Remake: Debur Ombak Selatan by ManDewi

Namanya Debur Ombak Selatan.

Oke, apa yang ada di pikiran orangtuanya saat menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Mengapa bukan Segara Alam seperti salah satu tokoh dalam novel yang pernah kubaca –  Pulang karya Leila S. Chudori. Sama-sama bernapaskan semesta tetapi terasa lebih familiar di telinga.

Mungkin itu akan terjawab nanti.

Ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Semoga benar dia yang datang, karena aku sudah tidak sabar.

Hei.” Ternyata benar dia. Senyum tipisnya menyambutku saat pintu sudah kubuka sepenuhnya.

Kubalas senyum itu dan memberinya isyarat untuk masuk.

Pertemuan pertama dengan mata biru gelap bak permukaan samudera miliknya berhasil melenakanku. Dan serupa debur ombak, matanya menghempaskanku pada kekaguman nyata. Sepertinya aku mulai paham mengenai arti namanya.

Aku memperhatikan benar-benar lelaki yang sedang berjalan menuju tempat tidur ini. Lelaki awal tiga puluhan yang mapan dan tampan, sungguh sempurna.

“Sein,” Aku mengulurkan tangan padanya yang sudah duduk di sisi tempat tidur.

“Aku tahu. Aku Aksel,” jawabnya ketika menyambut uluran tanganku.

“Ibumu,” celetuknya saat menyadari kerutan di dahiku. Aku tertawa dalam hati. Ia yang menelpon ibuku karena menginginkan jasaku. Jadi sudah pasti ia mengetahui namaku. Bagaimana aku bisa melupakan itu.

“Aku juga sudah tahu tentangmu.”

“Pasti. Ibumu juga yang memberitahumu?”

“Maksudku bukan hanya nama. Tetapi segala informasi yang berkaitan denganmu. Pekerjaan, tempat tinggal, hobi, teman-temanmu...” Sepertinya aku sudah berbicara terlalu banyak. Wajahnya yang menegang mengisyaratkan ketidaksukaannya karena aku terlalu mendominasi. Baiklah, aku tidak akan melanjutkan pembicaraan ini.

“Langsung saja?” Aku menawarkan diri.

Kulepas sepatu dan bajuku satu persatu, membiarkan semuanya tergeletak di lantai.

Kurasakan pelukan Aksel ketika aku sedang berdiri di depan meja di samping tempat tidur untuk mengambil sebungkus rokok dan pemantik bergambar siluet perempuan di permukaannya.

“Kau perokok?” Suaranya lebih menyerupai bisikan, oh tidak, lebih seperti hembusan di telingaku. Aku bergidik geli.

“Tidak, aku menyiapkannya untukmu. Kau ingin merokok?” Rupanya ia menggeleng saat kuangsurkan sebungkus rokok padanya. Akhirnya kuletakkan kembali rokok beserta pemantik itu di atas meja.

Aku melepaskan pelukannya dan meraih tangannya. Kemudian kusingkap selimut di tempat tidur. Hamparan mawar putih dengan bau harum yang menguar memancing senyumnya terkembang. Bagus, petugas hotel melakukannya dengan baik. Aku puas.

“Apa kau melakukan ini pada semua pelangganmu?” tanyanya penasaran.

Kujawab pertanyaannya dengan sebuah gelengan kepala yang dibalasnya dengan ciuman lembut di pucuk bibirku.

“Tahukah kau bahwa aku adalah seorang pemilih? Ibu sudah seperti managerku, memberi nama-nama orang yang menginginkan jasaku, tetapi tetap akulah yang menentukan dengan siapa aku ingin bertemu, tentu saja setelah mencari tahu tentang mereka sebelumnya.”

“Mencari tahu?”

Aku mengangguk, “seperti yang kulakukan padamu. Yah kau tahu lah, media sosial dan semacamnya. Kau tidak bisa bersembunyi dari dunia ketika semua informasi tentangmu mudah ditemukan.”

Aku berdiri di hadapannya. Melingkarkan tangan kiriku di lehernya lalu memainkan jari tangan kananku menelusuri wajahnya, “itu sebabnya kau harus menunggu. Apa kau ingat berapa lama sejak kau menelepon ibuku sampai ia memberi tanggal hari ini?”

“Dua minggu. Kurang lebih.”

“Dengan cara itu aku membatasi pekerjaanku. Tidak semua orang bisa memakai jasaku.”

Aksel tersenyum. “Itu tidak akan membuatmu setingkat lebih suci daripada yang lain.”

“Aku tidak sedang menciptakan tingkatan dengan orang lain. Aku hanya ingin menghargai tubuhku sendiri.”

