa kata yang typo dan tidak sesuai EYD, misalnya: napsu, alih-alih nafsu (hal. 10); mengacuhkannya, alih-alih 'tidak mengacuhkannya' (karena kalimat mengarah pada ketidakpedulian, hal. 14); penggunaan 'di' sebagai awalan dan kata depan yang terbolak-balik; juga nafas, alih-alih napas (hal. 30).

Di bagian profil, penulis menceritakan bahwa ia membutuhkan waktu sembilan tahun untuk menyusun novel ini. Sebuah perjuangan yang berujung manis kurasa. Karena aku sebagai pembacanya merasakan kepuasan dengan seluruh kisah yang ia sajikan.

Semua tokoh memiliki posisi dan alasan mengapa ia ada di novel ini. Kemudian seluruh kejadian ada korelasinya dengan kejadian lain. Bukan hanya adegan tempelan. Misalnya ketika ibu Karin sakit keras, ayahnya menyuruh Karin segera pulang. Namun ibunya justru bersikeras agar Karin tak usah pulang. Awalnya aku bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang ibu tak ingin melihat anaknya yang sudah sekian tahun tak kembali ke Indonesia. Ternyata semakin ke belakang, aku mendapatkan jawabannya. Penulis bisa menggiringku untuk menyimpulkan sendiri tanpa perlu ia jelaskan panjang lebar.

Aku suka dengan profesionalitas kerja tokoh utama novel ini, Karin. Meskipun ia sakit secara psikologis, ia tetap dapat bertanggung jawab dan profesional terhadap pekerjaannya, bahkan bisa dibilang berprestasi. Secara keseluruhan, aku suka dengan karakter Karin. Ia bukan manusia sempurna. 

Walaupun sebenarnya, dari keseluruhan tokoh, aku justru paling suka dengan Kalista, yang porsinya sangat sedikit di novel ini. Ia memiliki keikhlasan yang luar biasa. Sesuatu yang sudah jarang kita temui di zaman sekarang, di mana mayoritas orang lebih memikirkan egonya sendiri. Kalista adalah perempuan yang sangat kuat.

Recommended untuk kalian yang suka membaca novel lokal. Karena novel ini benar-benar apik dan sayang untuk dilewatkan. Untuk cover, kisah yang seru, penokohan yang kuat, dan ending yang menarik, aku memberinya 4 bintang dari 5 bintang yang aku punya ^^

Prompt #67: Mengambang

(image source: here)

"Pak, kami butuh WC yang layak!"

"Iya pak, kotoran yang mengambang tidak enak dipandang."

Bertahun-tahun aku menjadi ketua RT di perkampungan pinggir sungai. Sudah tugasku untuk mencari solusi untuk setiap keluhan warga.

"Baiklah, saya janji, besok tidak ada kotoran yang mengambang!"

Esoknya, kubongkar tabunganku untuk belanja sayuran. Kukerahkan ibu-ibu untuk merebusnya dan mengulek sambal ekstra pedas. Membuat pecel. Seluruh warga makan bersama dengan riang setelahnya.

Esok paginya...

"Woi gantian!" teriak warga yang mengantre di depan jamban.

"Bentar! Diare nih!" timpal yang di dalam. 

Antrean semakin panjang saja.

Cairan akan lebih mudah larut dengan air sungai, bukan? Untuk sementara, tugasku selesai.

***

*100 kata, belum termasuk judul.

Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis

sumber: dokumentasi pribadi Rinrin Indrianie


Aku berjalan lunglai di bawah gerimis sore itu. Ingin mendramatisasi keadaan. Baru saja cintaku ditolak. Lagi. Entah sudah ke-berapa kali.

Kulewati seorang kakek yang menuntun sepedanya dengan setumpuk rumput memenuhi belakang sadelnya. Pakaiannya basah, kakinya yang beralas sandal jepit, kotor ternoda tanah, kepalanya terlindung caping yang entah berapa lama dapat menghalau air hujan. Apakah ia juga sedang mendramatisasi keadaan?

Aku mengabaikannya. Kuteruskan langkahku, menikmati tetes air hujan yang jatuh membasahi seragam putih abu-abuku. Berharap perasaan kecewaku luntur.

Kukurangi kecepatan saat di turunan. Sepatuku yang basah sampai ke dalam, semakin terasa licin ketika menggesek aspal. Aku berjongkok untuk melepasnya. Benda ini membuatku kesulitan menjaga keseimbangan.

Saat berjongkok itulah kulihat kakek tadi meluncur dari atas. Sepeda yang kini dinaikinya bergoyang-goyang tak seimbang. Ia berteriak menyuruhku minggir, tapi aku justru terpaku melihatnya serta sepedanya yang semakin dekat, sangat dekat, dan BRUK!

