Mati? Bukan Kita yang Putuskan

(image source: here)


Rio datang pagi-pagi ke rumah Kinar. Sudah 3 hari ini Kinar mengurung diri di kamar. Hanya keluar untuk makan dan mandi, begitu laporan Mama Kinar pada Rio tadi malam. Rio bertanya-tanya, masalah apa yang sedang dihadapi sahabatnya itu, sehingga membuatnya bersikap aneh. Maka dari itulah Rio hendak memastikannya.

Rio memarkir mobilnya di depan rumah Kinar. Mama Kinar sudah menunggu di teras rumah.

"Ayo masuk nak Rio. Langsung ke kamar Kinar saja," ajak Mama Kinar panik.

Rio melangkah tergesa-gesa di belakang Mama Kinar. Benar saja, pintu kamar Kinar terkunci. "Kin, buka dong. Ini gue, Rio." Rio mencoba mengetuk pelan.

Tidak ada jawaban. Rio belum menyerah, "Lo kenapa sih? Nggak biasa-biasanya begini. Sini cerita sama gue. Mumpung gue hari ini nggak ada jadwal motret. Seharian lo boleh ambil waktu gue." Rio mencoba bernegosiasi.

Masih tidak ada jawaban dari dalam. 

"Didobrak aja nak Rio. Tante khawatir. Dari tadi nggak ada suara dari dalam." Mama Kinar semakin panik.

Rio mundur selangkah ke belakang dan mengambil ancang-ancang. Ia menabrakkan bahu sebelah kanan ke pintu. Tetapi pintu belum bisa terbuka. Ia mengulangi kembali usahanya. Pintu itu akhirnya terbuka. 

Mama Kinar menghambur masuk ke dalam. Sontak ia menjerit histeris ketika mendapati Kinar tergeletak di lantai dengan tangan kiri yang berlumuran darah. Sebuah pisau lipat masih berada dalam genggaman tangan kanannya.

Tanpa ba-bi-bu, Rio mengangkat tubuh lemah Kinar ke mobil. Mama Kinar mengunci pintu rumah dan segera menuju bangku belakang mobil Rio, menemani Kinar yang tidak sadarkan diri. 

Rio melesatkan mobilnya di jalanan. Beruntung perjalanan mereka tidak terhambat oleh kemacetan.

Kinar masuk UGD. Rio menenangkan Mama Kinar yang terus menangis di depan ruang itu. Sesaat kemudian dokter keluar, "anak ibu kehilangan banyak darah. Dia berusaha mengiris nadinya sendiri. Untung saja nyawanya masih bisa selamat. Ibu sudah boleh masuk. Saya permisi dulu."

"Terima kasih dok," ujar Rio.

Mama Kinar langsung bergegas masuk ke UGD untuk melihat anak semata wayangnya.

Kinar menginap beberapa hari di rumah sakit. Tetapi ia masih saja belum mau bercerita mengapa ia memiliki niat membunuh dirinya sendiri.  Ia lebih banyak diam. 

Mama Kinar yang single parent terpaksa menutup toko rotinya beberapa hari ini karena ingin menjaga Kinar yang masih lemah. Ia lega Kinar sudah pulih dan tinggal di rumah. 

Esok paginya ia kembali dibuat panik karena Kinar tidak juga keluar dari kamar mandi. Rio yang diminta oleh Mama Kinar menginap di sana langsung mendobrak pintu kamar mandi. Ketika pintu sepenuhnya terbuka, terlihatlah seluruh tubuh Kinar yang masih berpakaian lengkap berada di dalam bath up yang airnya terisi penuh. Ia berusaha menenggelamkan dirinya sendiri.

Rio mengangkat tubuh Kinar yang basah kuyub dan sudah tidak sadarkan diri. Ia meletakkannya di lantai depan kamar mandi, kemudian menekan dada Kinar. Kinar akhirnya sadar dan terbatuk-batuk. Air keluar dari mulutnya.

Mama Kinar menangis sambil memeluk putrinya yang hampir saja kembali meninggalkan dirinya.

"Kamu kenapa sih Kin?" Mamanya terus menanyakan hal yang sama, karena belum juga menemukan jawaban.

Kinar tetap diam. Ia bahkan tidak berani menatap mata mamanya.

Malam harinya Kinar mengendap-endap ke ruang belakang rumahnya, tempat mamanya menyimpan alat-alat kebersihan. Ia mencari botol obat nyamuk yang juga disimpan di sana. Setelah menemukannya, ia membungkusnya dengan pakaian dan membawanya ke kamar.

"Berapa kali lagi lo mau melakukan kebodohan yang sama?" Rio yang tiduran di sofa ruang tengah, menyadari langkah Kinar. Ia mengikutinya sampai ke kamar. Saat itu Kinar sedang membuka botol obat nyamuk yang hendak ditenggak isinya.

Kinar yang kaget dengan kedatangan Rio yang tiba-tiba di pintu kamarnya, menjatuhkan botol itu hingga isinya tumpah dan meresap di karpet.

"Sampai gue bener-bener mati!" jawab Kinar setelah memalingkan muka dari Rio.

"Terus kalo lo mati, lo puas?" Rio masih menyender santai di kusen pintu kamar Kinar.