“Dengan menjualnya?”

“Hahaha... Apa kau tahu bahwa kau terdengar menggelikan?”

Aksel melepaskanku dan duduk di sisi tempat tidur. Ia membuka bajunya dan menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik selimut. Tanpa perlu berpikir panjang, aku menyusul dan bergelung di pelukannya. Gesekan antara kulit kami dengan kelopak-kelopak mawar menguarkan bau segar. Aku memejamkan mata dan menghirup udara sedalam-dalamnya.

Aku melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti dengan kepala yang kubenamkan pada dada bidangnya. “Di dunia ini, siapa yang tidak menjual dirinya sendiri? Kau bekerja untuk orang lain, melakukan apa yang mereka minta. Apa kau pikir itu bukan menjual diri?”

Aksel tampak berpikir, mungkin ia menyadari kebenaran kata-kataku.

“Lalu, apa yang membuatmu menerimaku?” Ia mulai mengusap kepalaku dan memainkan rambut panjangku.

Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Apa aku harus menceritakan semuanya? Kalau iya, mungkin Aksel akan merasa aku terlalu berlebihan. Ah, tak apa.

“Tak perlu khawatir. Aku mencari tahu tentang kalian hanya karena penasaran, orang-orang macam apa yang menghubungi ibuku, menghambur-hamburkan uang demi kenikmatan yang hanya semenit dua menit. Setelahnya mereka lupa. Lalu mulai lagi, bayar lagi, lupa lagi. Begitu seterusnya.”

“Kau pikir aku begitu?”

“Awalnya, iya.”

“Sekarang?”

“Tidak lagi.”

“Mengapa?”

Kujauhkan kepalaku agar bisa menatap wajahnya.

“Aksel, kau terlalu cemas. Tidak ada hal yang membuatku merasa harus…menolakmu.”

Senyumnya mengembang.

“Oh ya, beberapa hari yang lalu aku melihatmu di sebuah kafe. Kau sedang duduk sendirian menghadap laptop. Aku tidak tahu kau sedang bekerja atau apa. Aku sudah hendak mendekatimu ketika seorang perempuan tua berjalan ke arahmu lebih dulu.”

“Itu ibuku.” Tiba-tiba senyumnya hilang, ekspresi wajahnya berubah datar. Sentuhan lembut di kepalaku terhenti.

“Aku tidak tahu siapa dia, tetapi aku bisa menangkap perasaan bersalah dari sikapnya. Ia tidak berani memandangmu, kedua tangannya gemetar, gerak tubuhnya pun gelisah. Kalian sempat berdiam diri cukup lama.”

“Sebenarnya aku ingin memeluknya begitu kulihat ia memasuki pintu kaca.”

“Dan akhirnya kau memang memeluknya. Airmatanya jatuh hingga membasahi bagian bahu kemeja yang kaupakai. Air mataku ikut jatuh seketika itu.”

Aksel diam. Matanya menerawang jauh.

“Apa yang aku lihat ketika itu, sama seperti ketika ayah memeluk ibu untuk terakhir kalinya. Lalu ia pergi dan tak kembali.” Aku merapatkan tubuhku dan memeluknya erat. “Mendadak, aku menginginkanmu untuk menjadi lelaki yang dapat melindungiku. Selamanya.”

Aku memejamkan mata menikmati ketenangan yang serta merta aku rasakan. Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu aman.

“A-aku…”Ia terbata dan tak tahu harus menjawab apa.

Lagi-lagi aku tertawa. “Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja aku terlalu terbawa perasaan. Biasalah, perempuan. Ngomong-ngomong, apa benar namamu Debur Ombak Selatan? Lalu dari mana panggilan ‘Aksel’ itu?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Gabungkan akhir dari ‘ombak’ dan awal dari ‘Selatan’, maka...”

“Jadilah Aksel.” Aku melanjutkan kata-katanya.

Aksel tertawa, kemudian mengangguk membenarkan. “Dan namamu?”

“Sein.”

“Aku tahu. Lengkapnya?”

“Seindah Cahaya Purnama.”

Aksel tertawa semakin lepas menyadari kemiripan nama kami. 

Aku harap kita berjodoh, lanjutku dalam hati. Lalu, sembari mengesampingkan bayangan Aksel memakai pakaian pengantin dan berdiri di sampingku, akupun mulai bekerja.