 Badan kakek beserta sepeda dan rumputnya itu menimpaku."Aduh Nak, maaf, Mbah ndak sengaja," ujarnya seraya membantuku berdiri.

"Nggak apa-apa, Mbah." Kusunggingkan senyum walau menahan perih dan ngilu. Kutepuk celana dan bajuku untuk membersihkan rumput dan tanah yang menempel.

Kakek itu menurunkan semua rumputnya dan menyuruhku naik ke boncengan. "Saya antar ke puskesmas, Nak." 

Ia memaksa. Dikayuhnya sepedanya meski tersendat-sendat. Tubuh rentanya sigap menuntunku masuk ke dalam begitu kami sampai.

Lecet dan memar kecil di sana sini. Itu saja. Dokter sudah membersihkannya, dan besok pasti sudah tak terasa lagi. Kakek itu kembali menuntunku saat ke luar puskesmas. “Mbah ndak bisa ganti biaya berobatnya. Jadi, bawa saja sepeda ini. Cuma ini harta mbah, nak."

"Eh, nggak usah, Mbah."

"Tolonglah, Mbah nggak suka berutang." Ia menepuk pundakku kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku terperangah menatapnya yang semakin jauh dan menghilang di ujung jalan.

Setelah tak ada sepeda, rupanya ia memanggul semua rumputnya di punggung. Membuat tubuh rentanya melengkung. Selama beberapa hari ini aku mengamatinya dan memperhitungkan sesuatu.

***

Hari inilah saatnya.

Ketika kakek itu menyusuri jalan turunan, kukayuh sepedaku. Begitu dekat dengannya, kusenggol tubuhnya hingga terjatuh. Aku pun berhenti dan membantunya berdiri. Tak ada luka. Perhitunganku tepat.

Kubantu ia naik di boncengan. Masih dengan rumput di punggung. Ia berpegangan kuat di pundakku. Kukayuh sepedaku cepat. Tapi bukan ke puskesmas, melainkan ke rumahnya. Aku tahu letaknya setelah beberapa hari yang lalu mengikutinya.

“Maaf ya, Mbah. Saya tadi sengaja. Ini sepeda buat Mbah, sebagai permintaan maaf saya. Cuma ini harta yang saya punya.” Maksudku, benda ini satu-satunya yang kubeli dari tabunganku. “Terima ya Mbah, biar saya tenang.”

Kakek itu tersenyum, “Kamu balas dendam, ya?”

Aku menggeleng kuat-kuat.

“Terima kasih, ya, Nak. Tapi sepeda ini terlalu bagus, boleh ditukar dengan sepeda mbah yang kemarin saja?”

“Aduh, kalau itu sudah diminta papa, Mbah. Beliau kolektor barang antik.”

Kujelaskan kelebihan sepedaku untuk menghapus raut kecewa di wajahnya.

“Ngomong-ngomong, ternak Mbah di mana? Saya nggak lihat kandang.”

Ia tertawa. “Ya ndak ada kandang, wong saya ndak punya ternak.”

“Lho? Lalu rumput-rumput itu buat apa?”

“Buat angon ternak punya orang.”

“Oh... Nggak pengin punya ternak sendiri, Mbah?”

“Ya pengin.”

“Ng... saya harus nabrak model gimana supaya Mbah nggak bisa nolak kalau saya kasih ternak?”

***

*499 kata, belum termasuk judul.

Review: Katarsis




Judul : Katarsis
Genre : Psychology Thriller
Penulis :Anastasia Aemilia
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : 264 halaman
ISBN : 978-979-22-9466-8



Blurb:
Tara Johandi, gadis berusia delapan belas tahun, menjadi satu-satunya saksi dalam perampokan tragis di rumah pamannya di Bandung. Ketika ditemukan dia disekap di dalam kotak perkakas kayu dalam kondisi syok berat. Polisi menduga pelakunya sepasang perampok yang sudah lama menjadi buronan. Tapi selama penyelidikan, satu demi satu petunjuk mulai menunjukkan keganjilan.

Sebagai psikiater, Alfons berusaha membantu Tara lepas dari traumanya. Meski dia tahu itu tidak mudah. Ada sesuatu dalam masa lalu Tara yang disembunyikan gadis itu dengan sangat rapat. Namun, sebelum hal itu terpecahkan, muncul Ello, pria teman masa kecil Tara yang mengusik usaha Alfons.

Dan bersamaan dengan kemunculan Ello, polisi dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang melibatkan kotak perkakas kayu seperti yang dipakai untuk menyekap Tara. Apakah Tara sesungguhnya hanya korban atau dia menyembunyikan jejak masa lalu yang kelam?

Review:

Katarsis -- Upaya "pembersihan" atau "penyucian" diri, pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan. (Wikipedia)

Mencekam! Untuk pembaca yang tidak terbiasa membaca kisah-kisah thriller, mungkin akan mengernyitkan kening berkali-kali, nggak nafsu minum, atau malah menutup buku sebelum menyelesaikannya. Karena kisah di dalam novel ini bukan sekadar pembunuhan. Lebih dari itu. Bahkan tokohnya merasakan kepuasan saat melakukannya. Sakit!