"Setidaknya gue nggak perlu lagi memusingkan masalah-masalah gue."

"Seberat apa sih masalah lo? Sampai harus menghilangkan nyawa lo sendiri." Rio kini berjalan masuk ke kamar, duduk di kursi dekat tempat tidur Kinar.

"Lo nggak perlu tahu masalah gue!" bentak Kinar.

"Oke. Gue cuma pengen mastiin aja, apakah masalah lo lebih berat daripada kehilangan suami karena kecelakaan? Atau lebih berat dari kenyataan harus membesarkan anak seorang diri dengan membanting tulang mengurus dan mengembangkan toko roti? Atau lebih berat dari kenyataan bahwa anak yang sudah dibesarkan memutuskan akan bunuh diri? Coba jawab!"

Kinar menunduk. Ia mengerti siapa yang dimaksud Rio. Mamanya. Ya! Mama selalu terlihat kuat mendampingi dan membesarkannya di saat banyak masalah yang dihadapinya.

Kinar mulai menangis dengan kedua tangan yang ia tangkupkan menutupi wajahnya. "Gue hamil. Gue malu. Gue nggak mau mama ikut malu Ri," aku Kinar sambil terisak.

"Tora tahu?" Tora adalah pacar Kinar. Rio selalu merasakan sinyal ketidakberesan jika melihat Tora. Tetapi ia tidak mau mengusik kehidupan Kinar jika Kinar saja terlihat bahagia ketika bersama Tora.

Kinar mengangguk. "Justru Tora pergi tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi saat gue bilang kalo gue hamil."

Rio mendekati Kinar dan memeluknya. Ia menghembuskan nafas berat, "jadilah istri gue Kin. Biarkan ini menjadi anak kita."

Kinar shock dengan ucapan Rio. Ia menggeleng. Ia tidak mau merusak kehidupan Rio dengan menanggung hidupnya. "Tapi..." Belum sempat ia menyanggah, sebuah kecupan lembut didaratkan Rio di bibir Kinar.

Rio memegang wajah Kinar. "Lo pasti mau bilang kalo kita sahabatan dan gue nggak cinta sama lo, gitu kan? Lo salah. Kalo gue nggak cinta, gue bakal jadi ayah angkat dari anak ini aja. Ngapain nikah sama cewek sableng kayak lo." 

Kinar mencubit perut Rio dan tersenyum. Ia memeluk Rio lagi. Kali ini lebih erat karena ia menyadari kesalahannya karena mengabaikan cinta di depan matanya.

"Mama merestui kalian. Menikahlah!" Mama Kinar yang tadi hendak melihat putrinya di kamar, sengaja mengurungkan niat untuk masuk ketika mengetahui Rio ada di dalam. Ia memutuskan tetap berada di balik tembok sambil mendengarkan percakapan mereka.
Kinar melepaskan pelukan Rio saat menyadari kehadiran mamanya.

"Kira-kira cucu mama ini cewek atau cowok ya? Wah, mama harus nyiapin nama nih," ujar Mama Kinar bersemangat. Ia masuk ke dalam mendekati Kinar dan Rio.

"Mama." Mata Kinar berkaca-kaca, kemudian ia memeluk mamanya.

"Semua masalah ada solusinya Kin," ujar mamanya lembut.

"Tuh dengerin! Kalau lo beneran mati, sia-sia dong cinta gue?" celetuk Rio.

Mama dan Kinar tertawa.

"Lagian, sempit banget sih pikirannya. Kalau mati beneran, cuma jadi mati konyol tuh. Lo jadi nggak tahu kan kalau mama sama gue bisa nerima keadaan lo. Jadi apa yang bikin lo pengen mati itu nggak kebukti. Nggak perlu repot matiin diri lo sendiri sekarang. Nanti kalau uda saatnya, kematian itu akan datang sendiri. Udah ada yang atur. Lo percaya Tuhan kan?"

Kinar menunduk malu. "Iya, maaf."

"Tante, saya udah boleh tidur di sini?" Rio tiba-tiba tiduran di tempat tidur Kinar.

"Enak aja! Belum!" Kinar menarik Rio dari tempat tidurnya.
Mama Kinar tertawa melihat tingkah mereka.

"Kok bau obat nyamuk ya?" Bau obat nyamuk yang tajam tercium oleh Mama Kinar.

Kinar dan Rio saling pandang. Botol obat nyamuk ditendangnya ke bawah ranjang.

8 komentar

wuaaa. keren gila. emosi gua terbawa juga pas dia mau minum baygon. keren deh gaya bercerita lo

Reply

Makasih :)
*terbang karena dipuji*
Eh, aku nggak sebut merk itu lho :P

Reply

Iya. Karena Rio uda sahabatan lama sama Kinar. Dan dia jatuh cinta.
Aku percaya bahwa orang baik masih ada di dunia ini :D

Reply

Aih, keren lho ceritanya. Aku makin bingung nih, nentuin pemenangnya. *usep dahi*

Reply

Post a Comment

Heiho! Salam kenal.
Kritik di sini boleh lho. Saran malah lebih boleh lagi. Asal jangan SARA ya.
Terima kasih :D