NB: Pertama kalinya membuat remake cerita. Maaf kalo ada salah-salah kata :)
Cerita asli dari penulisnya bisa dibaca di sini

Gadis Peniup Awan

(image source: here)

Ia sangat membenci hujan. Bahkan ketika awan berubah perlahan menjadi gelap dan semakin menyembunyikan matahari, ia sudah sedemikian paniknya. Ia tidak suka ketika aktivitasnya terganggu, karena air yang memercik di setiap langkahnya. Jas hujan dan payung adalah benda-benda menyebalkan yang tetap tidak bisa menolong pada kebenciannya akan hujan.

Itulah mengapa ia sangat bersikeras mempelajari bagaimana cara mencegah hujan turun ke bumi. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Bumi bukanlah globe atau atlas yang permukaannya dapat tersentuh semua dengan merentangkan satu telapak tangan. 

Kemudian muncullah ide untuk memindahkan hujan ke kota seberang. Beragam cara ia gunakan. Bahkan ia sempat berguru pada pawang hujan. Tetapi cara itu justru berujung kesal. Derasnya undangan pernikahan membuat gurunya, si pawang hujan menjadi sibuk, sehingga menelantarkannya sebagai anak didik.

Ia pun mencari cara lain. Dan terbersitlah sebuah cara, yaitu meniup awan gelap agar berpindah ke kota seberang. 

Hari-hari ia habiskan untuk melatih kemampuannya dalam meniup dengan kencang dan kuat. Setelah berminggu-minggu berlalu, ia merasa sudah sangat siap untuk mempraktekkannya. 

Seperti sebuah ajang balas dendam, ketika awan sudah mulai gelap, tetapi hujan belum juga datang, ia memanjat sebuah menara. Ia sengaja mencari tempat tertinggi. Tujuannya adalah agar semakin dekat dengan langit, tempat bernaungnya awan-awan gelap penampung hujan itu.

Sampai di puncak menara, ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Begitu terus hingga merasa cukup sebagai pemanasan. 

Gerimis mulai turun. Ia kesal. Belum juga melancarkan usahanya, titik-titik air hujan sudah mulai membasahi dirinya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia mengambil napas sangat dalam, kemudian dengan penuh keyakinan, ia meniupkan angin dari dalam mulutnya kuat-kuat ke arah awan hitam. 

JDER!

Sebuah petir menyambar menara. Tubuh gadis itu terpelanting karenanya. Selama ini ia hanya mempelajari bagaimana cara meniup awan hitam tetapi lupa bahwa petir menjadi satu paket dengan hujan dan ia belum mempelajari cara untuk menangkalnya.

Review : Best Of Monday FlashFiction - Padat Ide-Ide Ajaib




Berawal dari Writing Project #FF100Kata (gagasan @sinshaen) yang membawa saya pada akun twitter @RedCarra (sesama peserta), yang kemudian saya tahu bahwa ibu satu ini adalah founder grup Monday FlashFiction (MFF).

Tweetnya tentang Prompt membuat saya penasaran. Akhirnya saya ubek-ubeklah itu blog Monday FlashFiction untuk tahu syarat-syarat dan bagaimana cara masuk menjadi anggota dalam grup kece ini.

Gayung bersambut. Sebuah message masuk ke inbox FB saya yang isinya meminta saya menjawab pertanyaan yang merupakan syarat untuk menjadi anggota MMF. Daaaan setelah selesai, message balasan pun datang. Saya DITERIMA! Yeah!

Grup MMF ternyata sudah memiliki karya yaitu sebuah buku berjudul "Best Of Monday FlashFiction" yang diterbitkan melalui self publishing NulisBuku. Tapi bokek menjadi musuh saat itu, di saat saya benar-benar ingin membeli buku ini. Tapi bukan Anindita namanya jika menyerah begitu saja (hahaha ngakak dulu).

Sebuah lomba menulis kilat yang rutin diadakan oleh NulisBuku, yaitu #FF2in1 menjadi cara saya untuk mendapatkan buku ini (PD banget bakal menang). Tapi kayaknya keberuntungan memang sedang berpihak pada saya saat itu. Ya! Saya menang (padahal sebelumnya belum pernah menang). Dan saat diminta memilih salah satu buku terbitan NulisBuku sebagai hadiahnya, tanpa pikir panjang, saya langsung memilih "Best Of Monday FlashFiction".

Hahaha cerita pengantarnya udah panjang banget gini ternyata. Yaudah deh, langsung ke review aja. Cekidot!

Kenapa saya menyebut buku ini padat ide-ide ajaib? Karena setiap membaca satu FF ke FF yang lain, saya harus berhenti sejenak, mencerna cerita yang disajikan. Bukan karena ceritanya susah dipahami, melainkan ceritanya membuat saya menganga. "Kok bisa ya punya ide kayak begini?" atau "Gilak! Idenya kece banget!" atau "Wuih, endingnya nggak pernah kepikir nih" adalah komentar saya yang sering mencelos setiap kali menyelesaikan membaca satu FF.