Bisa dibilang aku sudah terbiasa membaca kisah-kisah thriller (membaca ya, bukan pelakunya, hehe). Aku tergabung dengan komunitas MFF (Monday Flash Fiction), sebuah komunitas menulis FF, di mana terkadang prompt mingguannya, menantang member untuk menuliskan sebuah FF bergenre thriller. Bahkan ketika tantangan prompt membebaskan member untuk menulis genre apapun, beberapa member tetap menulis FF bergenre thriller. Jadi aku sudah cukup familier dengan kisah-kisah sadis semacam ini. Dan novel ini memuaskanku sebagai pembaca.

Aku suka covernya. Cukup menggambarkan bagaimana 'sakit'-nya Tara. Ia adalah seorang anak yang membenci namanya sendiri, keluarganya sendiri, dan perlakuan-perlakuan untuknya. 

Aku bukan Tara. Itu yang selalu kukatakan pada mereka sejak aku belajar bicara. Bahkan sejak keluar dari rahim Tari pun aku selalu ingin meneriakkan kalimat itu pada mereka. -- hal. 29 

Tak dijelaskan mengapa Tara begitu membenci semua di sekitarnya, bahkan semenjak ia masih sangat kecil. Jadi aku sempat mengira bahwa ada semacam setan yang merasuki jiwa Tara, menggunakan raganya, dan bersemayam di sana selamanya, hehe. Atau mungkin memang ada jenis penyakit jiwa yang terbawa semenjak lahir?

Ketika bertamasya di taman, Tara terjatuh dari sepeda. Seorang anak laki-laki bernama Ello menolongnya dan memberikan koin lima rupiah. Tara menganggapnya konyol, namun mempercayainya, bahkan sampai mengalami ketergantungan terhadap koin tersebut. Ia percaya, rasa sakit dalam bentuk apapun yang dirasakannya akan surut jika ia menggenggamnya.

"Ini, pegang. Mamaku bilang, kalau lagi sakit, kita harus pegang koin biar sakitnya berkurang." -- hal. 39

(Mereka ini baru sekali bertemu, jadi aku kurang setuju kalau di dalam blurb, Ello disebut sebagai teman masa kecil Tarra. Karena setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Baru bertemu saat mereka dewasa.)

Suatu hari, kejadian buruk menimpa Tara. Seseorang memperkosanya, dan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu di luar batas. Ia membunuh dan memutilasi pelakunya. Apa yang ia lakukan, menjadi penyebab kekacauan di keluarganya, dan membuatnya terkurung di kotak perkakas kayu hingga hampir mati. Aroma mint yang tercium ketika ia terkurung menjadikan trauma untuknya.

Tara berhasil ditemukan, tapi kisah tidak lantas selesai begitu saja. Terjadi pembunuhan berantai dengan kotak perkakas kayu sebagai tempat mayat diletakkan dan koin 5 rupiah di dalam kotak tersebut. Tidak ada motif jelas yang menghubungkan korban satu dan lainnya, sehingga ini menyulitkan polisi. 

Jadi, ada tiga hal yang menjadi keyword dalam kisah ini, yaitu: kotak perkakas kayu, aroma mint, dan koin 5 rupiah. 

***
Ditulis dengan POV pertama, bergantian antara Tara dan Ello, membuatku harus berpikir sedikit lebih keras untuk menebak, ini bagian siapa, ya. Tapi itu bukan masalah besar, karena penulis menebusnya dengan diksi yang sangat apik. Ia canggih dalam memilih kata. Tulisannya padat. Caranya membagi novel ini menjadi 66 bab + prolog dan epilog, juga patut diacungi jempol. Tulisan di tiap babnya singkat, tetapi tetap mengena dan membuat penasaran. Sehingga sebagai pembaca, aku tidak merasakan kejenuhan sedikit pun. Bahkan tidak ingin melepaskan novel ini sampai selesai.

Quote favorit:
- Kewarasan divonis tanpa menggunakan stetoskop, termometer, atau rontgen. Buatku itu sama sekali tidak masuk akal. -- hal. 51
- Kurasa benar kata orang, berhati-hatilah dengan apa yang kau harapkan, kau takkan tahu bagaimana permohonanmu akan dikabulkan. -- hal 108
- Rasa sakit itu ada untuk melindungi dan mengajarimu banyak hal. -- hal. 183

Aku berikan 4 bintang dari 5 bintang yang aku punya

Ayo Kak Anastasia, tulis lagi dong buku bergenre serupa dan yang lebih seru dari ini. Atau kisah lanjutan dari kehidupan Tara juga boleh :D