Dan yang bikin saya lebih terkejut-kejut lagi adalah penulis ide-ide gila ini kebanyakan ibu-ibu ternyata. Salut!

Setiap karya pasti ada cela, setinggi apapun karya tersebut. Ya kan? Ya dong?
Nah, secara teknis ada beberapa hal yang sedikit mengganggu dalam membaca buku ini, di antaranya adalah:

- Jarak dari judul ke baris tulisan di paragraf pertama panjang banget. Jadi agak gimana gitu waktu liat ruang kosong lumayan besar antara judul dan tulisan di bawahnya.

- Pergantian font yang membuat bingung (hal. 91)
Awalnya saya pikir itu mengandung makna tersendiri, seperti yang biasanya dilakukan ketika menuliskan pikiran tokoh yang disuarakan dalam hati atau kalimat-kalimat yang mengandung arti berbeda. Tetapi setelah membaca paragraf berikutnya, paragraf dengan font berbeda tersebut ternyata paragraf biasa.

MMF mengenal yang namanya PROMPT, yaitu sebuah pancingan ide yang dilempar untuk dikembangkan menjadi cerita oleh anggotanya (maaf kalau definisinya salah sedikit hehe).
Maka dari itulah jangan heran jika beberapa FF dalam buku ini mengangkat tema yang sama. Misalnya boneka, kendi, stasiun gambir, tiga puluh enam ribu, salju, dll. Tentu saja dengan kemasan cerita yang berbeda sesuai dengan gaya penulisan masing-masing penulisnya.

Nah, untuk 2 FF yang bercerita tentang boneka, yang diletakkan berurutan, menurut saya  sedikit membingungkan awalnya. Selain nama tokoh yang sama (Bayu dan Risa), juga kalimat awal yang sama. Awalnya saya pikir terjadi salah cetak ketika saya membaca FF Mama tidak Gila, karena saya membaca kalimat-kalimat awal yang sama persis dengan FF sebelumnya, yaitu Boneka untuk Risa. Tetapi begitu membaca paragraf selanjutnya, barulah saya tahu bahwa ternyata ceritanya berbeda. Jadi menurut saya, ada baiknya jika kedua FF tersebut tidak diletakkan berurutan.

Membaca biodata penulis setelah menyelesaikan satu FF memang dapat langsung membuat saya berkomentar "Oh ini toh yang punya ide ajaib begini." Tetapi jika penulis yang sama membuat lebih dari satu FF dan biodata dengan narasi yang sama persis diletakkan di tiap akhir FF, kok menurut saya semacam menghabiskan tempat ya? Saya masih nyaman dengan peletakkan biodata penulis yang dikumpulkan di bagian akhir buku sebagai penutup. Walaupun kesannya mainstream atau sudah biasa ditemui di banyak buku antologi yang lain. Mungkin ini hanya masalah selera.

FlashFiction (FF) berarti cerita yang dikemas sangat pendek, bahkan lebih pendek dari cerpen. Normalnya, FF ini tidak lebih dari 500 kata. Keterbatasan jumlah kata inilah justru yang memancing penulisnya menciptakan twist yang tidak biasa agar dapat menarik pembaca untuk terkejut akan endingnya. Bukan berarti karena keterbatasan kata, membuatnya pun mudah. Saya sudah merasakannya sendiri. Membuat FF butuh kejelian untuk mempermainkan keterbatasan kata menjadi cerita yang luar biasa. Dan dalam  buku ini, kalian akan dibuat menganga pada setiap cerita yang disajikan. 

Saya menyukai semua FF dalam buku ini, tetapi ada beberapa yang menjadi favorit saya, di antaranya adalah:
1. Menjemput Impian - Rini Bee
2. Akhir Penantian - Amma O'Chem
3. Rim - Rinrin Indrianie
4. Lorong Waktu - Nathalia Diana Pitaloka
5. Pandiman - Rini Uze

Kalo untuk fiksimininya, saya suka SEMUAAAA! 4 jempol deh!

Saya beri 4 bintang dari 5 bintang yang saya punya untuk keseluruhan isi buku ini. Yeah!

Balik lagi soal selera, review ini saya buat berdasarkan pengamatan saya sebagai pembaca. Murni subjektif jadinya. Dan karena postingan ini sepertinya sudah terlalu panjang, jadi saya sudahi saja.

Saya tunggu karya MFF berikutnya ~~